Rini Kustiasi, Anita Yossihara dan Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Masyarakat perlu dilibatkan dalam mengawasi organisasi kemasyarakatan yang disinyalir menganut paham radikal dan menyuburkan intoleransi. Di sisi lain, kementerian terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga harus aktif memonitor ormas-ormas itu. Dengan demikian, ujaran kebencian dan tindakan kekerasan yang kemungkinan diinisiasi oleh kelompok masyarakat tersebut bisa direduksi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Kemenkumham, saat ini terdapat 375 ormas yang terdaftar di Kemendagri, 83 ormas luar negeri yang terdaftar di Kemlu, 324.482 ormas terdaftar di Kemenkumham dalam bentuk yayasan dan perkumpulan, 7.517 ormas terdaftar di tingkat provinsi, serta 16.746 ormas terdaftar di tingkat kabupaten/kota.
Akan tetapi, pemerintah selama ini belum memiliki mekanisme yang jelas dalam memantau kegiatan ormas dan praktik sehari-hari anggota ormas terkait. Oleh karena itu, pemerintah sulit untuk memastikan apakah dari ratusan ribu ormas yang terdaftar di tiga kementerian tersebut ada yang menganut paham kekerasan atau menyebarkan radikalisme.
Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Ayub Suratman, Rabu (16/5/ 2018) mengatakan, pihaknya tidak memiliki mekanisme monotoring atau pengawasan terhadap ormas-ormas yang terdaftar di kementerian. Ditjen AHU hanya mencatat dan mengesahkan badan hukum ormas apabila syarat-syarat pendiriannya telah terpenuhi. Namun, untuk pemantauan selanjutnya apakah ormas itu menyebarkan paham-paham radikalisme, hal itu bukan ranah Kemenkumham.
“Sepanjang ormas-ormas itu memenuhi syarat pendirian, badan hukumnya akan diterbitkan oleh Kemenkumham, dan keberadaannya dicatat. Kalau soal monitoring kegiatan ormas, itu berada di bawah Kemendagri,” kata Ayub.
Pemantauan rutin
Alamsyah M Djafar, peneliti Wahid Foundation, mengatakan, sebaiknya negara melalui Kemenkumham atau Kemendagri secara rutin memonitoring ormas-ormas yang tercatat di kementerian mereka. “Monitoring itu dilakukan tidak untuk membatasi kebebasan warga berserikat, tetapi hanya untuk memastikan bahwa ormas-ormas tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dijamin di dalam konstitusi,” katanya.
Fenomena Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan izin pendirian ormas, sekaligus rutin memonitor kegiatan ormas.
“Mekanisme pemantauannya, selain dilakukan dengan pendekatan administratif, juga dengan melibatkan masyarakat. Sebab, masyarakat bisa melaporkan kepada pemerintah bila ada kegiatan ormas yang diketahuinya menyebarkan kebencian, atau mengadvokasi kekerasan,” kata Alamsyah.
Secara terpisah, Kepala Badab Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif mengatakan ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan pemerintah. Pemerintah perlu membenahi regulasi agar ada instrumen yang jelas untuk menangani orang-orang yang memiliki paham radikal. Selain itu, sistem keamanan juga perlu diperbaiki termasuk diantaranya keamanan ditempat keramaian seperti bandara, pelabuhan, dan tempat ibadah.
Desakan berikutnya yang tidak kalah penting, tambah Yudi, adalah perbaikan sistem kontrol sosial. Dengan kondisi geografis Indonesia yang begitu luas, pengamanan tidak mungkin diserahkan kepada aparat semata untuk bekerja. Menurut dia, perlu ada sistem pertahanan keamanan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.