Jejak-jejak ”Hantu” Kerusuhan Mei
18 Mei 1998
”Hantu-hantu” itu pun berlalu meninggalkan bekas kekejamannya. Kerusuhan Mei 1998 tidak saja menanamkan ketakutan dan trauma di masyarakat, tetapi juga merenggut nyawa lebih dari 258 orang dan 101 korban luka-luka. Aksi penjarahan, pembakaran gedung-gedung, kendaraan, dan lain sebagainya menelan kerugian fisik hingga Rp 2,5 triliun seperti diberitakan di halaman pertama Kompas, Senin (18/5/1998), dengan judul ”Kerusuhan di Jakarta: Kerugian Fisik Rp 2,5 Triliun”.
Peristiwa tersebut bukan menjadi beban yang sangat berat bagi sistem perekonomian nasional. Akan tetapi, kerugian rusaknya nama Indonesia di mata dunia sangatlah menyedihkan. Citra Indonesia sebagai negara merosot drastis di mata dunia internasional.
Baca juga: BBM dan Blunder Politik Soeharto
Baca juga: Saatnya Keluar dari Bayang-bayang Soeharto
Tiga hari setelah kerusuhan, Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita, Menperindag Bob Hasan, Menhub Giri Suseno, Mentamben Kuntoro Mangkusubroto, Kabulog Beddu Amang, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Gubernur BI Sjahril Sabirin, dan Gubernur DKI Sutiyoso menemui Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Minggu (17/5/1998). Kepada penguasa Orde Baru yang saat itu masih mencoba bercokol, delapan tokoh tersebut melaporkan perkembangan terakhir situasi saat itu, termasuk kerugian menyusul aksi kerusuhan Mei.
Kepada wartawan seusai diterima Soeharto, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto mengimbau masyarakat kembali melakukan kegiatan sehari-hari secara wajar dan menaati hukum. ”Dan jangan sekali-kali terpengaruh oleh hasutan pihak-pihak tertentu yang ingin membuat suasana kacau,” katanya. Wiranto juga mengimbau kaum intelektual agar memberi contoh yang baik dalam menyampaikan aspirasi. Diharapkan, aspirasi itu disampaikan secara tertib (Kompas, Senin, 18/5/1998).
Hingga kini tidak terusut dan tidak diungkap siapa yang dimaksud ”pihak-pihak tertentu yang ingin membuat suasana kacau” yang dimaksudkan Menhankam/Pangab tersebut. Namun, dari kesaksian Kompas saat itu yang berada di berbagai lokasi sejak pagi hari, kerusuhan dan penjarahan yang terjadi di Ibu Kota tampak sekali polanya sama. Saya, bersama wartawan Kompas, Taufik H Mihardja (almarhum), sudah berada di kawasan Jalan Gadjah Mada, Jakarta, yang pagi itu suasananya sangat mencekam. Pertokoan dan gedung-gedung perkantoran di sepanjang jalan yang biasanya sibuk pagi itu tutup. Sejumlah pasukan tentara bersenjata lengkap dengan kawalan kendaraan baja berjaga-jaga. Tidak berapa lama kemudian, massa yang entah dari mana datangnya sudah berkumpul dan mulai bergerak.
Baca juga: Masyarakat Kian Tak Sabar Ganti Presiden
Baca juga: Lambaian Tangan Terakhir Soeharto
Saat kami berpindah lokasi ke kawasan Megaria di Jalan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, ternyata kerusuhan sudah mulai. Setelah itu, kami bergerak ke arah Pasar Minggu dan Blok M, Jakarta Selatan, yang tidak mudah untuk ditembus. Nyaris semua jalanan ditutup dengan barikade tentara, kendaraan lapis baja, dan pagar kawat berduri. Suasana sangat mencekam. Api dan asap sisa pembakaran mengepul di berbagai kawasan menyisakan teror tersendiri.
Di kawasan Cikini, api mulai memercik di pasar dan pertokoan di kawasan tersebut. Seperti juga di semua pusat kerusuhan, massa terbagi dua. Warga yang bergerombol menjadi penonton kerusuhan serta aksi-aksi gerombolan lainnya. Massa lain adalah mereka yang aktif melakukan penjarahan, mengambil barang apa pun yang bisa mereka angkut. Banyak di antaranya ikut-ikutan terpancing melakukan penjarahan. Sementara api sudah berkobar dari pertokoan-pertokoan itu seperti ada yang menyulut dengan sengaja.
Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita menyampaikan terima kasih kepada jajaran ABRI. ”Saya ingin menyampaikan dalam forum ini bahwa kami para menteri dan pejabat bidang ekonomi sangat berterima kasih kepada ABRI yang telah mengamankan instalasi-instalasi dan kegiatan ekonomi dengan baik, tepat, dan arif meskipun kami menyadari terdapat keterbatasan yang dimiliki ABRI dalam sumber daya, terutama personel. Kami juga mendengar bahwa ABRI menjamin bahwa roda kegiatan perekonomian bisa digiatkan kembali,” ujar Ginandjar saat itu.
Namun, kerusuhan dan penjarahan tidak bisa dicegah dan telanjur terjadi. ”Pemanasan” aksi massa sudah berlangsung di sejumlah daerah sejak beberapa hari sebelumnya. Puncaknya terjadi pada kerusuhan dan penjarahan di Ibu Kota, yang kemudian dikenal sebagai kerusuhan Mei. Sulit untuk tidak dikatakan jika kerusuhan dan penjarahan berjalan dengan pola yang terkesan seragam: massa bergerak ke pertokoan, sejumlah orang memasuki pertokoan, kemudian banyak di antaranya keluar dengan membawa jarahan. Apa saja yang bisa dibawa mereka bawa, seperti televisi, kulkas, dan berbagai barang lain, ke luar toko. Tidak lama kemudian api pun menyala dan membakar pertokoan yang ada.
Bumi hangus
Aksi kerusuhan dan penjarahan itu membawa kerugian yang tidak sedikit. Menurut Gubernur DKI Sutiyoso, kerusuhan itu membawa kerugian di DKI sekitar Rp 2,5 triliun. Jumlah tersebut merupakan angka kerugian yang diperoleh dari perhitungan kerusakan pada kerusuhan Kamis dan Jumat (13-14 Mei 1998). Aksi kerusuhan dan penjarahan itu telah merusak 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kecamatan, 11 polsek, 383 kantor swasta, 65 kantor bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom bensin, 8 bus kota dan metromini, 1.119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 11 taman, 18 pagar, 1.026 rumah penduduk, dan gereja.
Baca juga: Perintah Soeharto Tak Didengar
Baca juga: Hari-hari Berat Menuju Klimaks Presiden Berhenti
Kabulog Beddu Amang menambahkan, di DKI Jakarta 500 ton beras senilai Rp 600 juta habis dijarah, berikut 1.800 ton gula senilai Rp 3,24 miliar, dan toko koperasi senilai Rp 400 juta. Total kerugian Rp 4,24 miliar. ”Terdapat sembilan korban jiwa saat menjarah gula karena tertimpa gula,” kata Beddu.
Dari data-data yang disampaikan pejabat terkait, kerusakan dan kerugian terjadi di semua sektor. Seperti diwartakan Kompas (Senin, 17 Mei 1998), Menhub Giri Suseno menambahkan, di bidang perhubungan terjadi perusakan pagar dan kantor di Terminal Grogol dan Rawamangun, 5 bus kota, 401 rambu lalu lintas, 2 rambu pendahulu penunjuk jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas di 28 lokasi, dan 85 lampu lalu lintas. Selain itu, juga terjadi pembakaran dua bus PPD, 19 mobil angkutan umum di Bekasi, 3 mobil derek milik DLLAJ, dan 40 kendaraan umum di Unit Pool LLAJ, 1.119 mobil pribadi, dan 821 motor. Selain itu, 25 kaca jendela KA Argolawu dan 101 kaca jendela KA bisnis dan eksekutif pecah, serta satu toko rusak.
Adapun di Solo enam bus dan angkutan desa dibakar. Di Jambi satu mobil pemda dibakar dan di Sulsel satu bus kota dibakar. Di Bali tidak terjadi kerusakan, tetapi penumpang ke Jawa menurun 50 persen.
Mentamben Kuntoro memperkirakan kerugian PLN sekitar Rp 1 miliar. Kerugian Pertamina Rp 1,5 miliar dan aset mitra usaha Rp 2,5 miliar di sejumlah kota. Menyinggung kebutuhan bahan bakar minyak dan listrik, Kuntoro menegaskan, pemerintah menjamin kebutuhan tersebut.
Baca juga: Amuk Massa yang "Menyebar" di Jabotabek
Baca juga: Terungkapnya Penculikan Aktivis
Gubernur BI Sjahril Sabirin mengatakan, 64 bank yang mengalami kerusakan kantor terdiri dari 313 kantor cabang, 179 kantor cabang pembantu, 26 kantor kas, dan 220 ATM yang tidak dapat dioperasikan. Ia mengakui, pada 14 dan 15 Mei BI menunda bahkan meniadakan kliring penyerahan karena pada waktu itu banyak bank tidak bisa beroperasi. Namun, BI tetap buka dan melayani transaksi pembayaran antarbank melalui pemindahbukuan dengan warkat yang diserahkan langsung ke bagian akunting BI.
Selain kerugian fisik dan hilangnya ratusan nyawa, kerusuhan mencoreng nama Indonesia di mata dunia internasional.
Kerugian lain, kerusuhan tersebut juga menimbulkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Secara terpisah, Ketua Umum DPP F-SPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Datuk Bagindo kepada pers seusai mengikuti penutupan Munas VI Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Sabtu malam, mengatakan, kerusuhan di Jakarta diperkirakan telah mengakibatkan 10.000 penganggur baru.
Ketakutan dan trauma
Memang tidak hanya kerugian fisik yang diderita. Korban meninggal di DKI Jakarta tercatat mencapai 258 orang dan 101 korban luka-luka. ”Jumlah ini tiap harinya masih bisa bertambah karena ada beberapa lokasi yang sulit,” kata Sutiyoso. Selain kerugian fisik dan hilangnya ratusan nyawa karena berbagai sebab, termasuk yang hangus terbakar di berbagai mal atau pertokoan, kerusuhan tersebut mencoreng nama Indonesia di mata dunia internasional. ”Citra kita merosot drastis,” ujar Sutiyoso.
Ketakutan, kecemasan, teror, dan trauma pun menyebar. Banyak di antara warga Jakarta dari kalangan tertentu (terutama etnis Tionghoa) segera meninggalkan Ibu Kota. Sentimen yang digaung-gaungkan oleh pihak tertentu terhadap warga Jakarta etnis tertentu menyebabkan mereka sangat ketakutan dan memilih meninggalkan Jakarta. Jaminan keamanan yang diberikan oleh pihak berwenang tidak langsung menenteramkan mereka karena kenyataan di lapangan terjadi sebaliknya.
Tak pelak lagi, eksodus dari mereka yang ingin menyelamatkan diri dari Jakarta kemudian terjadi di bandar udara. Mereka bukan saja mencoba mendapatkan tiket pesawat komersial seperti biasanya. Akan tetapi, banyak di antaranya sengaja mencarter pesawat untuk segera meninggalkan Jakarta yang dirasa tidak aman dan mengancam keselamatan nyawa mereka.
Baca juga: Hari-hari Berat Menuju Klimaks Presiden Berhenti
Baca juga: Soeharto Coba Perpanjang Napas Kekuasaannya
”Permintaan izin penerbangan ke luar negeri meningkat karena banyak warga asing yang ke luar, ditambah meningkatnya pesawat carter untuk membawa warga asing keluar dari Indonesia,” ujarnya. Tercatat pada 13 Mei 1998, Dephub mengeluarkan 113 izin terbang antara lain ke Singapura, Taipe, Australia, dan Jepang.
Semoga kerusuhan Mei 1998 ... menjadi pembelajaran mahal bagi bangsa ini. Politik menghalalkan segala cara sehingga membuat bangsa ini terpuruk.
Kerugian akibat kerusuhan Mei 1998 bukan melulu besaran angka-angka perkiraan kerugian fisik yang merupakan fakta-fakta fisik. Ribuan toko, mobil, dan berbagai fasilitas lain yang rusak dibakar bisa dihitung dengan angka-angka.
Namun, di luar semua itu, Indonesia sesungguhnya telah kehilangan banyak hal: hancurnya jalur distribusi, trauma dan ketakutan yang diderita msayarakat, potensi bisnis yang hangus, dan hilangnya pekerjaan bagi ribuan orang. Citra Indonesia sebagai negara yang aman pun hancur.
Dua puluh tahun berlalu, ”hantu-hantu” penggerak kerusuhan dan penjarahan tidak juga terungkap. Semoga peristiwa kerusuhan Mei 1998 dengan berbagai kerugian yang sangat luar biasa menjadi pembelajaran mahal bagi bangsa ini. Bahwa politik menghalalkan segala cara hanya akan membuat bangsa ini terpuruk.