Jatuh dipukul, bangun lagi. Tersungkur dihajar lagi, tetap masih bangkit. Ibarat petinju yang menolak kalah meski dihantam bertubi-tubi oleh saudara sendiri. Itulah karakter Surabaya menghadapi teror bom dua hari terakhir.
Pukulan telak pertama adalah teror bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuno, Minggu (13/5/2018). Serangan dilakukan Dita Oeprianto (48) dan Puji Kuswati (43) yang secara keji melibatkan empat anak mereka. Dua putra Dita, YF (18) dan FH (16), meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela. Puji membawa dua putrinya, FS (12) dan FR (9), meledakkan diri di Gereja Kristen Indonesia. Sementara Dita meledakkan diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya.
Teror yang mengakibatkan Dita sekeluarga tewas, 8 orang meninggal, dan 44 orang terluka tak membuat gentar warga Surabaya atau Curabhaya menurut Prasasti Trowulan bertarikh 1358 atau kakawin Nagarakretagama. Lebih dari 30 orang umat Gereja Santa Maria Tak Bercela mengikuti ekaristi, Senin (14/5) pukul 05.30.
”Kami mengampuni pelaku teror bom, sekaligus tidak takut. Kami berdoa agar Tuhan mengampuni para pelaku teror bom karena kebencian hanya bisa diselesaikan dengan cinta kasih,” ujar Pastor Kepala Paroki Gereja Santa Maria Tak Bercela Alexius Kurdo Irianto.
Senin, pukul 08.50, teror terjadi di gerbang Polrestabes Surabaya di Jalan Sikatan. Bom diledakkan Tri Murtiono dan Tri Ernawati yang membawa ketiga anaknya, MS, MAM, dan AAP. Dalam peristiwa itu, AAP selamat, tetapi luka berat sehingga masih dirawat di RS Bhayangkara HS Samsoeri Mertojoso.
Teror kedua itu ibarat kembali menjatuhkan Surabaya dalam suasana mencekam. Namun, pukul 13.00, lebih dari 100 sivitas akademika Universitas Katolik Darma Cendika menggelar misa arwah untuk korban teror bom. Salah satu korban adalah alumnus bernama Aloysius Bayu Rendra Wardhana.
”Bayu menyerahkan jiwanya untuk mencegah dampak luas teror bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela. Tindakan itu berasal dari kedalaman hati yang jernih agar tidak banyak umat menjadi korban,” kata Ketua Yayasan Darma Cendika Adrian Adirejo OP, yang juga Pastor Kepala Paroki Redemptor Mundi dalam khotbah misa di aula kampus.
Sejak teror pertama, simpati dan persaudaraan warga ”Kota Pahlawan” kian mekar. Karangan bunga tanda duka ditujukan kepada gereja dan para korban. Linimasa media sosial penuh kecaman terhadap teror bom. Di Tugu Pahlawan, ribuan orang menyalakan lilin dan memanjatkan doa untuk keamanan. Bonek, pendukung Persebaya Surabaya, berkampanye melalui spanduk di sejumlah kampung sebagai simbol perlawanan terhadap terorisme. Unit Transfusi Darah PMI Kota Surabaya, Minggu dan Senin, didatangi ratusan donor.
Perhatian
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berkali-kali meminta maaf karena merasa bahwa salah satu pemicu teror bom ialah belum maksimal melayani publik. Namun, ia menegaskan, jangan pernah takut, apalagi menyerah. Penjagaan dan kewaspadaan ditingkatkan dari sisi strategis dan intensitas.
Menurut Risma, pemerintah sudah mencari dan menolong anak telantar dan orang-orang yang kesusahan. Arek Suroboyo terbiasa gotong-royong dan akrab. ”Jangan ada lagi pembiaran terhadap warga yang tidak mau bergaul dan enggan bersosialisasi,” kata Risma.
Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih membuka layanan pemulihan trauma untuk korban ledakan bom. Layanan diberikan oleh dosen Fakultas Psikologi kepada korban dan anak-anak pelaku teror bom.
Pemulihan trauma dilakukan di RS Bhayangkara Polda Jatim dan panggilan sesuai kebutuhan warga. Layanan ini didorong ke semua tempat ibadah terdampak teror dan warga yang memerlukan. Kampus juga siap memberikan sumbangan pemikiran untuk mempercepat pemulihan di semua aspek kehidupan.
Di depan Gereja Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel (Katedral Malang) di Jalan Ijen, Malang, Senin malam, ratusan orang menyanyikan ”Indonesia Raya” dan ”Ibu Pertiwi” sambil memegang lilin menyala. Diiringi gesekan biola Aji Prasetyo, warga Malang menyatakan keprihatinan dan mengirim doa bagi warga Surabaya. ”Berkumpul di sini kami menunjukkan kepada mereka (teroris) bahwa bangsa ini tidak pernah takut,” ujar Aji Prasetyo, juru bicara aksi Aliansi Damai Malang (Adam).
Adam meyakini, sejarah membuktikan bangsa Indonesia tak pernah bisa dikalahkan. Indonesia adalah bangsa yang kuat sekaligus mempunyai hati nurani yang jernih dalam memandang berbagai persoalan dan masa depan.