Rumitnya Mengurus Bantuan Kebencanaan di Level Internasional
Jika seseorang yang hidup bertetangga dengan baik di suatu kawasan perumahan sedang tertimpa musibah atau bencana, biasanya mereka tak akan kesulitan mendapatkan bantuan. Tetangga rumahnya bisa dipastikan siap membantu apa saja dan kapan saja. Sayangnya, kemudahan itu hampir tidak berlaku jika kejadiannya antarnegara. Bantuan tidak bisa datang dan pergi begitu saja.
Peristiwa kebencanaan memang melatari situasi tanggap darurat. Bencana tsunami Aceh memberi pelajaran banyak orang, banyak daerah, dan tentu saja banyak negara. Peristiwa itu membuat banyak negara semakin menata proses-proses pengiriman dan penerimaan bantuan kemanusiaan tingkat internasional. Indonesia menjadi bagian yang menginisiasi hal tersebut di ASEAN ataupun negara non-ASEAN.
”Sifatnya memang bantuan kemanusiaan. Akan tetapi, semua negara tetap harus menghormati kebijakan-kebijakan masing-masing negara karena semua negara memiliki aturan main tersendiri terhadap segala hal yang berhubungan dengan bantuan kebencanaan, termasuk Indonesia. Bahkan, hal ini bisa masuk dalam pembicaraan tingkat tinggi antarnegara,” kata Deputi I Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) B Wisnu Widjaja yang menjadi Co-Host Lokakarya International Disaster Assistance 2018 di Perth, Australia, ketika dihubungi Kompas dari Bali, Jumat (11/5/2018).
Wisnu menjelaskan mengapa inisiasi pedoman pengaturan pengiriman dan penerimaan bantuan internasional penting. Alasannya, kebencanaan itu hal yang tak terduga sehingga diperlukan banyak latihan dan evaluasi agar siap menghadapi bencana. Indonesia tengah menuju bangsa yang tangguh bencana. Begitu pula negara ASEAN dan juga non-ASEAN.
Karena itu, lokakarya internasional yang melibatkan 18 negara anggota East Asia Summit (EAS) membuat latihan kebencanaan dengan mengambil beberapa kasus bencana menimpa Australia. EAS adalah forum regional terbuka yang muncul di kawasan Asia Timur sejak tahun 2005 guna membahas penanganan bencana secara bersama.
Pada awal pembentukannya, terdapat 16 negara peserta EAS, yaitu 10 negara ASEAN, Australia, China, India, Jepang, Korea, dan Selandia Baru. Amerika Serikat dan Rusia resmi bergabung menjadi peserta EAS pada KTT Ke-6 EAS di Bali, November 2011. Saat ini, jumlah negara peserta EAS menjadi 18 negara.
Latihan kebencanaan tersebut bertujuan menguji pedoman dari tiga buku EAS Toolkit yang telah disahkan pada tahun 2015. Toolkit ini memuat proses permohonan ataupun pengajuan bantuan internasional dan sebagai dokumen panduan untuk para pengambil keputusan menerima atau mengirimkan bantuan. Hanya saja, pedoman ini bersifat tidak mengikat masing-masing negara. Alasannya, masing-masing negara tetap memiliki prosedur kebijakan soal bantuan ini dan begitu pula sebaliknya, masing-masing negara harus menghormati kebijakan negara lain.
Tiga pedoman yang termuat di buku EAS tersebut, pertama mengenai alamat institusi yang bertanggung jawab atas prosedur pengiriman dan penerimaan bantuan internasional di suatu negara. Semua anggota EAS perlu mencantumkan institusi mana yang harus dihubungi. Kontak untuk Indonesia dialamatkan kepada BNPB di Jakarta.
Pada praktiknya, tidak selalu sesuai dengan pedoman seperti di buku pertama. Wisnu memisalkan, ada negara terkena bencana meminta bantuan kepada Indonesia. ”Negara yang meminta bantuan ini bisa jadi melalui jalur Kementerian Luar Negeri dan jalur pembicaraan tingkat tinggi (antarkepala negara atau presiden). Selanjutnya, seusai mereka final di pembicaraan tingkat tinggi, mereka menghubungi BNPB. Itu di Indonesia. Negara lain juga berbeda-beda kasusnya,” ujar Wisnu.
Pada buku panduan EAS kedua ini memuat tata cara untuk mengirimkan bantuan secara cepat. Isinya terkait dengan persiapan orang yang mau mengirim atau orang yang menerima di negara tersebut. Komunikasi awal melalui kontak seperti yang tertera di dalam buku pedoman pertama.
Pedoman kedua, mengkaji kebutuhan bantuan apa saja. Selanjutnya, pedoman ketiga adalah negara yang menerima harus menyiapkan ruangan untuk menempatkan bantuan-bantuan yang datang.
Kesiapan lokasi penempatan bantuan ini penting. Hal ini untuk menguji seberapa jauh kesiapan suatu negara mengatasi kebencanaan yang selanjutnya membutuhkan bantuan negara lain.
Latihan yang digelar di Perth, Australia, itu mengusung kasus negara Australia yang terkena bencana bertubi-tubi. Australia terserang gelombang panas. Dampak gelombang panas itu mengakibatkan ada kebakaran di mana-mana. Bencana itu membutuhkan sumber daya manusia yang harus disiapkan.
Lalu, adanya badai siklon tropis angin laut. Terjadi pula gempa bumi, mengakibatkan sumber daya Australia kekurangan. Karena kekurangan tersebut, terjadi pembicaraan tingkat tinggi antarnegara. Indonesia menjadi salah satu negara yang bersedia memberikan bantuan.
”Nah, skenario kebencanaan ini penting dan membuat lebih waspada sehingga negara menjadi lebih siap, mulai dari kebijakannya hingga aturannya. Dan, negara maju sekalipun belum tentu siap menangani kebencanaan sehingga meminta bantuan dari negara lain. Hal ini terungkap pada latihan kebencanaan dari skenario negara Australia yang terkena bencana,” ujar Wisnu.
Pada pembicaraan tersebut, kata Wisnu, Australia meminta bantuan kepada Indonesia agar bersedia meminjamkan bandaranya untuk menampung bantuan-bantuan negara lain yang datang. Peminjaman bandara ini kerena bandara Australia juga terdampak bencana angin siklon.
Bandara di Bali menjadi pilihan karena dekat dengan Perth. ”Tapi, bandara Bali tidak bisa digunakan meski itu menjadi lokasi terdekat ke Australia. Karena lalu lalang bantuan akan mengganggu pariwisata Bali. Maka, peminjaman bandara difokuskan ke Halim Perdanakusuma, di Jakarta,” kata Wisnu.
Selanjutnya, banyak masalah justru pada lokakarya tersebut. Banyak hal harus ditata mengenai prosedur bantuan internasional ini. Misalnya soal pengiriman obat-obatan, personal, tim SAR, dan anjing tim SAR dilarang masuk ke Australia.
Kemudian, pada buku pedoman nomor 3 dari ESA Toolkit, mencakup tentang kapasitas. Kapasitas ini, kata Wisnu, mencakup uraian apa saja kemampuan suatu negara. Dan, di dalam buku tersebut sudah tercantum tabelnya.
”Banyak hal dalam kebencanaan itu tak semudah seperti dibayangkan. Kadang negara maju itu merasa sering memberikan bantuan kepada negara lain, terutama negara berkembang. Namun, ketika menghadapi latihan, negara mereka yang terkena bencana dan butuh bantuan, bingung juga. Indonesia sudah punya pengalaman memberikan bantuan kepada negara lain, seperti Nepal, Jepang, dan Pakistan, tetapi juga belum memiliki pedoman. Nah, hal ini perlu dipikirkan dan disiapkan masing-masing negara,” kata Wisnu.
Karena itu, bencana itu tak terduga. Maka, latihan dan latihan menjadi sangat penting untuk menjadikan negara tangguh dan siap menghadapi bencana.
Wisnu menceritakan betapa Plt Direktur Jenderal Emergency Management Australia (EMA) Robert Cameron OAM sebagai tuan rumah lokakarrya di Perth berharap agar kerja sama ini memperkuat kesiapsiagaan untuk tanggap darurat yang efisien dan efektif di semua tingkatan. Maka, perlu memperkuat pendekatan regional yang terkoordinasi dan mekanisme operasional yang efektif guna dapat membantu negara ASEAN dan non-ASEAN anggota EAS yang terkena dampak.
Melalui lokakarya ini, Cameron juga berharap adanya perwujudan komitmen berkelanjutan dan tekad yang teguh untuk meningkatkan ketangguhan kawasan. Ia berterima kasih atas kerja sama dan kolaborasi yang terjalin dengan Australia dan seluruh negara peserta.