Tradisi Menulis Lontar untuk Merawat Sejarah dan Mengolah Rasa
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Tradisi lontar dapat merawat ingatan bangsa terhadap sejarah dan peradaban. Berbagai macam pengetahuan dan kearifan lokal yang tertulis dalam naskah lontar berguna bagi bangsa agar menjadi lebih baik. Olah rasa turut terjadi dalam tradisi tersebut karena kesabaran menjadi hal penting.
Paksi Raras Alit, pegiat sastra Jawa, mengatakan, tradisi lontar itu merupakan suatu hal yang penting karena itu menjadi catatan peradaban yang dialami oleh suatu masyarakat. “Dengan membaca lontar, kita bisa membaca masa kini dari masa lalu. Semua peradaban kita yang ada sekarang itu bermula dari apa yang tertulis di media masa lalu,” kata Paksi, seusai acara berjudul “Membaca Lontar Kuno”, di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, Selasa (15/5/2018).
Paksi menyatakan, naskah-naskah lontar yang ada sekarang hendaknya juga dibaca dan tidak sekadar menjadi benda museum. Pembacaan terhadap naskah itu menjadi penting karena yang termuat di dalamnya adalah berbagai pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat pada zamannya.
Kepala Museum Sonobudoyo Diah Tutuko Suryondaru mengatakan, naskah lontar itu merupakan dokumen yang dimiliki oleh pribadi atau beberapa kelompok yang tujuannya untuk mengingatkan kembali apabila ada peristiwa berharga. Selain itu, ia menilai makna yang dikandung dalam sebuah naskah lontar itu cukup tinggi.
“Mungkin bisa berkaitan dengan kehidupan sosial sehari-hari seperti bagaimana bertata krama dan berlaku dalam masyarakat. Tetapi, tidak terbatas pada itu saja. Pengetahuan tentang obat-obatan ataupun peristiwa-peristiwa tertentu termuat pula dalam naskah lontar,” kata Diah.
Fajar Wijanarko, filolog dari Museum Sonobudoyo, menyampaikan hal serupa. Muatan yang terkandung dalam naskah lontar itu didasarkan pada konteks sosial dan kultural dari suatu masyarakat yang menjadi tempat berkembangnya tradisi tulis itu. Oleh karena itu, norma atau nilai yang dianut oleh suatu masyarakat itu terkandung dalam naskah lontarnya.
Sugi Lanus, praktisi dan pelestari tradisi lontar, menyatakan, banyak naskah-naskah lontar yang mengajarkan tentang kebaikan dan bagaimana beretika. Ia menganggap hal itu penting karena dengan mengilhami naskah lontar dapat menuntun laku baik seseorang dalam masyarakat.
“Bagaimana bersikap dengan orang yang lebih tua, bagaimana berbicara, ada banyak itu dalam cerita-cerita rakyat yang tertulis di naskah lontar,” kata Sugi.
Meski sejumlah pihak merasa tradisi lontar itu penting untuk dilestarikan, dalam kenyataannya tradisi itu ditinggalkan masyarakat. Paksi mengatakan, persoalannya terletak pada tidak teraksesnya generasi muda pada naskah-naskah lontar. Hal itu mengakibatkan nilai-nilai yang terdapat dalam naskah lontar tidak bisa tertransfer.
“Kita tidak banyak yang bisa mengakses ke situ (naskah lontar). Masalahnya ada pada kesulitan bahasa, kesulitan alih aksara, dan masifnya hal-hal dari luar yang lebih mudah terakses,” kata Paksi.
Sementara itu, Fajar menyampaikan, cara nyata untuk dapat mentransferkan pengetahuan yang terdapat dalam naskah-naskah lontar itu adalah dengan menelitinya. “Setelah itu mempublikasikan hasil penelitian itu untuk membuka pandangan masyarakat bahwa kita memang dibentuk dari beragam kebudayaan,” kata Fajar.
Rapuh
Tradisi menulis lontar membantu orang menjadi mampu untuk mengolah rasa. Dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi agar bisa membubuhkan tulisan pada daun lontar.
Saat ini, tidak banyak daerah yang masih mempunyai tradisi lontar. Bali adalah salah satu tempat tradisi lontar yang masih hidup dan aktif dilestarikan masyarakatnya. Bahkan, menulis lontar menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam kejuaraan antarsekolah.
Ari (19), mahasiswa asal Bali, termasuk yang masih menekuni tradisi tersebut. Ia melakukan hal tersebut karena ketika menulis di daun lontar, dia mendapatkan kesenangan tersendiri. “Ada kepuasan batin. Saya dilatih sabar dan tenang ketika menulis di lontar itu,” kata Ari.
Daun lontar sangat berserat dan rapuh. Sementara itu, untuk menulis di daun lontar alat yang digunakan itu berupa pisau kecil. Ari menyatakan, kalau tidak sabar, pasti lontar yang sedang ditulis itu akan sobek.
Terkait hal itu, Sugi menyampaikan, menulis lontar memang benar-benar menguji kesabaran. Rapuhnya komposisi media lontar itu membuat orang harus berhati-hati. “Dari kehati-hatian itu, maka olah rasa dan upaya berlaku halus perlahan menumbuh,” ujar Sugi.