JAKARTA, KOMPAS — Penegak hukum terus berusaha melacak buron dan mengembalikan kerugian negara yang terjadi dalam penyimpangan penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Sejumlah terpidana perkara ini belum mengembalikan uang pengganti yang ditetapkan pengadilan ke negara.
Hanya sebagian yang melunasi kewajiban uang pengganti. Salah satunya mantan Komisaris Utama Bank Modern Samadikun Hartono yang kembali ke Indonesia pada 2016 setelah 13 tahun menjadi buron. Uang pengganti sebesar Rp 169 miliar yang dibebankan kepadanya dilunasi saat cicilan kelima yang diserahterimakan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis (17/5/2018).
”Secara resmi menyerahkan uang pengganti pelunasan kewajiban dari terpidana perkara korupsi atas nama Samadikun Hartono yang berdasarkan putusan PN (pengadilan negeri) hingga MA (Mahkamah Agung) yang telah berkekuatan hukum tetap terpidana diwajibkan membayar uang pengganti Rp 169 miliar. Dengan uang senilai Rp 87,4 miliar yang diserahkan kali ini, kewajibannya telah lunas,” ujar Kepala Kejati DKI Jakarta Tony Spontana.
Pertama kali, Samadikun menyerahkan uang Rp 41 miliar beberapa waktu usai kembali ke Indonesia dari pelariannya di Hong Kong. Pada 2017, uang senilai Rp 40 miliar dibayarkan secara bertahap. Pada awal 2018, Samadikun memberikan lagi Rp 1 miliar hingga akhirnya lunas. Pelunasan ini sesuai dengan perjanjian Samadikun dengan kejaksaan untuk memenuhi kewajibannya selama dua tahun sejak kembali ke Tanah Air.
Sebelum Samadikun, telah ada sejumlah nama lain yang kembali ke Tanah Air. Mereka adalah Direktur Umum PT Bank Umum Servitia David Nusa Wijaya, Komisaris Utama Bank Indonesia Raya Atang Latief, Direktur Akunting Bank Harapan Sentosa Sherny Kojongian, dan Direktur Utama Bank Surya Adrian Kiki Ariawan. Sementara Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa Hendra Rahardja diketahui meninggal dalam pelariannya di Australia. (Kompas, 17 April 2016)
Dari nama-nama itu, hanya David Nusa Wijaya yang telah melunasi uang pengganti Rp 1,29 triliun dari penyitaan seluruh asetnya. Namun, aset-aset tersebut belum terlelang semuanya. Dari data kejaksaan 2012, lelang aset milik David baru tercatat Rp 19,25 miliar yang berasal dari 19 sertifikat tanah. Sejauh ini, lelang masih terus dilakukan.
Sementara itu, Sherny yang memiliki kewajiban membayar uang pengganti Rp 1,95 triliun baru memenuhi Rp 885,7 miliar berasal dari lelang barang rampasan, nilai likuidasi bank, aset yang berada di Australia. Sherny diminta membayar secara tanggung renteng bersama Hendra dan Eko Edi Putranto. Namun, Eko masih buron dan Hendra meninggal.
KPK
Nama lain yang terjerat kasus BLBI ini diketahui belum memenuhi kewajiban uang pengganti. Kejaksaan masih berupaya mengejar melalui aset dan melelang yang sudah disita. Komisi Pemberantasan Korupsi kini juga berupaya melalui penanganan tindak pidana korupsi yang didakwakan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dari audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2000, BDNI dinyatakan sebagai salah satu penerima dana BLBI yang melakukan penyimpangan. Pada 2017, temuan ini kembali ditegaskan dalam audit investigatif BPK. Seperti diketahui, pemegang saham BDNI adalah Sjamsul Nursalim yang diuntungkan Rp 4,58 triliun atas kebijakan Syafruddin.
”Ini kasus terkait BLBI pertama yang ditangani KPK. Kami akan melakukan hal yang diperlukan semaksimal mungkin sepanjang sesuai kewenangan KPK. Kerugian negara dalam kasus ini sangat besar dan hal itu tentu harus diupayakan pemulihannya semaksimal mungkin,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.