Pelibatan istri dan anak-anak dalam aksi teror menandakan proses radikalisasi di Indonesia sudah sangat parah hingga masuk unit terkecil dalam masyarakat. Jumlah keluarga yang memiliki ideologi radikal diyakini cukup banyak. Hal ini menjadi alarm bagi pembangunan dan pembinaan keluarga di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Bibit radikalisme dalam keluarga sudah lama terdeteksi. Namun jika pelaku teror adalah satu keluarga bersama, seperti dalam kasus bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur pada 13-14 Mei 2018, itu adalah fenomena baru dalam aksi terorisme global. Pemerintah perlu mewaspadai karena jumlah keluarga yang memiliki ideologi radikal diyakini cukup banyak.
“Pelibatan satu keluarga sebagai pelaku teror atau bom bunuh diri itu merupakan pola baru dalam proses radikalisme,” kata dosen dan peneliti psikologi terorisme di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Gazi Saloom di Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018) dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri atas suami-istri dengan empat anak berumur 9-17 tahun dan semuanya tewas. Sedang bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya, Senin (14/5/2018), juga melibatkan sepasang suami istri dengan tiga anak dengan anak terkecil selamat.
Pelibatan anggota keluarga dalam aksi terorisme diduga dilakukan untuk memperkecil risiko kegagalan aksi karena hanya melibatkan orang-orang dalam lingkungan terbatas. Selain itu, juga untuk menghindari penderitaan dan stigma yang dialami istri dan anak jika mereka tidak diajak serta melakukan teror.
“Pelibatan keluarga itu berangkat dari keyakinan palsu di pikiran mereka bahwa bom bunuh diri bisa mengantarkan mereka bersama ke surga,” tambahnya.
Kondisi itu, dinilai Gazi menjadi alarm bagi pembangunan dan pembinaan keluarga di Indonesia. Pelibatan perempuan atau istri dalam kasus teror sudah banyak terjadi di negara lain. Namun, pelibatan istri dan anak-anak sekaligus dalam aksi teror menandakan proses radikalisasi di Indonesia sudah sangat parah hingga masuk dalam unit terkecil dalam masyarakat.
“Kasus di Surabaya hanyalah fenomena gunung es,” tegasnya. Ke depan, kasus teror yang dilakukan satu keluarga diyakini akan makin banyak terjadi. Karena itu, negara perlu segera melakukan intervensi untuk mencegahnya.
Ke depan, kasus teror yang dilakukan satu keluarga diyakini akan makin banyak terjadi. Karena itu, negara perlu segera melakukan intervensi untuk mencegahnya.
Ketua Umum Ikatan Ahli Parenting Indonesia (iParent) Sudibyo Alimoeso mengatakan terjadinya radikalisasi di dalam keluarga akan membuat upaya menumbuhkan dan menyebarkan paham radikal itu makin sulit dikontrol. Keluarga merupakan tempat paling potensial untuk menguatkan karakter apapun, termasuk radikalisme.
“Selama ini keluarga jadi tempat perlindungan anak yang baik dari ancaman radikalisme. Namun kini, justru di keluargalah anak-anak diciptakan menjadi radikal,” katanya.
Perkuat hubungan kekerabatan
Dalam keluarga pelaku teror, anak-anak sudah terpapar paham radikal sejak kecil hingga pikiran radikal tertanam di pikiran bawah sadarnya. Indoktrinasi itu akan berjalan lancar jika kedua orangtua saling mendukung untuk menanamkan paham radikal bersama-sama.
Proses radikalisasi dalam keluarga itu akan sulit dideteksi lingkungan jika keluarga pelaku teror tidak menunjukkan perilaku yang mencurigakan di masyarakat. Namun, karakter keluarga yang tertutup pun akan sulit dikenali jika individualisme di masyarakat kuat, khususnya di kawasan urban.
Untuk itu, Sudibyo menilai perlunya kembali penguatan hubungan kekerabatan di Indonesia. Masyarakat pun di bawah koordinasi ketua rukun tetangga atau rukun warga perlu lebih peduli dengan lingkungannya. Meski sulit, upaya-upaya itu diharapkan bisa meredam pemanfaatan keluarga menjadi persemaian bibit-bibit terorisme di masa depan.
Perlunya kembali penguatan hubungan kekerabatan. Masyarakat pun perlu lebih peduli dengan lingkungannya. Upaya-upaya itu diharapkan bisa meredam pemanfaatan keluarga menjadi persemaian bibit-bibit terorisme di masa depan.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto juga mengingatkan masyarakat untuk mencermati dan peka terhadap pergeseran modus aksi terorisme tersebut. Infiltrasi terorisme melalui institusi keluarga. Gerakan ini tidak mudah dideteksi dan terpantau lingkungan sekitar karena masuk melalui proses pengasuhan dari keluarga. Kasus Surabaya menjadi contoh betapa pelibatan anak dalam aksi terorisme.
“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan langkah-langkah antisipatif dan pencegahan secara masif melalui berbagai model pendekatan, agar ruang gerak jaringan terorisme dapat dicegah sedini mungkin,” ujanya
Melalui sekolah
Rekrutmen pelaku jaringan terorisme menggunakan berbagai modus, mulai dari modus perkawinan, indoktrinasi melalui media sosial yang menyasar usia-usia remaja, atau melalui patronase guru, yakni penyusupan melalui guru untuk merekrut pelaku teror.
“Anak sangat mudah terpengaruh untuk mengikuti, mengingat guru sebagai sosok yang diyakini pembawa kebenaran,” papar Susanto.
Di Surabaya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, aksi terorisme di Surabaya menjadi pelajaran penting bagi semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan. “Terutama kepala sekolah, penting untuk mewaspadai agar jangan sampai ada korban dari anak-anak yang masih punya masa depan,” katanya.
Muhadjir mengimbau agar sekolah dan orangtua dapat menguatkan hubungan satu sama lain, sebagai bagian dari tri pusat pendidikan dan penguatan pendidikan karakter (PPK). “Kami ingin agar sekolah punya data lengkap hubungan antara siswa dengan orangtua, dan hubungan orangtua dengan sekolah,” ujar Muhadjir.
Terbangunnya hubungan yang baik antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, ujar Muhadjir, dapat membantu sebagai upaya pencegahan. "Jika ada perilaku menyimpang, baik oleh siswa atau pun orangtua, bisa segera diketahui," kata Muhadjir.