Hubungan Keluarga Menjadi Tulang Belakang Jaringan Teroris
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan perempuan dan anak di bawah umur tidak terelakkan dalam aksi teror yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo pada awal pekan ini. Hal ini disebabkan karena hubungan kekeluargaan menjadi tulang belakang dalam jaringan teroris di Indonesia. Terlebih lagi, berbagai faktor menyebabkan anak-anak dan perempuan dinilai dapat menjadi ”senjata” yang lebih efektif.
Tiga keluarga dengan total anggota sebanyak 13 orang tewas sebagai pelaku bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo pada Minggu-Senin (13-14/5/2018).
Jumlah ini terdiri dari 6 anggota keluarga Dita Oepriyanto (terduga pengebom tiga gereja), 3 anggota keluarga Anton Ferdianto (terduga pemilik bom di Rusunawa Wonocolo), dan 4 anggota keluarga Tri Murtiono (terduga peledakan bom di Polrestabes Surabaya).
Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace Musdah Mulia mengatakan, paham radikal yang berujung pada aksi terorisme lebih mudah menjalar kepada sesama anggota keluarga. ”Lebih mudah meyakinkan anggota keluarga sendiri dibandingkan orang lain,” kata Musdah ketika ditemui seusai aksi doa bersama Gerakan Warga Lawan Terorisme di Jakarta, Selasa (13/5/2018) siang.
Musdah mengatakan, fenomena hubungan darah dalam jaringan teroris sudah lama eksis di Indonesia. Ia mengambil contoh hubungan keluarga yang ada pada aktor Bom Bali pada 2002. ”Keterlibatan keluarga itu bukan hal yang baru, misalnya Amrozi itu menikah dengan saudara Nasir Abbas. Mereka punya hubungan keluarga,” kata Musdah. Nasir Abbas adalah mantan petinggi Jemaah Islamiyah (JI) yang ditangkap Polri pada 2003.
Lebih mudah meyakinkan anggota keluarga sendiri dibandingkan orang lain.
Perempuan dan anak-anak lebih efektif
Pemilihan perempuan dan anak-anak menjadi aktor bom bunuh diri merupakan tren baru. Menurut Musdah, kecenderungan ini sudah mulai terjadi sejak 4-5 tahun yang lalu oleh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS). Budaya patriarki dan bias keamanan yang lebih longgar menyebabkan perempuan dinilai lebih efektif sebagai pelaku bom bunuh diri.
Musdah mengatakan, dalam penelitiannya pada 2016, ia telah menemukan ada 120 perempuan Indonesia yang mengaku siap menjadi pelaku bom bunuh diri. Mereka pada umumnya adalah para istri dan keluarga teroris yang sudah lama terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia dan jihadi di Suriah, Lebanon, dan Turki.
Dalam penelitiannya pada 2016, Musdah menemukan ada 120 perempuan Indonesia yang mengaku siap menjadi pelaku bom bunuh diri. Mereka adalah para istri dan keluarga teroris yang sudah lama terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia dan jihadi di Suriah, Lebanon, dan Turki.
”Para suami mereka adalah anggota Jemaah Islamiyah, Jemaah Ansharut Tauhid, simpatisan ISIS ataupun Salafi Jihadis, dan organisasi radikal lain,” kata Musdah.
”Dalam budaya yang patriarkis, perempuan sangat taat kepada suami atau orangtuanya. Perempuan pun dinilai lebih taat beragama. Selain itu, petugas keamanan juga cenderung lebih longgar kepada perempuan, terlebih lagi apabila perempuan tersebut membawa anak-anak. Biasanya muncul rasa kasihan,” kata Musdah.
Nilai plus ini menyebabkan perempuan-perempuan calon teroris ini direkrut melalui pernikahan. Musdah mengatakan, mereka sengaja dinikahi untuk dijejali ideologi radikal. Namun, kata Musdah, banyak dari perempuan tersebut yang didoktrinasi terlebih dahulu baru kemudian dinikahi.
Musdah mengatakan, perlu upaya pendekatan yang humanis untuk mengatasi keluarga-keluarga yang telah terpapar ideologi radikal ekstrem.
Ia menilai pendekatan secara represif hanya akan membuat kelompok-kelompok tersebut mati suri. Musdah menilai perempuan lebih mudah direkrut menjadi agen perdamaian. ”Diperlukan strategi yang lebih manusiawi dan komprehensif kepada mereka yang terlibat gerakan terorisme,” kata Musdah.
Secara terpisah, salah satu pendukung Gerakan Warga Lawan Terorisme, Rukka Sombolinggi, mengatakan, salah satu upaya mengatasi intoleransi harus dilakukan di tingkat keluarga.
Perlu upaya pendekatan yang humanis untuk mengatasi keluarga-keluarga yang telah terpapar ideologi radikal ekstrem.
”Gerakan Warga Lawan Terorisme menyerukan kepada masyarakat luas untuk melindungi keluarga dari paham dan berbagai hal yang terkait dengan gagasan, sikap, ataupun radikalisme, ekstremisme, dan terorisme,” kata Rukka.
Ketua Setara Institute Hendardi juga menyatakan hal yang senada, yaitu radikalisme bersumber pada intoleransi.