Tak Tepat Gunakan Pendekatan Militer untuk Menanggulangi Terorisme
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pengaktifan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan TNI diharapkan dapat memperkuat peran kepolisian dalam menangani aksi teror. Sifat komando operasi pun disarankan hanya membantu polisi. Di sisi lain, penanggulangan terorisme dinilai masih terlalu banyak berkutat pada ranah penindakan. Pendekatan militeristik dalam penanggulangan terorisme dinilai kurang tepat.
Pemerintah melalui Kepala Staf Presiden Moeldoko mewacanakan pengaktifan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI. Koopssusgab TNI berisikan 90 personel pasukan elite terbaik dari tiga matra. Dibentuk pada 9 Juni 2015 semasa Moeldoko menjabat Panglima TNI, Koopssusgab TNI lalu dibekukan hingga kini diwacanakan untuk aktif kembali.
Wacana pengaktifan kembali Koopssusgab TNI memantik reaksi dari banyak pihak. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, Kamis (17/5/2018), tidak yakin sinergi Koopssusgab TNI dengan Detasemen Khusus 88 Antiteror bakal efektif untuk menanggulangi aksi teror. Ia lebih mendukung langkah penanggulangan teror tetap dalam koridor saat ini, yakni menggunakan pendekatan penegakan hukum yang telah berjalan.
Usman memandang pengaktifan Koopssusgab sebagai jalan pintas untuk melibatkan unsur TNI di dalam menanggulangi persoalan terorisme. Meski ia mengakui, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 7 Ayat 1 dan 2, TNI dapat dilibatkan dalam upaya pemberantasan terorisme. Namun, pemerintah perlu merumuskan tingkat ancaman terorisme sehingga bisa diperjelas kapan TNI bisa diterjunkan untuk membantu kepolisian.
”Saya khawatir pendekatan militer itu tidak tepat. Karena malah bisa mendorong radikalisasi dari jaringan pelaku atau mendorong militansi yang lebih tinggi dari pelaku teror,” kata Usman di Jakarta.
Ia menjelaskan, selama ini TNI sesungguhnya telah dilibatkan dalam berbagai upaya penanganan terorisme. Ia mencontohkan Operasi Tinombola di Poso, Sulawesi Tengah, yang melibatkan TNI. Selain itu, di Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menjalankan program deradikalisasi diisi orang-orang dari kalangan TNI.
Dihubungi terpisah, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, Indonesia menggunakan pendekatan penegakan hukum dalam penindakan aksi teror. Dalam pendekatan tersebut, Polri menjadi institusi terdepan bersama dengan kejaksaan dan pengadilan.
Di sisi lain, keterlibatan militer memang dimungkinkan, tetapi harus melalui keputusan Presiden. Pelibatan TNI pun, katanya, hanya bersifat membantu kepolisian dan dalam waktu yang sementara dan tidak boleh permanen.
Al Araf tidak mempermasalahkan pengaktifan kembali Koopssusgab TNI, hanya saja dalam implementasinya tidak boleh mengambil kewenangan penanganan terorisme oleh kepolisian, kecuali jika pemerintah memberlakukan status darurat militer.
”Kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran HAM bisa terjadi jika pelibatan Koopssusgab TNI itu bersifat permanen dan dia mengambil alih kendali penanganan terorisme dari Polri,” ucap Al Araf.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Edi Saputra Hasibuan, menyambut baik rencana sinergi antara Koopssusgab TNI dan Densus 88 Antiteror. Hanya saja, implementasinya di lapangan nanti Koopssusgab TNI tetap hanya mendampingi Densus 88 Antiteror dan tidak boleh bekerja sendiri.
Kebijakan antiterorisme
Al Araf menilai diskursus penanganan aksi teror di Indonesia masih didominasi kebijakan kontraterorisme dibandingkan antiterorisme.
Kebijakan antiterorisme bekerja di wilayah preventif. Dalam artian, meredam aksi terorisme agar tidak terjadi. Adapun kebijakan kontraterorisme cenderung reaktif dengan mengedepankan penindakan hukum.
Padahal, terorisme ada dalam persoalan ideologi yang diusung pelaku. Oleh sebab itu, Al Araf menyebut penanganannya kurang tepat jika terus menitikberatkan pada instrumen penindakan semata.
”Penyebaran ideologi terorisme tidak bisa dilakukan dalam instrumen yang represif,” katanya.