Facebook Jalin Kerja Sama dengan Media untuk Tangani Hoaks
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam rangka mengidentifikasi konten hoaks yang menyebar di media sosial, Facebook kerja sama dengan media pemeriksa fakta yang telah mendapatkan sertifikasi dari jaringan International Fact-Checking Network. Konten yang ditandai sebagai hoaks itu kemudian diturunkan distribusinya atau dihapuskan apabila melanggar Standar Komunitas Facebook.
Kerja sama antara Facebook dan media pemeriksa fakta itu diluncurkan pada April 2018. Di Indonesia, Facebook baru kerja sama dengan Tirto, yang telah mendapatkan sertifikasi dari International Fact-Checking Network (IFCN).
”Kerja sama ini dibuka untuk semua media yang mendapatkan sertifikasi dari IFCN. Ke depan diharapkan, ada organisasi media lain yang mendapatkan sertifikasi itu,” kata Pemimpin Mitra Media Facebook Indonesia Alice Budisatrijo, Jumat (18/5/2018), di Kantor Facebook Indonesia, Jakarta Selatan.
Konten yang diduga hoaks oleh sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence) Facebook ataupun yang diadu masyarakat dikirim ke media pemeriksa fakta. Apabila konten itu dianggap hoaks, media pemeriksa fakta akan menandainya sebagai konten palsu dan memberikan notifikasi kepada pengguna yang telah menyebarkan konten palsu itu kepada jaringan teman-temannya.
Diharapkan, pengguna akan menghapus berita itu dan memberi tahu teman-temannya (bahwa berita yang ia sebarkan adalah berita palsu).
”Diharapkan, pengguna akan menghapus berita itu dan memberi tahu teman-temannya (bahwa berita yang ia sebarkan adalah berita palsu),” ujar Alice.
Tingkat distribusi konten yang ditandai hoaks itu kemudian menurun hingga 80 persen. Konten hoaks itu tidak dihapus apabila tidak melanggar Standar Komunitas Facebook, tetapi disertai dengan konten lain yang berkaitan dan telah dicek faktanya oleh media pemeriksa fakta.
”Dengan informasi tambahan ini, masyarakat diharapkan bisa menilai berita mana yang kredibel dan tidak,” ucap Alice.
Kebebasan berekspresi
Standar komunitas Facebook mengatur konten apa saja yang diizinkan dan dilarang di Facebook, seperti ujaran kebencian, ketelanjangan orang dewasa dan aktivitas seksual, dan konten yang mempromosikan tindakan kejahatan.
Namun, karena Facebook juga menjaga prinsip kebebasan beropini, jenis konten yang dilanggar itu kadang disertai dengan beberapa pengecualian. Misalnya, gambar ketelanjangan orang dewasa diperbolehkan saat ada unsur seni atau ketika gambar itu menunjukkan aksi unjuk rasa.
”Facebook menjadi tempat di mana orang bisa bebas menyampaikan pendapat mereka. Hal ini bisa menjadi tantangan tersendiri mengingat layanan kami tersedia secara global,” ucap Wakil Presiden Manajemen Kebijakan Global Facebook Monika Bickert dalam keterangan persnya.
Facebook menjadi tempat di mana orang bisa bebas menyampaikan pendapat mereka. Hal ini bisa menjadi tantangan tersendiri mengingat layanan kami tersedia secara global.
Saat ini, Facebook sedang mengembangkan proses banding, di mana pengguna dapat mengajukan banding atas keputusan Facebook. Proses banding itu, untuk sementara, terbatas pada postingan pengguna yang dihapus karena mengandung konten seksual, ujaran kebencian, atau kekerasan.
”Kami percaya, memberikan pengguna kesempatan untuk banding merupakan komponen penting dalam membangun sistem yang lebih adil,” ujar Monika.
Pada pekan ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, pihaknya telah mencabut 300 akun Facebook dan Instagram, juga 280 akun Telegram, serta 30 akun di Twitter. Semua akun itu dinilai mengandung konten ujaran kebencian, radikalisme, dan terorisme. Untuk mempercepat penanganan laporan konten negatif, penyisiran dan penurunan dari peredaran dilakukan setiap dua jam (Kompas, 16/5/2018).
Berdasarkan catatan Kompas, terkait kasus pencurian data dari 87 juta pengguna Facebook yang dilakukan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI telah memeriksa Facebook Indonesia pada April 2018. Sebanyak 1.096.666 akun asal Indonesia menjadi korban pencurian data itu. Namun karena perwakilan Facebook di Indonesia tidak bisa memberikan keterangan yang diperlukan, Polri berecana memanggil langsung petinggi Facebook dari Amerika Serikat.