Jangan Terhasut Ceramah yang Mengandung Ujaran Kebencian
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bulan Ramadhan 1439 Hijriah hendaknya dijadikan momentum untuk menyebarkan kedamaian bagi seluruh umat beragama. Masyarakat agar tidak terhasut oleh ceramah yang mengandung ujaran kebencian dan permusuhan tetaplah menjaga kebaikan dan kesucian Ramadhan.
Datangnya bulan suci Ramadhan membuat masyarakat Islam di seluruh dunia berlomba-lomba mengumpulkan kebaikan. Selain kewajiban berpuasa selama 30 hari penuh, mayoritas Muslim juga akan mencari kebaikan dengan mendatangi kajian dan ceramah yang diadakan di sejumlah tempat ibadah.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Muhammadiyah Amin di Jakarta, Kamis (17/5/2018), mengatakan, banyaknya kajian tersebut jangan sampai membuat masyarakat terhasut ceramah yang bersifat provokatif dan mengandung ujaran kebencian.
”Banyak organisasi masyarakat Islam yang mengeluhkan penceramah yang tidak punya pengetahuan yang memadai, tetapi justru penceramah tersebut lebih cepat terkenal. Oleh karena itu, ormas tersebut ingin ada seruan terhadap penceramah ini,” ujar Amin.
Menanggapi hal ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan seruan mengenai ceramah di rumah ibadah. Seruan tersebut bukan hanya ditujukan untuk masyarakat Islam, melainkan juga ditujukan untuk semua penceramah agama, pengelola rumah ibadah, dan umat beragama di Indonesia.
Dalam seruan tersebut, Lukman menyampaikan agar penceramah harus memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama. Tujuan tersebut adalah melindungi harkat dan martabat kemanusiaan serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian dunia.
Isi ceramah yang disampaikan juga harus bernuansa mendidik, mencerahkan, tidak SARA, tidak bermuatan kampanye politik praktis, dan tidak bertentangan dengan empat konsensus bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, bahasa dan kalimat yang digunakan penceramah juga harus baik dan santun serta terbebas dari umpatan, makian, dan ujaran kebencian.
Semua seruan dan imbauan mengenai ceramah ini bertujuan untuk menjaga persatuan, meningkatkan produktivitas bangsa, merawat kerukunan umat beragama, dan memelihara kesucian tempat ibadah.
Menurut Rais Am Syuriah (Dewan Penasihat) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar F Masudi, seorang penceramah memang harus selalu bijak. Penceramah juga perlu memiliki kearifan dan isi ceramahnya dapat menenangkan.
Kurang efektif
Namun, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muti menilai langkah pemerintah kurang efektif jika hanya fokus pada perubahan dan peningkatan kualitas penceramah agama. Hal ini karena penceramah agama bukanlah profesi seperti halnya guru, dosen, dokter, dan profesi lainnya.
”Para khatib, ustaz, dan imam adalah tokoh agama dan masyarakat yang dipercaya dan diminta masyarakat karena ilmu, akhlak, dan kepemimpinannya. Mengawasi ceramah dan mimbar agama sangat sulit dilakukan dan mungkin juga tidak tepat karena jumlah masjid di Indonesia mencapai 800.000,” ujar Abdul.
Menurut Abdul, penyebaran ilmu agama yang salah dan bibit radikalisme lebih banyak berasal dari ceramah di dunia maya dan media sosial. Oleh karena itu, pencegahan yang lebih tepat dilakukan adalah dengan pendekatan inklusi sosial, seperti memperkuat dan memberdayakan budaya kewarganegaraan yang berbasis masyarakat bawah.
”Diperlukan pula penguatan fungsi dan sinergi tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Peranan media massa dan media sosial juga tidak kalah penting dalam menyaring ceramah yang berisi kebencian atau radikalisme,” kata Abdul.
Penyuluh agama
Sikap Islam yang damai dan moderat sangat penting ditumbuhkan masyarakat Islam di setiap daerah. Oleh karena itu, saat ini Kemenag telah merekrut 49.016 penyuluh agama Islam yang tersebar di semua daerah di Indonesia.
”Penyuluh ini merupakan garda terdepan dalam pembangunan di bidang agama dan menjaga keberagaman. Penyuluh merupakan PNS dan non-PNS yang dibekali pemahaman agama yang mendalam dari semua aspek untuk diajarkan kepada masyarakat-masyarakat desa,” ungkap Amin.
Dibentuknya penyuluh ini juga tidak terlepas dari banyaknya jumlah masjid di Indonesia dengan kegiatan-kegiatannya yang tidak bisa dipantau secara rinci. Amin mengakui bahwa jumlah penyuluh yang ada saat ini belum bisa menjangkau semua daerah di Indonesia.
”Jumlah penyuluh dan daerah memang belum seimbang. Kami masih membutuhkan 35.000 atau total 75.000 penyuluh dengan yang sudah ada sekarang untuk menyampaikan aspek-aspek yang perlu diketahui masyarakat daerah, seperti terorisme, zakat, wakaf, baca tulis Al Quran, halal, dan keluarga yang sakinah,” kata Amin.