Soeharto Coba Perpanjang Napas Kekuasaannya
17 Mei 1998
Presiden Soeharto tampaknya kian menyadari bahwa masa kepemimpinannya kini memasuki senja kala. Ia sudah berkali-kali menyatakan tak keberatan untuk mundur atau menjadi pandita. Apalagi, dukungan dari organisasi sosial politik, seperti Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia, kian menurun. Lembaga negara seperti DPR pun jelas nyata tak mendukungnya lagi memimpin negeri ini.
Dalam pertemuan dengan pimpinan Universitas Indonesia (UI) di kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Sabtu (16/5/1998), Presiden Soeharto menyatakan, menjadi presiden bukanlah keinginannya, melainkan wujud tanggung jawab sebagai mandataris MPR. Oleh karena itu, ia pun menyatakan siap lengser keprabon (turun takhta asalkan konstitusional dan berjalan damai).
Berita pernyataan Presiden Soeharto itu dimuat di halaman 1 harian Kompas edisi Minggu, 17 Mei 1998, berdampingan dengan berita berjudul ”Pimpinan Agama Minta: Pak Harto Memilih Langkah Terbaik” dan ”Hamengku Buwono X: Krisis Kepercayaan, Hilangnya Rasa Hormat”. Pemimpin sejumlah agama mengeluarkan keprihatinan terkait penembakan terhadap mahasiswa di Universitas Trisakti, Jakarta, dan meminta Presiden Soeharto membuat langkah terbaik untuk memperbaiki kondisi bangsa yang sudah dilanda krisis.
Baca juga: BBM dan Blunder Politik Soeharto
Di Yogyakarta, pemimpin Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, dalam pertemuan dengan ulama Nahdlatul Ulama (NU) menjelaskan, krisis kepercayaan terjadi karena komunikasi terputus. Rakyat tak lagi percaya kepada pemimpinnya jika komunikasi di antara mereka terputus.
Sultan pun menjelaskan pentingnya kepercayaan itu, dalam bahasa Jawa, ”Kelangan sakehe raja-brana, ora kelangan apa-apa. Kelangan nyawa, iku tegese mung kelangan separo. Kelangan kapercayan, iku tegese kelangan sakabehe. (Kehilangan harta benda tidak berarti apa-apa. Kehilangan nyawa berarti kehilangan separuh. Kehilangan kepercayaan itu berarti kehilangan segala-galanya” (Kompas, 17/5/1998).
Langkah terlambat
Namun, berbagai harapan dan desakan yang jelas mengarah agar Soeharto segera lengser keprabon kurang ditanggapi dengan langkah yang jelas oleh penguasa Orde Baru itu. Bahkan, dari berita utama di halaman 1 harian Kompas edisi 17 Mei 1998, terlihat Presiden Soeharto mencoba memperpanjang napas kekuasaannya dengan mewacanakan melakukan perombakan Kabinet Pembangunan VII. Wacana itu dipaparkan Ketua MPR/DPR Harmoko setelah bertemu Presiden Soeharto.
Baca juga: Saatnya Keluar dari Bayang-bayang Soeharto
Baca juga: Masyarakat Kian Tak Sabar Ganti Presiden
Menurut Harmoko, dalam konsultasi itu, Presiden menyampaikan penghargaan dan apresiasi pada semua masukan dari berbagai kalangan masyarakat yang disampaikan melalui DPR. Namun, dalam pembicaraan itu, tampaknya Soeharto tak berbicara mengenai rencana pengunduran dirinya, tetapi akan mengambil tiga langkah. Harmoko tak menyampaikannya kepada masyarakat, melalui media. Barangkali, ketiga langkah itulah yang dimaknai oleh Soeharto sebagai reformasi.
Ketiga langkah itu, ujar Harmoko, pertama, Presiden akan mengambil langkah sesuai kewenangan Presiden demi keselamatan bangsa dan negara, untuk melindungi hak hidup warga negara, mengamankan harta dan hak milik rakyat, mengamankan pembangunan dan aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan Pancasila dan UUD 45. Kedua, reformasi akan terus dijalankan di segala bidang. Dan, ketiga, Presiden segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII karena dalam memikul tugas dan tanggung jawab pembangunan nasional yang sungguh amat berat, diperlukan kabinet yang kuat dan tangguh.
Menteri Keuangan (1966-1968) dan Menteri Perhubungan (1968-1973) Frans Seda menilai, langkah untuk melakukan perombakan kabinet itu, kalau itu benar, adalah to little and too late, terlalu sedikit dan terlambat. ”Yang lebih sesuai adalah Pak Harto melaksanakan niat beliau, yakni lengser keprabon (turun takhta). Itu sesuai dengan tuntutan rakyat saat ini,” kata Frans Seda (Kompas, 17/5/1998).
Baca juga: Lambaian Tangan Terakhir Soeharto
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Amien Rais juga mengemukakan, reshuffle tidaklah cukup karena yang dituntut rakyat adalah Presiden Soeharto mundur. Itu semua telah disuarakan oleh mahasiswa di sejumlah kampus.
Dalam perkembangan, tawaran Presiden Soeharto itu memang tidak ditanggapi oleh mahasiswa, yang secara bergelombang menyuarakan aspirasinya, juga aspirasi rakyat, yang menginginkan pergantian rezim. Mahasiswa pun berdatangan ke Gedung MPR/DPR untuk mendesak wakil rakyat agar lebih berani mewujudkan suara rakyat itu. Filsuf Romawi, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), mengingatkan, ”Salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi)”.
Baca juga: Perintah Soeharto Tak Didengar
Baca juga: Hari-hari Berat Menuju Klimaks Presiden Berhenti
Anggota DPR/MPR, termasuk aparat keamanan, pun terus didesak untuk menjaga keselamatan dan kedaulatan rakyat, dengan meminta Soeharto segera berhenti menjadi presiden. Meskipun ia berusaha memperpanjang napas kekuasaannya, akhirnya tak kuasa pula pemimpin Orde Baru itu bertahan. Sebelum Mei 1998 berakhir, Soeharto akhirnya berhenti menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia.