Awal bulan ini, Indonesia menginisiasi pembentukan poros dunia untuk Wasatiyyat Islam atau Islam jalan tengah yang terbuka, mau berinteraksi, dan hidup damai dengan agama-agama lain. Usulan ini didukung para Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia yang berkumpul dalam Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia tentang Wasatiyyat Islam di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, 1-3 Mei 2018.
Para ulama dan cendekiawan Muslim Dunia sangat mengapresiasi langkah Indonesia yang dianggap memiliki modal besar untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan kerukunan antarumat beragama. Namun demikian, serangan terorisme yang bertubi-tubi dalam beberapa hari terakhir menyimpan pertanyaan besar, mampukah Indonesia menjadi contoh bagi negara-negara muslim di dunia dalam membangun Ummatan Wasatan, sebuah masyarakat yang adil, makmur, damai, inklusif, dan harmonis?
Imam Yahya Sergio YahePallavicini, Wakil Presiden Komunitas Agama Islam Italia dalam pertemuan tersebut mengingatkan, dunia kini sedang menghadapi dua esktrim. Pertama, paham ultra sekularisme yang menghapus segala referensi terhadap Allah dan kedua menyalahgunakan salah satu ajaran agama untuk diarahkan pada impian semu dari ideologi.
Tantangan ekstrimisme, terutama terkait impian semu ideologi itu kini benar-benar telah terjadi di depan mata kita semua. Keyakinan buta tentang impian semu surga telah membutakan mata pihak-pihak tertentu yang dengan penuh kekejian tega membinasakan sesamanya, termasuk membunuh raganya.
Dalam KTT, para ulama dan cendekiawan muslim dunia juga mengakui adanya kekacauan global dan ketidakpastian yang diperparah dengan adanya kemiskinan, buta huruf, ketidakadilan, diskriminasi, dan berbagai bentuk kekerasan. Karena itulah, mereka sepakat mengaktifkan lagi paradigma Wasatiyyat lslam dalam rangka membangun Ummatan Wasatan, yaitu sebuah masyarakat yang adil, makmur, damai, inklusif, harmonis, berdasarkan pada ajaran Islam dan moralitas.
Menjadi Poros Dunia
Di penghujung Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT), para ulama dan cendekiawan muslim dunia menyepakati empat komitmen yang termuat dalam Pesan Bogor atau Bogor Message, yaitu untuk mengaktifkan kembali paradigma Wasatiyyat Islam, menjunjung tinggi nilai-nilai paradigma Wasatiyyat Islam sebagai budaya hidup secara individual dan kolektif, memperkuat tekad untuk membuktikan kepada dunia, bahwa umat Islam sedang mengamati paradigma Wasatiyyat Islam dalam semua aspek kehidupan, dan mendorong negara-negara muslim dan komunitas untuk aktif mempromosikan paradigma Wasatiyyat lslam.
“Poin keempat ini usulan dari Indonesia. Berdasarkan dorongan dan opini bahwa KTT ini harus dilanjutkan dan diterapkan pada hal-hal yang praktis, maka kita butuh jejaring sehingga dibutuhkan pembentukan poros dunia untuk Wasatiyyat Islam seperti pesan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan KTT kemarin,”kata Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Din Syamsuddin, Kamis (3/5/2018) di Bogor, Jawa Barat.
Setidaknya ada tujuh nilai utama dari Wasatiyyat Islam yang disebutkan dalam Pesan Bogor, yaitu: posisi di jalur tengah dan lurus (tawassut), berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab (i\'tidal), mengakui dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan (tasamuh), bersandar pada konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus (syura), terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama (islah), merintis inisiatif mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia (qudwah), dan mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan (muwatonah).
“Kita percaya pada Islam sebagai agama damai dan rahmat, agama keadilan, dan agama peradaban yang prinsip dan ajaran dasarnya mengajarkan cinta, rahmat, harmoni, persatuan, kesetaraan, perdamaian, dan kesopanan,”papar Din.
Wasatiyyat Islam, sebagai ajaran utama Islam, telah dipraktekkan dalam perjalanan sejarah sejak era Nabi Muhammad SAW, khalifah yang dibimbing dengan benar (al-Khilafah alRashida), ke periode modern dan kontemporer di berbagai negara di seluruh dunia. Selain itu, KTT ini juga menegaskan kembali bagaimana peran dan tanggung jawab moral para cendekiawan muslim untuk memastikan dan memelihara generasi masa depan membangun peradaban Ummatan Wasatan.
Perlu langkah konkret
Mustafa Ceric, mantan Grand Mufti Bosnia dan Herzegovina mengusulkan, agar inisiatif ini tidak berhenti di tengah jalan, maka forum KTT ulama dan cendekiawan muslim dunia ini mesti digelar terus-menerus setiap tahun. “Masing-masing poin dalam Pesan Bogor harus diperkuat dalam konferensi-konferensi selanjutnya sehingga mempunyai manfaat, bukan sekedar menjadi dokumen di atas kertas,”kata dia.
Ceric juga mengusulkan pelibatan kaum muda untuk melakukan riset atas tujuh nilai utama dari Wasatiyyat Islam. Dengan segala potensinya yang luar biasa, anak-anak muda mesti diajari untuk semakin inklusif dan integratif.
“Kita bersama harus mendukung Pesan Bogor ini. Pesannya singkat dan langsung pada inti, mengenai peran kita sebagai ulama muslim. Kita akan mendukungnya untuk memberikan pesan kepada dunia,”tambahnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Fiqih Amerika Utara, Prof Muzammil Assidiqi mengusulkan agar prinsip-prinsip Wasatiyaat Islam dikembangkan menjadi rencana kerja, misalnya dengan memasukkannya pada kurikulum pendidikan di negara-negara peserta KTT. Selain itu, apabila terjadi konflik di negara-negara muslim, menurut Muzammil perlu dibentuk semacam komite untuk membangun upaya rekonsiliasi.
Mufti Damaskus, Suriah, Abdul Fattah Bizm menegaskan pentingnya para ulama dan cendekiawan muslim menyuarakan poin-poin Pesan Bogor untuk menjelaskan hakikat Islam yang sebenarnya kepada seluruh masyarakat dunia. “Kita harus berinteraksi dengan masyarakat apapun dari latar belakang apapun. Semoga orang lain mendengarkan apa yang kita lakukan sehingga mereka bisa mengoreksi apa yang selama ini terlintas di benak mereka, bahwa islam itu buruk,” kata dia.
Muhammad Ghazali, Hakim Agung asal Pakistan melihat Indonesia memiliki kapasitas dan potensi untuk menyerap nilai-nilai keberagaman. “Negara saya buruk dalam mengatasi terorisme. Mari kita melawan kampanye sesat terorisme. Kita mesti melakukan pendekatan serius untuk mencari jalan keluar. Mereka yang mengalami kekosongan diri mesti kita beritahu,”ucapnya.
Menurut Ghazali, metode yang paling bagus dalam mengantisipasi terorisme adalah pendidikan. Karena itulah harus dipastikan bahwa setiap orang memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai Keislaman. Apabila masyarakat telah memiliki basis kuat, maka mereka tidak akan mudah dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman lain yang menyesatkan.
Kini, di tengah merebaknya teror di Jakarta, Surabaya, Sidoarjo dan kota-kota lainnya, negara-negara muslim di dunia menunggu komitmen bangsa Indonesia untuk bersama-sama solid mengantisipasi terorisme demi terwujudnya perdamaian seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.