Peraih Yap Thiam Hien Award, Trimoelja Soerjadi, Meninggal
JAKARTA, KOMPAS — Advokat senior dan peraih Yap Thiam Hien Award 1994, Trimoelja Darmasetia Soerjadi, meninggal hari Kamis, 17 Mei 2018 pukul 06.20 di Surabaya, Jawa Timur. Trimoelja lahir di Surabaya pada 7 Januari 1939. Kiprahnya sebagai pengacara mencuat saat membongkar praktik peradilan sesat pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo.
Harian Kompas, 11 Desember 1994, menulis, Trimoelja adalah satu dari seribu pengacara. Mengutip Ketua Yayasan Pusat Studi dan Hak Asasi Manusia (Yapusham) Goenawan Mohamad. ”Ia menanggung risiko. Ia diancam. Ia diintimidasi secara fisik dan mental. Tetapi ia bertahan. Inilah pertanda sedih dari zaman kita: hanya untuk menjadi manusia, kita memerlukan sejenis mukjizat,” kata Goenawan Mohamad yang memberikan anugerah Yap Thiam Hien 1994 kepada Trimoelja dalam kata sambutannya di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (10/12/1994) malam.
Trimoelja sendiri menyebut dirinya sebagai advokat kota kecil. Namun, dia berhasil membuktikan bahwa bidang pekerjaannya bukan sekadar sebuah mesin yang membingungkan yang bernama ”pengadilan”.
Lebih jauh, Ketua Dewan Pengurus Yapusham periode 1994-1995, Todung Mulya Lubis, menempatkan sosok Trimoelja dan segala sepak terjangnya.
”Secara profesional, sebetulnya Trimoelja tengah berusaha memulihkan profesi advokat yang semakin lama semakin luntur semangat kejuangan dan keberpihakannya terhadap keadilan. Hal itu karena wabah komersialisasi profesi dan kediaan menundukkan diri kepada kepentingan kekuasaan: suatu sikap menyerah dan tidak berdaya,” katanya.
Dewan juri–KH Abdurrahman Wahid, Dr Adnan Buyung Nasution SH, Amartiwi M Saleh SH, Dr Deliar Noer, dan YB Mangunwijaya–yang memutuskan pemberian penghargaan itu menyatakan, layak Trimoelja menerima Yap Thiam Hien Award 1994.
Trimoelja, yang namanya mulai lebih sering disebut-sebut setelah kasus pembunuhan Marsinah, dianggap konsisten, gigih, cerdas, dan berani dalam menghalangi berkembangnya ketakutan dan ketidakberdayaan terhadap kekuasaan dan uang.
Trimoelja, yang namanya mulai lebih sering disebut-sebut setelah kasus pembunuhan Marsinah, dianggap konsisten, gigih, cerdas, dan berani dalam menghalangi berkembangnya ketakutan dan ketidakberdayaan terhadap kekuasaan dan uang.
”Obsesi saya sendiri sebenarnya adalah bagaimana dengan segala keterbatasan yang melekat pada diri saya, saya bisa menjadi advokat yang baik dan profesional yang bila perlu harus berani membela klien memperjuangkan kebenaran dan keadilan, apa pun risiko pribadi yang mungkin harus dipikul,” kata Trimoelja.
Obsesi saya sendiri sebenarnya adalah bagaimana dengan segala keterbatasan yang melekat pada diri saya, saya bisa menjadi advokat yang baik dan profesional yang bila perlu harus berani membela klien memperjuangkan kebenaran dan keadilan, apa pun risiko pribadi yang mungkin harus dipikul.
Risiko yang harus dipikul Trimoelja pada saat ini memang tidak ringan. Hal itu terungkap jelas dalam orasi yang disampaikan sebelum menerima penghargaan. Dalam orasi yang diberi judul ”Renungan bagi Penyempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” ia mengatakan bahwa KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) harus disempurnakan.
Menurut Trimoelja, yang malam itu hadir didampingi istri dan ketiga anaknya, 13 tahun perjalanan KUHAP membuktikan bahwa diakuinya dan dijaminnya hak-hak asasi terdakwa saja ternyata belum cukup. Agar jaminan-jaminan itu efektif, KUHAP perlu disempurnakan. Perlu diberikan sanksi atau akibat hukum yang jelas manakala hak-hak asasi terdakwa dilanggar.
Malam pemberian anugerah Yap Thiam Hien 1994 menjadi semacam penggugahan kembali akan kondisi hak asasi manusia di Indonesia dewasa ini. Orasi Trimoelja mengingatkan betapa HAM terdakwa yang dijamin dan dilindungi KUHAP begitu mudah diingkari, ditiadakan, atau diselundupi. Celah-celah kelemahan atau loopholes yang melekat pada KUHAP sering dimanfaatkan secara maksimal di tingkat penyidikan oleh aparat penyidik.
Dalam acara yang dihadiri Nyonya Yap Thiam Hien yang sekaligus menyerahkan anugerah Yap Thiam Hien, Trimoelja secara gamblang menguraikan kelemahan KUHAP yang memberikan peluang bagi pelanggaran HAM dewasa ini. Ia juga menggugat bagaimana pelaksanaan KUHAP dewasa ini. Ia juga mempertanyakan, apakah KUHAP sudah memasyarakat di kalangan penegak hukum.
Menurut Trimoelja, ditinjau dari segi perlu ditegakkannya perlindungan HAM terdakwa, kelemahan utama KUHAP adalah tiadanya sanksi atau akibat hukum yang jelas bila terjadi pelanggaran HAM. Rintangan penegakan HAM terdakwa juga terjadi, menurut Trimoelja, karena hakim terlalu sering bersikap kaku, formal legalistis, dan tidak mau atau tidak berani kreatif serta inovatif melakukan penemuan hukum.
Sebab lain, katanya, adalah begitu dominan dan sangat menentukannya kekuasaan eksekutif. Akibatnya, dalam percaturan dan interaksi yang terjadi, kekuasaan legislatif dan yudikatif hanya menjadi pelengkap.
Berikut gambaran soal Trimoelja yang ditulis Kompas, Sabtu, 10 Desember 1994.
TRIMOELJA D SOERJADI: SAYA TAK BISA HIPOKRIT
BEBERAPA buku berserakan di mejanya. Ada karya Clive Walker and Keir Stramer (eds), Justice in Error, ada buku Principles of Modern Company Law karya Glowers, The Junk Bind Revolution karya Fenton Bailey, Corporations Criminal Responbility karya Wells, The Expert Witness karya Hill and Smith, juga terdapat karya Michael Joseph, Lawyers Can Seriously Damage Your Health. Buku-buku itu tidak bisa ia tekuni karena sebentar-sebentar ada telepon.
Memang sejak pagi telepon berdering terus-menerus baik di rumah ataupun kantornya. Pelbagai kalangan mengucapkan selamat atas penganugerahan Yap Thiam Hien 1994 kepadanya. Suatu penghargaan kepada seorang yang dinilai berjasa besar dalam perjuangan hak asasi manusia.
Penghargaan yang diberikan Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham) ini pernah diberikan kepada Marsinah, pejuang buruh PT Catur Surya Putra (CPS) Sidoarjo yang tewas mengenaskan (1993), kepada HJC Princen, Johny Simanjuntak dan H Muhidin (1992).
”Ya saya merasa mendapat suatu kehormatan. Meskipun saya sendiri merasakan belum banyak yang saya perbuat. Waktu saya diberi tahu bahwa saya dinominasikan, komentar saya waktu itu malahan apa saya sudah layak mendapat penghargaan itu?” kata Trimoelja D Soerjadi (55).
Cak Tri, arek Suroboyo asli yang lahir 7 Januari 1939, dikenal sebagai pengacara pejuang. Untuk kepentingan hukum, kebenaran, dan keadilan tidak jarang ia harus tampil kendati penuh risiko. Tahun 1992, ia dengan berani membela Hermawan Hertanto dan istri dalam ”kasus Irah”, seorang buruh yang dianiaya oleh majikannya itu. Kasus itu nyaris menjadikan Surabaya menjadi ”karang abang” (porak-poranda).
Pada saat hendak diajukan ke pengadilan, tidak ada satu pun pengacara yang berani membela Hermawan dan istri. Siapa pun paham risikonya berhadapan dengan masyarakat. Betapa masyarakat murka terhadap penganiayaan itu. Kasus itu sendiri menjadi sorotan internasional.
Cak Tri melihat, proses pengadilan terhadap tersangka mesti menggunakan proses hukum yang memadai. Kalau tidak ada pengacaranya, akan memberikan citra kurang baik terhadap hukum Indonesia dan dunia internasional akan melihat ini. Ia pun memberanikan diri menjadi pengacara. Ia memang menghadapi risiko dicaci maki masyarakat karena dianggap mata duitan. Tidak jarang ancaman nyawa pun diterimanya.
Perkara David Hendra (1992) juga sangat sensitif. Inilah perkara yang menyebabkan Pasuruan harus berkabung. Cak Tri tampil sebagai pembela David kendati berlainan agama. Malah David dituduh menghujat agama yang dianut Tri.
Pada saat membela Yudi Susanto dalam kasus pembunuhan Marsinah, banyak yang mengingatkan Cak Tri bahwa perkara itu penuh risiko ibarat berhadapan dengan ruyung. Dua sisi bisa menghantamnya. Satu sisi ia harus berhadapan dengan masyarakat karena sudah telanjur ”mengadili” Yudi sebagai actor intelectual pembunuhan Marsinah, pada sisi lain ia berhadapan dengan kekuasaan.
Cak Tri tak grogi. Ia mafhum itulah risiko pengacara profesional. Pada mulanya dia jadi sasaran caci maki masyarakat. Namun, setelah menemukan kejanggalan dalam proses peradilan dan berani menyuarakan melalui eksepsi berjudul Republic of Fear, masyarakat menjadikannya sebagai pejuang. Eksepsi itu dianggap karya berani bahkan ”ameng- ameng nyowo” (bertaruh nyawa). Di situ ia mengungkap pelanggaran, perampasan hak asasi terdakwa. Kebusukan hukum mulai pemeriksaan kasus kriminal tetapi oleh Detasemen Intel Kodam sampai penyiksaan yang dialami kliennya. Namun, setelah Republic of Fear itu, giliran dia harus berhadapan dengan kekuasaan.
Pada tahun 1994, Cak Tri bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya membela perkara Muhadi, sopir bus yang dituduh membunuh Koptu Pol Yatno, anggota Polres Magetan. Ini perkara tidak main- main, ada the invisible hand yang kuat. Muhadi sepertinya dikorbankan untuk meredam kemungkinan bentrokan dua kekuatan. Dalam perkara ini Cak Tri dengan terang-terangan bilang, majelis hakim tidak menghormati hak asasi terdakwa.
***
”SEORANG pengacara profesional justru harus mempunyai idealisme. Menegakkan kebenaran dan keadilan haruslah menjadi bagian dari tanggung jawab dan kewajibannya,” ujar ayah tiga anak dari perkawinannya dengan Diah Eko Rahayu itu.
Untuk itulah kalau melihat penyimpangan hukum, pelanggaran hak asasi terdakwa harus tanggap dan tampil membela. Untuk keperluan itu sering kali harus berkorban. Misalnya, ketika membela Muhadi, ia harus mengeluarkan biaya transportasi sendiri dari Surabaya ke Magetan. ”Berkiprah sebagai lawyer tidak semata untuk mendapat uang. Uang memang perlu, tetapi bukan segala-galanya. Saya selalu yakin Tuhan tidak akan menelantarkan saya sampai tidak makan. Saya tidak mau hidup mewah. Yang penting bisa makan, punya rumah, anak bisa sekolah,” katanya.
Untuk itulah seumur-umur jadi pengacara, dia tidak pernah menggunakan ”pisau mata dua” yang biasa terjadi di kalangan pengacara: bisa saja main dengan penggugatnya atau hakim atau jaksa. Bagi Cak Tri, pengacara profesional harus benar-benar loyal terhadap kliennya.
Loyal terhadap klien terkadang mengundang penafsiran yang lain. Misalnya, ia pernah dituding satu kaki pada idealisme dengan membela orang-orang lemah dan tidak berdaya, sementara kaki lain mencari uang dengan membela kliennya.
Misalnya, pada kasus gugatan buruh PT CPS terhadap Yudi Susanto, direktur CPS. Para buruh diwakili LBH Surabaya, sedangkan Yudi klien Cak Tri. Lantas digambarkan seolah Cak Tri membela majikan untuk berhadapan dengan buruh.
”Kan ada peluang untuk menyampaikan eksepsi. Sebagai pengacara saya harus memanfaatkan. Kalau tidak, saya bisa dituduh kolusi dengan penggugat. Demi kebenaran dan keadilan saya menyampaikan eksepsi tersebut bahwa gugatan buruh itu salah alamat,” katanya. Mestinya ke sebuah instansi pemerintah tertentu. Ia menyebut nama instansi itu. Menurut Cak Tri, dalam kasus itu PT CPS sendiri sebenarnya tidak mau mem-PHK karyawannya tadi.
Di sidang pengadilan memang ia ”bentrok” dengan LBH. ”Posisi saya mewakili klien memang harus berhadapan dengan kawan-kawan LBH yang juga mewakili kliennya. Tetapi bukan berarti saya bermusuhan. Saya sangat dekat dengan LBH karena kebetulan concern-nya sama. Mereka itu kawan-kawan perjuangan saya,” tutur Cak Tri.
Di luar sidang pengadilan, ia meminta kepada Yudi Susanto agar menerima kembali para buruh itu dan memberikan gaji selama proses perkara itu berlangsung. Yudi pun mengikuti anjuran ini. ”Saya kasihan sama buruh. Untuk itulah saya usahakan agar mereka bisa bekerja lagi,” katanya dengan gaya khas arek Suroboyo yang blak- blakan, ceplas-ceplos ini.
Keberanian menyatakan yang benar bila benar dan salah bila salah itu diwarisi dari ayahnya, Mr Soerjadi, pengacara beken di Surabaya. Kepada ayahnya, Cak Tri magang sebagai pengacara sejak tahun 1967.
Keberanian menyatakan yang benar bila benar dan salah bila salah itu diwarisi dari ayahnya, Mr Soerjadi, pengacara beken di Surabaya. Kepada ayahnya, Cak Tri magang sebagai pengacara sejak tahun 1967. Tetapi ia sendiri lulus di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) tahun 1979. Di antara dosennya adalah Prof Dr JE Sahetapy SH, Prof Dr Koesnoe SH.
Sejak mahasiswa ia dikenal sebagai aktivis baik di dewan mahasiswa maupun senat mahasiswa. Di ekstra universitas ia aktif dalam Gerakan Mahasiswa Surabaya. Pada masa aksi pengganyangan PKI di Surabaya, Cak Tri termasuk aktivisnya bersama Cak Kadaruslan, Cak Gatot Koesomo, Cak Wiwik Hidayat, dan lain-lain.
Dari ketokohannya ia diangkat menjadi anggota DPRD I Jatim mewakili Angkatan 66 dan masuk F-KP periode 1971-1977. Setelah itu ia tidak mau meneruskan karier politiknya. ”Saya tidak bisa hipokrit. Padahal di politik itu ada. Saya merasa tidak bisa memperjuangkan kebenaran yang saya yakini. Politik bukan jiwa saya,” tegasnya.
Akhirnya ia menekuni profesi satu-satunya sebagai pengacara. Di sini ia merasa lahan perjuangan yang sesuai jiwanya. ”Risikonya memang berat. Teror seperti pada masa kasus Marsinah sudah saya alami. Tapi saya berprinsip, hidup saya ini milik Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki kapan pun saya akan mati. Pada saat mati saya tidak akan membawa uang dan harta ke kubur,” kata Cak Tri.