JAKARTA, KOMPAS - Penegakan hukum serta melengkapi aturan teknis terkait pencemaran di perairan, darat, dan udara, terus dinanti. Upaya perbaikan lingkungan agar diiringi perbaikan perilaku industri dan masyarakat perlu memikirkan daya dukung lingkungan akibat tindakannya.
Sungai Citarum, misalnya, yang menjadi ruang hidup bagi 20 juta jiwa di Jawa Barat dan DKI Jakarta, masih menjadi tempat pembuangan limbah industri. Air ini menjadi air baku maupun pengairan sawah dan berbagai tanaman pangan.
Di sisi lain, kandungan merkuri (logam berat) belum menjadi standar dalam pengukuran kualitas air minum maupun pangan. Bila senyawa ini memasuki tubuh akan bersifat terkumpul dan toksik bila melampaui kadar kesehatan.
"Ketahanan nasional ini terkait ketahanan kesehatan warganya yang ditentukan kualitas lingkungan," kata Wiku Bakti Bawono Adisasmito, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Selasa (15/5/2018), dalam diskusi multipihak di Kantor Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Jakarta.
Ia menyoroti program Jaminan Kesehatan Nasional senilai Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun per tahun, bahkan mengalami defisit anggaran, masih bersifat kuratif atau pengobatan. Pembiayaan utama untuk menangani penyakit degeneratif, seperti gagal ginjal (senilai Rp 1,9 triliun untuk cuci darah). Penyakit tersebut disebabkan gaya hidup dan pencemaran lingkungan.
Karena itu, Wiku mendorong agar upaya preventif-promotif terkait risiko pencemaran lingkungan pada kesehatan ini digenjot. Harapannya, perpektif baru dalam meningkatkan kualitas kesehatan ini bisa menekan beban Jaminan Kesehatan Nasional.
Paparan merkuri
Jossep Frederick William, Co-founder Medicuss Foundation menjelaskan merkuri bersifat bioakumulasi pada rantai makanan makhluk hidup, termasuk pada manusia. Di sisi lain, pencemaran merkuri pada berbagai media lingkungan berdampak global karena terbawa oleh arus, angin, maupun iklim.
Di Sungai Citarum, pengukurannya tahun 2018 menunjukkan kandungan merkuri pada ikan lele telah melampaui standar baku mutu. Dari tiga lokasi yang diukur, kandungan merkuri terendah pada bagian hulu, Cisanti, yang mencapai 5,32 x 10² Ug/gram (standar kurang dari 0,5 Ug/gram).
Ahmad Ashov Birry, Jurukampanye Detoks Greenpeace Indonesia mengatakan penataan Sungai Citarum agar dilakukan dengan mengukur dan menetapkan daya tampung bahan pencemaran. Ini diiringi peninjauan ulang perizinan pembuangan limbah ke sungai maupun merelokasi industri.
Langkah ini diharapkan dapat menjaga kondisi sungai sesuai dengan tujuan pemanfaatan. Dengan kata lain, bila sungai digunakan sebagai air baku atau sumber bahan air bersih, daya tampung bahan pencemar agar diperketat.
Di sisi lain, lanjut Ashov, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, telah ketinggalan zaman. Di dalamnya belum melarang bahan-bahan kimia berbahaya seperti PCP. Dalam PP tersebut, bahan berbahaya sebagai pengawet warna tekstil ini masih dapat digunakan dalam industri.
Di sepanjang Sungai Citarum terdapat 2.000 pabrik tekstil yang sebagian membuang limbah cair ke badan sungai. Para Komandan Sektor dari Kodam Siliwangi yang mengikuti diskusi di Dewan Ketahanan Nasional, kemarin, memaparkan kebandelan perusahaan yang membuang limbah industri yang secara kasat mata, belum layak.
Kolonel (Inf) Yusep Sudrajat menunjukkan saluran pembuangan limbah dari industri yang mengucur berwarna kehitaman. "Hampir semua pabrik seperti ini. Tapi kalau dites KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), ternyata memenuhi baku mutu. Padahal anak buah saya turun ke situ gatal-gatal," kata dia.
Kesaksian lain, Kol (Inf) Kustomo Tiyoso, menemukan saluran pembuangan limbah pabrik yang masih panas, dibuang ke badan sungai. Ia pun menemukan industri yang membuang limbah di luar kapasitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpadu. Lantaran tak tertampung, limbah tersebut dibuang begitu saja ke sungai.
Terkait masalah limbah ini, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengingatkan agar perbaikan lingkungan tak membebani anggaran negara. "Kami mendorong agar prinsip "pencemar membayar" dijalankan. Jangan negara berhutang karena sama saja menyubsidi pencemar lingkungan," ungkapnya.
Kami mendorong agar prinsip "pencemar membayar" dijalankan. Jangan negara berhutang karena sama saja menyubsidi pencemar lingkungan.
Ia menagih penegakan hukum negara pada industri yang membuang limbah ke sungai. Nur Hidayati mengingatkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menganut hukum strict liability atau tanggung jawab mutlak yang bisa diberlakukan pada kegiatan atau usaha yang menghasilkan limbah berbahaya.
Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum (14 Maret 2018). Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memberi waktu 3 bulan kepada pelaku industri untuk melengkapi dan menjalankan IPAL.