Bersatu Melawan Terorisme
Rentetan serangan teror di beberapa kota dan daerah di Indonesia dua pekan ini mengusik ketenangan. Namun, tak semua orang larut dalam cemas dan prihatin. Sebagian warga internet melawan terorisme lewat media sosial.
Tak semua teroris bertugas di lapangan. Ada juga yang bertugas di media sosial. #BersatuLawanTeroris.
Kalimat yang tertera di poster elektronik itu diunggah akun Illian Deta Arta Sari, aktivis kemanusiaan, di Facebook, Senin (14/5/2018). ”Agar teroris tidak subur, laporkan setiap ujaran kebencian di medsos (media sosial) atau ada yang mencurigakan di sekitar kita. Teroris tak hanya beroperasi di dunia nyata. Mereka juga ada di dunia maya, menyebarkan ideologinya, merekrut, berjejaring, atau berbagi pelajaran, misal merakit bom,” tulisnya.
Catatan itu disukai 230 kali, dibagikan 40 kali, dan mendapat 108 komentar.
Illian mengunggah catatan itu karena banyak posting-an di medsos yang justru tak berempati kepada korban bom teroris dengan seribu satu dalih, nyinyir kepada pemerintah, bahkan membela teroris. ”Itu tak bisa dibiarkan,” katanya.
Banyak posting-an di medsos yang justru tak berempati kepada korban bom teroris dengan seribu satu dalih, nyinyir kepada pemerintah, bahkan membela teroris.
Di Twitter, Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid menggalang gerakan lebih terorganisasi lewat akun @AlissaWahid. Dia bersama teman-temannya meluncurkan kabarkan.org sebagai kanal yang menampung laporan publik tentang ujaran kebencian, kekerasan, dan diskriminasi. Setelah diverifikasi tim admin, laporan itu diteruskan kepada lembaga terkait, termasuk Direktorat Tindak Pidana Kejahatan Siber Polri.
”Kami memantau dan merespons narasi di media sosial terkait ekstremisme. Kami memperkuat solidaritas sekaligus menurunkan tingkat permusuhan antarwarga dan juga mencegah ideologi ekstremis-teroris berkembang,” katanya.
Banyak warga internet yang berusaha melawan terorisme dengan cara masing-masing. Itu terlihat dari 32 tagar yang terpantau beredar di Twitter pada 9-16 Mei 2018. Sebut saja, antara lain, #BersatuLawanTeroris, #PrayforSurabaya, #KamiBersamaPolri, #SuroboyoWani, dan #TerorisJancok. Beberapa tagar itu sempat menjadi tren.
Tagar-tagar itu bermunculan setelah rentetan serangan teroris dua pekan ini. Awalnya, Selasa-Kamis (8-10/5/2018), ada kericuhan dan penyanderaan polisi di Rumah Tahanan Cabang Salemba di Mako Brimob Polri di Kelapa Dua, Depok. Tiga hari kemudian, serangan bom bunuh diri mengguncang tiga gereja di Surabaya, satu rusunawa di Sidoarjo, kemudian di Markas Polrestabes Surabaya, Jawa Timur. Terbaru, Rabu (16/5/2018), Markas Polda Riau juga diserang.
Radikalisasi via medsos
Kenapa perlawanan terhadap terorisme di medsos penting? Menurut pengajar sosiologi di Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, jumlah perekrutan teroris melalui medsos tidak tinggi, tetapi radikalisasi orang melalui medsos cukup besar. Bom bunuh diri dimaksudkan untuk membangun teror sekaligus membuka kampanye dan dukungan dari simpatisannya.
Medsos digunakan untuk mengukur dan membentuk simpati (pada terorisme) serta radikalisasi. Proses ini perlu dimentahkan dengan gerakan via medsos juga.
Berdasarkan pantauan Kompas, banyak akun di medsos yang menebarkan pandangan keagamaan radikal. Mereka menuduh pemerintah dan kepolisian menzalimi umat Islam sehingga patut dilawan. Kebencian ditularkan. Mereka menularkan kebencian terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.
Medsos digunakan untuk mengukur dan membentuk simpati (pada terorisme) serta radikalisasi. Proses ini perlu dimentahkan dengan gerakan via medsos juga.
Semua itu dirangkai dengan bumbu hoaks atau teori konspirasi sehingga kian dramatis. Narasi itu dibagikan terus-menerus lewat Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, atau grup Whatsapp sehingga termakan oleh sebagian publik. Sebagian akun mendorong serangan terhadap kelompok berbeda (kafir). Dalam tingkat lanjut, jaringan medsos juga untuk menyebarkan tata cara merakit bom.
Hal ini disadari pemerintah. Karena itu, seperti diberitakan Kompas, Rabu (16/5/2018), Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut 280 akun Telegram, 300 akun Facebook dan Instagram, serta 30 akun di Twitter. Masih ada 60 persen dari sekitar 250 akun di Youtube yang belum selesai dicabut. Di Facebook dan Instagram, masih ada sekitar 150 akun lagi. Semua akun itu dinilai mengandung konten ujaran kebencian, radikalisme, dan terorisme.
Islam ramah
Dalam melawan terorisme di medsos, sebagian warga internet berusaha membuat narasi tandingan. Pengajar di Fakultas Hukum Monash University, Australia, Nadirsyah Hosen, misalnya, mengajak para tokoh Islam moderat untuk mendorong ajaran Islam yang damai dan ramah sebagai arus utama. ”Para Kiai & Gus, aktiflah di medsos melawan ujaran kebencian. Para cendekiawan, aktiflah ceramah ke majelis ta’lim. Rebut kembali mimbar khutbah,” cuitnya lewat akun @na_dirs di Twitter. Cuitan itu mendapat 13.000 reaksi, sebagian besarnya dukungan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz berharap, organisasi keagamaan moderat, terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, perlu lebih serius mengatasi maraknya pesan-pesan radikal dan ekstrem di dunia maya. Mereka hendaknya berkonsolidasi dengan berbagai elemen masyarakat untuk memperteguh nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil’alamin (memberi rahmat pada semesta) dan visi kebangsaan yang menghargai kemajemukan masyarakat.
Apakah gerakan di medsos cukup? Tentu tidak. Perlu ada gerakan-gerakan nyata di lapangan, seperti penindakan terhadap teroris oleh kepolisian, pemberian payung hukum untuk mencegah potensi serangan teror oleh DPR, dan pembangunan solidaritas sosial di masyarakat.
Namun, kampanye antiterorisme di medsos tetap penting. Sekali lagi, tak semua teroris bertugas di lapangan. Ada juga yang bertugas di medsos! (DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO/BONDAN WIBISONO)