Sivitas Akademika Perlu Memahami Teknik Menulis Ilmiah Populer
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Jangkauan penyebaran informasi hasil kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi masih terbatas. Hal itu karena belum seluruh sivitas akademika memahami teknik menulis ilmiah populer. Padahal, kegiatan tri dharma perguruan tinggi yang menginspirasi perubahan positif perlu diketahui khalayak.
Kepala Seksi Pelayanan dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Universitas Indonesia Lenny Maykel, Selasa (15/5/2018), menuturkan, Tri Dharma Perguruan Tinggi meliputi kegiatan penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat. Setelah sivitas akademika menyelesaikan riset atau penelitiannya, aplikasi hasil riset dilakukan dalam kegiatan pengabdian masyarakat.
Namun, belum seluruh sivitas akademika memiliki keterampilan menuangkan laporan kegiatan pengabdian masyarakat dalam bahasa ilmiah populer. Hal tersebut penting mengingat bahasa ilmiah populer dapat memperluas diseminasi.
Universitas Indonesia bekerja sama dengan harian Kompas mengadakan pelatihan jurnalistik ilmiah populer kepada sivitas akademika UI, Selasa. Wartawan Kompas, Agnes Aristiarini dan Sri Hartati Samhadi, hadir sebagai pemateri di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Pemaparan materi diawali oleh Sri Hartati Samhadi yang menjelaskan mengenai artikel Opini di harian Kompas. Artikel Opini, kata Sri, merupakan karya ilmiah populer karena mengandung kerangka atau landasan teori, tetapi disajikan dalam bahasa yang sederhana yang mudah dipahami.
Dalam kesempatan itu, Sri menyampaikan kiat-kiat dalam menulis artikel opini. Judul dan teras (lead) tulisan yang menarik penting untuk dirumuskan. Judul dan lead yang menarik akan membawa pembaca untuk masuk lebih jauh ke dalam tulisan. Artikel Opini yang baik, kata Sri, harus menyajikan sudut pandang atau perspektif baru dalam mengulas sebuah persoalan.
”Dengan demikian, pembaca menjadi lebih paham dan mendapatkan sesuatu,” kata Sri. ”Begitu membaca kita enggak ingin berhenti karena dari judulnya atau lead-nya menarik, membawa pembaca masuk lebih jauh ke dalam tulisan. Angle yang baru atau perspektif yang baru, penulis harus tawarkan cara baru memandang suatu persoalan, pembaca menjadi lebih paham dan mendapatkan sesuatu,” katanya.
Selain pemahaman terhadap pentingnya sebuah isu, tak kalah penting penulis harus lihai dalam mengungkapkan apa gagasan yang hendak ia ajukan dalam tulisan.
Menurut Sri, artikel yang baik bisa memberi efek kuat pada target pembaca. Penyampaiannya mesti lugas, menarik, tidak membosankan, padat, dan langsung menukik ke jantung persoalan.
Sementara itu, Agnes Aristiarini menyampaikan, artikel Opini haruslah memperhatikan aktualitas atau sesuai dengan isu yang sedang hangat di masyarakat. Penulis harus mengupayakan kedalaman tulisan, mampu membuka wawasan, bisa menjelaskan duduk perkara, menarik, dan enak dibaca.
Agnes menyarankan sivitas akademika untuk banyak membaca buku novel dan menonton film. Kebiasaan itu, katanya, bermanfaat mengasah berbagai kosakata yang puitis menarik sekaligus belajar menulis gaya deskriptif.
Publikasi di media populer
Kepala Subdirektorat Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia Nengtine Kartinah menyampaikan, sivitas akademika bertanggung jawab menulis laporan kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat secara akademis. Hasil laporannya bisa dituangkan dalam bentuk buku berita, video, atau artikel ilmiah.
Nengtine menambahkan, selama ini sivitas akademika Universitas Indonesia kesulitan mengakses media populer untuk mendiseminasi capaian program pengabdiannya. Kerja sama antara UI dan Kompas diharapkan akan membuka jalur bagi para dosen untuk memublikasikan hasil riset atau lainnya di media populer.
”Jadi diharapkan nantinya hasil-hasil riset dan pengabdian masyarakat tidak hanya bisa diakses kalangan tertentu saja. Sekaligus sebagai bahan masukan dari masyarakat kepada sivitas akademika terhadap apa yang kami lakukan,” ujarnya di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Menurut Nengtine, diseminasi yang terlaksana selama ini hanya dalam artikel atau seminar-seminar konferensi internasional. Ia menilai diseminasi itu masih terbatas dan tidak mencakup semua elemen masyarakat. Dengan demikian, publik tak mengetahui kisah sukses dan perubahan positif di masyarakat dalam program pengabdian masyarakat. Padahal, dengan diseminasi luas, peluang keberhasilan program pengabdian masyarakat untuk direplikasi di daerah lain menjadi lebih terbuka.
Ia mencontohkan program pengabdian masyarakat yang dilakukan UI di Bali pada 2017. Kala itu, tim UI menghidupkan kembali budaya yang sudah hampir punah, yaitu tarian Sang Hyang Dedari. Tim UI, kata Nengtine, menggali dan menghidupkan kembali lalu mengajarkan tarian itu kepada generasi muda.
”Kami juga buatkan museum mininya yang berkisah tentang nilai-nilai filosofi tarian tersebut,” kata Nengtine.