Ditinggal Greenpeace, APP Sinar Mas Lanjutkan Kebijakan Perlindungan Hutan
Greenpeace memutus kerja sama dengan APP Sinar Mas dalam menjalankan kebijakan perlindungan hutan. Industri kehutanan raksasa itu tetap berkomitmen menjalankannya.
JAKARTA, KOMPAS—Penerapan kebijakan perlindungan hutan perusahaan Asia Pulp and Paper Grup Sinar Mas yang berjalan lima tahun diragukan setelah temuan deforestasi dilakukan pemasoknya. Itu mendorong Greenpeace keluar dari kerja sama APP meski telah membangun komitmen nol deforestasi.
Organisasi internasional bidang lingkungan itu kini cabut dari kerja sama yang berjalan sejak komitmen Forest Conservation Policy (FCP)/Kebijakan Perlindungan Hutan APP Sinar Mas itu dideklarasikan lima tahun lalu. Alasannya, mereka tidak mendapatkan jawaban memuaskan atas temuan deforestasi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan yang disinyalir Greenpeace terkait Sinar Mas.
Greenpeace memaparkan bukti citra satelit yang menunjukkan deforestasi pada konsesi PT MSL.
Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik, Rabu (16/5/2018) di Jakarta, menyebutkan, selama 5 tahun itu mengalami fase naik-turun dalam membawa APP Sinar Mas memenuhi komitmen FCP. Contohnya pada tahun 2014 saat terjadi konflik berujung pembunuhan di konsesi, salah satu anak perusahaan APP Sinar Mas, PT Wirakarya Sakti Jambi. Perusahaan menyatakan itu disebabkan tindakan satpam alih daya yang nonprosedural dan selesai diproses hukum.
Audit independen
Pemicu lain, pada akhir tahun 2017, The Associated Press menerbitkan laporan investigasi terkait deforestasi seluas 3.000 hektar oleh PT Muara Sungai Landak (MSL) di Kalimantan Barat, sejak 2013. Menurut keterangan resmi APP, pada tahun 2014, perusahaan telah meminta audit independen untuk mengungkap hubungan APP dengan PT MSL dan perusahaan lain, di dalam dan di luar rantai pasokan.
Menurut APP, audit menyimpulkan MSL tak memiliki hubungan dengan APP dan tidak ada kayu MSL yang berasal dari rantai pasokan APP. "Itu tetap berlaku sampai hari ini," kata Elim Sritaba, Director of Sustainability and Stakeholder Engagement APP dalam pernyataan resmi APP, Rabu.
Sebagai respons atas laporan AP, APP Sinar Mas pun melakukan pemeriksaan dan mendapati saham PT MSL dimiliki dua mantan pengawai APP (berhenti November dan Desember 2015) dan karyawan aktif (saat itu) APP yang telah diberhentikan.
Kiki mengatakan Greenpeace juga mengecek lapangan di Kalbar dan menemukan kerusakan hutan. Alasan APP bahwa perusahaan itu bukan lah segrup tak ditolerir. “Menurut kami, APP Sinar Mas ini seharusnya tidak bertindak setelah ada investigasi, kalau mereka komitmen seharusya disclose dan deteksi ini sejak awal,” kata dia.
Menurut kami, APP Sinar Mas ini seharusnya tidak bertindak setelah ada investigasi, kalau mereka komitmen seharusya disclose dan deteksi ini sejak awal.
Hal terbaru adalah, Greenpeace menemukan dalam grup Sinar Mas, perusahaan tambang Golden Energy and Resource (GEAR) yaitu PT Hutan Rindang Banua (PT HRB), pemegang konsesi kayu dan bubur kertas seluas 265.095 hektar di Kalsel. Berdasarkan analisis citra satelit sejak 2013, di dalam konsesi milik PT HRB, sekitar 5.000 hektar hutan di Kalimantan Selatan, telah ditebang.
Pihak APP Sinar Mas menyatakan tidak dapat berbicara atas nama GEAR. "GEAR beroperasi secara independen dari kami dan tidak memasok kayu ke APP," demikian pernyataan APP.
Meski ini perusahaan lain dalam grup Sinar Mas, menurut Kiki, Greenpeace menginginkan kebijakan perlindungan hutan dijalankan APP dan Sinar Mas. “Jadi walau tidak langsung di APP, itu tetap bawa nama Sinar Mas, apalagi ini terkait dengan konsesi kayu di Kalimantan,” kata dia.
Namun pihak Greenpeace dan APP Sinar Mas, mengakui selama lima tahun implementasi kebijakan perlindungan hutan mengalami perkembangan dalam perlindungan hutan bernilai karbon tinggi dan bernilai konservasi tinggi serta membasahi 7.000 ha gambut. “Hampir 500.000 ha hutan berhasil mereka (APP Sinar Mas) selamatkan dalam pendekatan hutan bernilai stok karbon tinggi,” kata Kiki.
APP Sinar Mas menyatakan Greenpeace, bersama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain, bersusah payah menunjukkan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab. Selain penting dalam memerangi perubahan iklim, pengelolaan hutan memberikan manfaat ekonomi bagi perusahaan. "Ini telah menjadi faktor kunci dalam mengubah budaya organisasi APP, yang berkontribusi pada kemajuan hingga saat ini," pernyataan resmi APP.
Perusahaan ini menyatakan tetap berkomitmen untuk bekerjasama dengan semua pemangku kepentingan. Diakui, perjuangan melawan penggundulan hutan di Indonesia adalah masalah yang rumit dan bukan masalah di mana organisasi dapat menyelesaikannya sendiri. "Era kerja sama antara Greenpeace dan APP telah mencapai banyak hal, tetapi pertarungan masih jauh dari selesai," pernyataan resmi APP.
Saat ditanya terkait temuan deforestasi Greenpeace, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Djati Witjaksono Hadi mengatakan, hal itu sedang dibahas dalam rapat pimpinan.