Importir Minta Nilai Tukar Rupiah di Bawah Rp 14.000 Per Dollar AS
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Depresiasi rupiah dan kenaikan nilai kurs pajak menambah beban pelaku usaha. Hal itu menyebabkan biaya impor bahan baku untuk produksi menjadi melambung. Kalangan importir dan pelaku usaha meminta pemerintah menjaga nilai tukar rupiah kembali di bawah Rp 14.000.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat (18/5/2018), kurs rupiah tercatat melemah 0,23 persen dari Rp 14.074 menjadi Rp 14.107. Sementara itu, dari data Badan Kebijakan Fiskal terpantau hampir seluruh kurs pajak untuk periode 16 Mei-22 Mei 2018 meningkat.
Kurs pajak dalam satuan dollar AS meningkat 0,34 persen menjadi Rp 14.006 dari Rp 13.959 per dollar AS. Kurs pajak tersebut digunakan sebagai acuan untuk pelunasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan bea masuk.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, dunia usaha saat ini sedang dalam kondisi sulit. Depresiasi rupiah dan naiknya kurs pajak mengakibatkan biaya impor bahan baku yang mesti dikeluarkan pengusaha menjadi tinggi.
Hal itu akan menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi. Kompensasinya, harga barang-barang produksi yang dijual ke masyarakat pun akan melambung. Ia menjabarkan, sektor usaha yang kewalahan menghadapi tingginya biaya impor antara lain industri farmasi, makanan dan minuman, serta industri berat, seperti baja.
Menurut Hariyadi, pelemahan rupiah terjadi sangat cepat. Ia berharap pemerintah dapat menjaga nilai tukar rupiah berada pada kisaran di bawah Rp 14.000. Selain itu, dia berpendapat, negara semestinya tidak dalam posisi mengambil untung atas situasi saat ini.
Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center, Darussalam, menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah berdampak sangat positif terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Depresiasi rupiah menyebabkan pemerintah mendapatkan penerimaan tambahan lebih banyak, seperti dari PPh Migas, PNBP, dan PPN.
”Jadi, kalau pajak itu menyesuaikan dengan kurs, itu sangat tidak adil. Aturan ya aturan, tapi harus melihat situasi dan kondisi. Kami mengimpor barang menjadi lebih mahal,” ujar Hariyadi dihubungi dari Jakarta.
Terkait tudingan ambil untung oleh pemerintah, oleh Apindo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo berpendapat, penerimaan negara idealnya dipengaruhi kinerja internal pemerintah dan bukan dari faktor eksternal, seperti pelemahan rupiah. Selain itu, dengan kondisi barang-barang dan bahan baku impor menjadi mahal, dan kinerja ekspor Indonesia yang stagnan. Pelaku usaha dalam negeri pun juga akan tertekan karena biaya produksi meningkat. Dampaknya, kata Yustinus, dalam jangka panjang, penerimaan negara dari pajak juga akan menurun karena terpukulnya kalangan pelaku usaha.
Yustinus menyarankan, jika pemerintah mengalami surplus penerimaan, sebaiknya kebijakan perpajakan diperlonggar guna memberikan insentif pada pelaku usaha. Upaya itu semata-mata agar pelaku usaha tidak terlalu terbebani dengan situasi pelemahan rupiah saat ini.
”Harus ada upaya mitigasi pemerintah untuk mencegah kerugian yang lebih besar dari sisi swasta. Pemerintah harus mengorbankan penerimaan pajak dengan memberikan insentif, karena kalau tidak, akan berat bagi dunia usaha dan itu akan memukul dunia perekonomian secara keseluruhan,” kata Yustinus.
Solusi kebijakan
Darussalam menilai pemerintah dapat menerapkan sebuah kebijakan yang cepat, seperti mematok kurs pajak lebih rendah daripada harga pasar. Meski, kata Darussalam, langkah tersebut tentu akan berdampak pada penurunan penerimaan negara.
”Tetapi, kalau tujuannya untuk relaksasi bisnis kan juga dapat dibenarkan. Karena pajak juga punya tujuan regulasi dan tidak semata-mata untuk tujuan penerimaan saja,” kata Darussalam.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku mingguan tersebut berdasarkan perkembangan nilai valas secara riil. Dengan demikian, pembayaran pajaknya dalam rupiah menjadi sinkron dengan dasar pengenaan pajaknya. Artinya, pemerintah belum memberikan sinyal akan menurunkan kurs pajak
”Jadi memang tidak mungkin menetapkan kurs yang berbeda dengan itu,” katanya.
Sementara itu, karena bahan baku menjadi mahal, upaya paling realistis bagi pengusaha untuk menekan pengeluaran adalah mengurangi kapasitas produksi. Hariyadi mengatakan, pilihan yang dimiliki dunia usaha hanya dengan efisiensi atau menata ulang kapasitas produksi dan menyesuaikan dengan kondisi pasar yang ada. Terlebih, katanya, daya beli masyarakat saat ini belum berangsur membaik.