SEMARANG, KOMPAS - Menyambut bulan Ramadhan 1439 Hijriah, Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (15/5/2018) menggelar Tradisi Dugderan. Parade budaya yang diikuti ribuan warga itu terus dilestarikan untuk menjaga kebersamaan dan kerukunan di tengah keberagaman.
Tradisi Dugderan diawali dengan upacara ala keraton yang dipimpin Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi di Balai Kota Semarang, Selasa siang. Seluruh prosesi upacara menggunakan Bahasa Jawa kromo. Peserta upacara juga wajib mengenakan pakaian adat tradisional dan unik. Di antaranya, kostum dari daur ulang sampah dan baju-baju pahlawan.
Peserta terdiri dari perwakilan sekolah, organisasi etnis dan keagamaan, karangtaruna, dan warga dari 12 kecamatan. Usai upacara, seluruh peserta termasuk pembawa bendera, pemain drumband, bendi dan kereta kencana berparade sejauh 6 kilometer menuju Masjid Agung Jawa Tengah. Total peserta sekitar 2.300 orang.
Tradisi dugderan identik dengan binatang imajiner warak ngendhog (warak yang bertelur). Binatang tidak nyata itu memiliki kepala serupa naga, leher dan badan seperti burak, serta kaki seperti kambing. Meski hanya ada dalam mitos, warak ngendhog memiliki makna mendalam bagi mereka yang memulai ibadah puasa.
Banyak orang juga memaknai warak sebagai lambang keragaman warga Kota Semarang yang terdiri dari sejumlah etnis terutama Jawa (kambing), Tionghoa (naga), dan Arab (burak). Bentuk warak yang serba lurus juga melambangkan sifat warga Semarang yang lurus, terbuka, dan apa adanya. Warak dalam berbagai ukuran diarak dalam karnaval dugderan setiap tahunnya.
“Warak ngendhog menggambarkan masyarakat majemuk, berprilaku positif dan selalu berbuat baik. Maka tradisi ini akan terus dilestarikan agar persatuan terus terjaga,” kata Hendi.
Daya tarik wisata
Antusiasme peserta dugderan terlihat dari properti dan kostum yang dikenalkan. Peserta karnaval, Chindy (17) dan tim dari SMA Muhammadiyah 1 Semarang mengenakan pakaian hasil daur ulang plastik dan kertas. Konsep pakaian daur ulang sengaja dipilih untuk memberi kesan berbeda. Baginya, upaya menjaga persatuan dan kerukunan tak terlepas dari melindungi lingkungan sekitar.
“Saya sudah dua tahun berturut-turut ikut dugderan. Tahun lalu pakai baju kebaya dan samping. Seru, banyak pengunjung yang minta foto bareng,” katanya.
Salah seorang pengunjung asal Jakarta, Rizky Wibowo (30) tertarik menyaksikan karnaval setelah membaca pemberitaan media. Dia menyempatkan datang ke Masjid Agung Kauman di sela-sela jam dinasnya. “Saya baca acara ini hanya satu tahun sekali jadi sengaja menyempatkan datang. Di Jakarta tidak ada tradisi khusus penyambutan Ramadhan secara massal seperti ini,” katanya.
Tradisi dugderan yang dimeriahkan warak ngendhog dimulai dari tradisi di Masjid Agung Semarang dan Masjid Kauman Semarang. Nama dugderan diambil dari suara bedug “dug” dan petasan “der”. Darisitu muncul kata “dugder” yang digunakan untuk memberi tahu warga bahwa bulan Ramadhan telah tiba.
Hendrar menambahkan, karnaval dugderan tahun ini bertepatan dengan rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun Kota Semarang ke-471 sehingga diharapkan bisa mendongkrak kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara. Dugderan juga menjadi ajang silaturahmi antara pemimpin daerah dengan warga Semarang.