Penegakan Hukum Tak Bikin Jera
MEDAN, KOMPAS - Tingginya volume penyelundupan di Selat Malaka dipengaruhi lemahnya penegakan hukum. Yang ditindak lebih banyak pelaku lapangan, adapun pelaku utama nyaris belum tersentuh. Tanpa keseriusan penegakan hukum, penyelundupan sulit diberantas.
“Sulit untuk menyeret pemodal ke meja hijau. Informasi yang diperoleh dari tekong (nakhoda kapal kayu) selalu terputus, sehingga sulit untuk menemukan pemilik barang selundupan,” kata Kepala Seksi Penindakan II Kantor Bea Cukai Aceh, Didik Mujiyono, Selasa (15/5/2018).
Secara terpisah, Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Sumatera Utara, Souvenir Yustianto menambahkan, dari 13 kasus penyelundupan yang ditangani pada 2017, sebanyak 26 pelaku yang dijerat hukum adalah nakhoda dan anak buah kapal.
Terputusnya rantai informasi antara awak kapal penyelundupan, dan pemodal yang menyulitkan penyidikan, setidaknya terungkap dalam operasi Jaring Sriwijaya pada awal Mei, yang diikuti tim Kompas.
Fakta itu terungkap dari pengakuan HS, seorang tekong kapal Doa Ibu III, yang ditangkap Kapal BC 30005 di perairan Aceh Tamiang, Aceh pada Jumat (4/5/2018), saat membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari dari Malaysia.
Menurut HS, pemilik barang selundupan sudah mengetahui penangkapan pada saat kejadian. Sesaat sebelum ditangkap, HS memberi informasi kepada bos penyelundup melalui telepon satelit bahwa kapalnya diberhentikan patroli. Singkatnya, teknologi informasi telah dipakai guna memutus rantai penyidikan.
Meski demikian, sepanjang 2016-2018, Kantor Bea Cukai Aceh berhasil menangkap 23 kapal pengangkut barang selundupan dari Malaysia dan Thailand ke Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Sebanyak 23 orang diproses hukum. Sebagian sudah divonis dan sebagian dalam proses penyelidikan. Itu belum termasuk penangkapan tiga kapal penyelundupan terbaru pada awal Mei 2018.
Menurut Didik, kapal penyelundup sudah sering ditangkap, namun belum ada efek jera. Salah satu penyebabnya, vonis terhadap penyelundup sangat lemah. Sehingga, penegakan hukum menjadi kurang efektif. “Rata-rata vonis terhadap pelaku hanya dua tahun penjara,” katanya.
Padahal aturan Undang – Undang No 17/2006 tentang Kepabeanan menyebutkan, pelaku penyelundupan diancam hukuman sampai 10 tahun penjara. Selain itu, menurut Souvenir, delik yang dapat diterapkan kepada penyelundup terbatas pada Pasal 102 huruf A UU No 17/2006.
Pasal itu hanya dapat menjerat orang yang mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes. Di sisi lain, aparat tidak punya dasar hukum kuat untuk menindak pemilik barang selundupan. ”Kami juga tidak bisa menindak pedagang pakaian bekas di pasar, meski kami tahu itu selundupan,” ujar Souvenir.
Souvenir mengatakan, Kanwil DJBC Sumut sebenarnya mengetahui orang-orang yang diduga aktor utama penyelundupan. Aktor utama ini ada di Tanjungbalai, Asahan, dan Medan. Barang yang mereka selundupkan mayoritas pakaian bekas, bawang merah, beras, beras ketan, dan gula.
Sulitnya menindak para pemain utama, kata Souvenir, antara lain karena mereka menggunakan operator sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan nakhoda dan anak buah kapal. ”Mereka juga bertransaksi secara tunai sehingga aliran dana dari aktor utama kepada nakhoda kapal, sulit dibuktikan,” ujarnya.
Terkait data penyelundupan, sepanjang tahun 2016, Kantor Wilayah Bea dan Cukai Khusus Kepulauan Riau menangani 110 perkara. Sebanyak 12 perkara telah disidang, 49 perkara selesai diberkas, satu di antaranya dihentikan penyidikannya. Barang bukti mayoritas dimusnahkan (70 perkara). Selebihnya, ada yang dilelang dan dihibahkan.
Bawang merah
Sesuai data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, komoditas bawang merah dan pakaian bekas menjadi yang terbanyak diselundupkan lewat Selat Malaka. Satu dari empat kasus penyelundupan di Tanah Air, dipastikan membawa bawang atau pakaian bekas. Di Aceh, penyelundupan yang membawa bawang merah berlangsung sepanjang tahun.
Sebaliknya, menurut Direktur Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Ninuk Rahayuningrum, penyelundupan barang kebutuhan pokok misalnya bawang merah, tidak selalu terjadi. Menurut dia, penyelundupan bawang biasa terjadi ketika permintaan tinggi dan saat itu sedang tidak musim panen.
Saat musim panen, kata Ninuk, penyelundupan bawang kecil kemungkinan terjadi. Apalagi harga saat itu juga bisa ditekan. Terkait pengendalian harga barang kebutuhan pokok di Pulau Sumatera, tak cuma tugas Kementerian Perdagangan. “Kementerian Pertanian juga ikut memastikan ketersediaan pasokan. Termasuk, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), di tiap daerah,” kata Ninuk.
Dari pengalaman Kompas selama sepekan mengikuti operasi Jaring Sriwijaya, dapat disimpulkan, penangkapan kapal penyelundupan di laut termasuk pekerjaan sulit. Tanpa kerja sama dan kesungguhan semua pihak, yaitu Bea Cukai, TNI AL, Polri, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Keamanan Laut, upaya penyelundupan mustahil dikendalikan, apalagi dihentikan.
Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo membenarkan masih kuatnya ego sektoral antara berbagai instansi terkait keamanan laut, termasuk dalam menangani penyelundupan. Arie mengatakan, memang dalam UU no 32/2014 tentang Kelautan, yang menggarisbawahi sinergi antar instansi.
“Masalahnya, untuk operasi di laut, setiap instansi memiliki DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) masing-masing. Jadi tiap instansi harus melaksanakan operasi sesuai DIPA-nya,” kata Arie, Selasa (15/5/2018).
Hal ini tentu memiliki konsekuensi yang panjang. Mulai dari perencanaan operasi, hingga penggunakan ke alat dan kelengkapan masing-masing instansi.
Ia mengatakan, hingga hari ini kerja sama dilakukan sebatas pada saling berbagi informasi. Hal ini diharapkan dapat mengatasi masalah yang ada, seoptimal mungkin. Misalnya, Bakamla punya informasi tentang penyelundupan, disampaikan pada Bea Cukai. Atau, informasi pencurian ikan disampaikan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Langkah untuk membuat seluruh operasi terintegrasi menurut Arie, terus dilakukan. Ia mengakui, tak mudah bagi Bakamla, yang walau sudah memiliki mandat untuk keamanan laut, guna mengintegrasikan pengamanan maritim. Apalagi, Bakamla baru berusia empat tahun. Sementara, lembaga-lembaga lain telah lama terbentuk dan memiliki sistem tersendiri. “Kita memang melangkah ke sana, tapi kan harus membangun kepercayaan dulu, berupa keyakinan bersama,” kata Arie.
Arie mengingatkan, tidak semua masalah di laut, bersumber dari laut. Justru sebagian besar bersumber dari daratan. Ia mengatakan, bukan berarti kinerja instansi yang ditunjukkan dengan banyaknya penangkapan itu, adalah hal yang positif. “(Bisa berarti) Nnegara tidak aman dong,” kata Arie.
Namun demikian, lanjut Arie, hal ini tentunya tidak bisa lantas menjadi pembenaran, karena Bakamla tidak banyak menangkap di laut. “Kita tidak tangkap, tapi jumlah pelanggaran turun. Caranya dengan meningkatkan sinergi terus,” katanya.
Ia mengatakan, dengan informasi-informasi yang akuratlah, penyelundupan di laut bisa dihentikan atau dicegah. Kerja sama bahkan dilakukan dengan luar negeri, misalnya untuk mendapat info tentang keberangkatan kapal yang dicurigai. Selain itu juga membangun kepercayaan laut internasional. “Upaya-upaya ini memang tidak populer, tapi efektif,” katanya.