Jejak toleransi antar-etnis dan agama telah terlihat sejak lama di Sumatera Utara. Sekalipun bangunan toleransi tak selamanya sempurna, jejak-jejak itu selalu mengingatkan indahnya kehidupan saat toleransi terwujud. Dalam kontestasi politik seperti pilkada, pengingat itu terasa amat relevan.
Di salah satu tikungan di Jalan Masjid, Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat, Medan, Sumatera Utara, berdiri Masjid Lama Gang Bengkok. Atapnya menyerupai gaya arsitektur bangunan China yang berundak, melebar ke bawah, dan melengkung di sisinya. Sementara cat warna kuning dan hijau di bangunannya mengingatkan pada warna khas Melayu. Saat melihat mimbar dan ukiran di dinding, terlihat nuansa budaya dari Timur Tengah.
Perpaduan arsitektur tersebut memperlihatkan toleransi yang terbangun saat masjid itu dibangun. ”M asjid ini selesai dibangun tahun 1885 dengan dana dari pengusaha Tionghoa, Tjong A Fie,” ujar Sekretaris Badan Kenaziran Masjid Lama Gang Bengkok Muklis Tanjung.
Dikutip dari buku Masjid- Masjid Bersejarah di Indonesia yang disusun oleh Abdul Baqir Zein, Tjong A Fie membangun masjid itu di atas tanah wakaf Datok Haji Muhammad Adi, seorang pemuka kaum Melayu, seluas 1.600 meter persegi.
Masjid yang dibangun di atas tanah milik orang Melayu dan dana dari orang Tionghoa, kemudian ditambah dengan arsitektur yang memadukan budaya Melayu dan Tionghoa, ini dimaksudkan agar tempat ibadah tersebut bisa menjadi monumen dan simbol kerukunan umat beragama. Sebab, kala itu, konflik kedua etnis sering terjadi.
Tidak berhenti di Masjid Lama Gang Bengkok, Tjong A Fie juga menyumbangkan hartanya untuk membangun masjid di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumut. Ia juga turut menyumbangkan dana untuk pembangunan Gereja Kristen Indonesia di Jalan KH Zainul Arifin, Medan.
Sebelum meninggal tahun 1921, dalam wasiatnya, Tjong A Fie berpesan agar tunjangan keuangan tetap diberikan kepada anak-anak muda yang berprestasi dan berkelakuan baik tanpa melihat latar belakang suku, agama, ataupun rasnya. Tunjangan serupa juga diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu dan yang terkena bencana alam.
Di kediaman Tjong A Fie, di Jalan Ahmad Yani, Medan, yang dijadikan museum oleh keluarganya, wasiat berikut tempat ibadah yang pernah dibangunnya bisa terlihat.
Toleransi yang dibangun saat Tjong A Fie masih hidup tersebut tetap lestari hingga kini. Menurut Muklis, masyarakat Tionghoa yang tinggal di sekitar Masjid Lama Gang Bengkok masih kerap membantu saat masjid butuh direnovasi. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka pun tak ragu untuk mengingatkan saat tiba waktu shalat.
”Kalau saat shalat Subuh tidak terdengar adzan, mereka biasanya menegur dan mengingatkan kami,” ujar Muklis.
Sejumlah tempat
Jejak toleransi lainnya juga tak sulit dijumpai di sejumlah tempat di Medan atau Sumut pada umumnya. Ini tidak hanya jejak toleransi masa lampau, tetapi juga di masa kekinian.
Masjid dan gereja, misalnya, banyak yang berdiri berdekatan. Antarumat beragama pun saling menghargai saat menjalankan ibadahnya.
Contoh lain, umat Buddha tidak dipermasalahkan saat membangun wihara, bahkan disebut terbesar di Asia Tenggara, dengan nama Maha Vihara Maitreya di Medan. Wihara yang tuntas dibangun tahun 2008 itu, kini tak hanya jadi tempat ibadah umat Buddha. Namun, juga jadi tempat berwisata masyarakat lintas agama.
Masjid dan gereja, misalnya, banyak yang berdiri berdekatan. Antarumat beragama pun saling menghargai saat menjalankan ibadahnya
Begitu pula ketika Gereja Graha Maria Annai Velangkanni yang tersohor karena bentuk arsitekturnya dibangun pada 2001 hingga tuntas tahun 2005. Bahkan, Pastor James Bharataputra, yang menginisiasi dan mendesain gereja, sengaja mengadopsi arsitektur Islam dan Hindu. Ini terlihat dari bangunan gereja yang mirip tempat beribadah umat Hindu, Pura, dan bentuk pintu di ruang bawah gereja yang menyerupai pintu masuk masjid.
”Gereja tidak sebatas menjadi tempat umat Katolik untuk beribadah, tetapi juga simbol dari Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu,” ujar James. Gereja itu pun kini menjadi salah satu rujukan wisata masyarakat, tidak hanya umat Katolik.
Sejarawan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, mengatakan, pluralisme di Sumut juga terlihat dari kekayaan kulinernya. Kue bika ambon dan bolu meranti merupakan warisan dari leluhur orang Tionghoa. Kemudian daun ubi tumbuk khas Mandailing. Ada pula sajian mi yang racikan di dalamnya merupakan akulturasi beragam budaya, di antaranya Arab dan India.
”Jadi, dari kekayaan kuliner itu bisa terlihat pluralisme. Kuliner itu lintas etnik, dan bisa menyatukan etnik-etnik yang beragam di Sumut,” katanya.
Hanya saja jalinan pluralisme itu bukannya tanpa cobaan. Sejarah mencatat beberapa kali konflik terjadi karena perbedaan suku, agama, dan ras di Sumut. Konflik terakhir tercatat terjadi tahun 1998.
Menurut Ichwan, konflik serupa masih mungkin terjadi di Sumut, termasuk saat gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun ini. Pasalnya, ada kecenderungan masalah suku, agama, dan ras dibawa- bawa dan bahkan dipolitisasi dalam pilkada. Hal ini berpotensi membuat masyarakat terkotak-kotak.
Bahkan, identitas etnis dan agama sejak awal telah disadari dan menjadi bagian dari pertimbangan partai politik dalam menentukan kandidat dan strategi untuk memenangi pemilihan gubernur di Sumut yang kini diikuti dua pasangan calon. Mereka adalah pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah dan pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar PH Sitorus.
Kondisi itu tentu bukan sesuatu yang ideal. Namun, yang terjadi dalam Pilgub Sumut tersebut sedikit banyak menggambarkan praktik politik nasional, yang juga sangat mempertimbangkan faktor seperti etnis dan agama.
Dalam hal ini, pelajaran dari orang seperti Tjong A Fie sepertinya masih relevan dan perlu diingat terutama oleh elite politik. Apalagi, sejarah sering kali membuktikan, rakyat jauh lebih dewasa dalam memahami pluralitas dibandingkan para elite mereka.
Namun, sampai sejauh mana para elite politik mau belajar?