Komitmen Antikekerasan di Sekolah Dibutuhkan
Butuh komitmen guru dan tenaga kependidikan untuk mencegah segala bentuk kekerasan, termasuk ideologi kekerasan, di lingkungan sekolah.
JAKARTA, KOMPAS — Sekolah perlu menegaskan kembali komitmen pelarangan kekerasan dalam segala bentuk yang diiringi dengan pemastian mendidik siswa berpikir kritis. Ini bertujuan memantapkan pendidikan siswa agar tak bisa dipengaruhi ideologi kekerasan.
"Belum semua sekolah memiliki kesadaran memberantas tindak kekerasan di dalam sistem pengajaran, pergaulan, dan birokrasi," kata psikolog pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya Karina Adistyana di Jakarta, Kamis (17/5/2018).
Kekerasan yang dimaksud berupa metode pendisiplinan siswa yang mengandung kekerasan verbal, psikologis, dan fisik, hingga kebiasaan mengejek orang-orang yang berasal dari latar belakang agama, golongan ekonomi, suku bangsa, dan ras yang berbeda. Kebiasaan ini seringkali dilakukan tanpa sadar dan dibiarkan.
"Butuh komitmen segenap guru dan tenaga kependidikan untuk memastikan tidak seorang pun di lingkungan sekolah boleh melakukan kekerasan dan penghakiman terhadap orang lain," ujar Karina yang pernah menangani anak-anak korban konflik Ambon.
Selain meninggalkan segala bentuk kekerasan, sekolah harus mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis. Caranya dengan memberi pemahaman alasan kekerasan tidak membawa manfaat baik kepada individu maupun masyarakat pada umumnya.
Apabila bisa berpikir kritis, kata Karina, siswa tidak mudah terbujuk ajakan berbuat kekerasan ataupun menjelek-jelekkan orang lain. "Siswa memiliki kemampuan memilah dan memilih informasi. Mereka bisa mempertanyakan hal-hal yang menurut mereka tidak sesuai dengan azas berbangsa dan bernegara," tuturnya.
Sekolah harus mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis. Apabila bisa berpikir kritis, siswa tidak mudah terbujuk ajakan berbuat kekerasan atau pun menjelek-jelekkan orang lain.
Selain itu, sekolah juga harus membuka ruang-ruang pertemuan antarsiswa yang berbeda latar belakang. Kerja sama antarsekolah sangat penting.
Sanksi tegas
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad mengatakan, sudah banyak peraturan mengenai pencegahan tindak kekerasan di sekolah, pendidikan karakter, serta pengadaan ekstrakurikuler.
"Apabila aturan-aturan tersebut dijalankan oleh guru, tenaga kependidikan, dan komite sekolah, tidak akan ada celah bagi ideologi kekerasan untuk menyusup ke dalam lingkungan sekolah," ujarnya.
Hamid yang juga Pelaksana Tugas Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud mengimbau agar masyarakat melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga pendidikan guna memastikan sekolah tidak menyimpang dari tujuannya sebagai pusat pendidikan. Masyarakat jangan segan melapor jika menemukan sekolah bertindak diskriminatif ataupun melakukan pembiaran terhadap ideologi ekstrem.
Masyarakat melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga pendidikan guna memastikan sekolah tidak menyimpang dari tujuannya sebagai pusat pendidikan.
"Dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota sebagai pengelola guru juga harus memberi sanksi tegas. Bisa mulai dari teguran hingga pemecatan," ucap Hamid.
Kamruddin menuturkan, tahun 2018 ada 17.000 dari 180.000 guru Pendidikan Agama Islam yang mengikuti pelatihan. Selanjutnya, pelatihan akan diturunkan ke tingkat kabupaten/kota.
"Pengajaran agama harus tuntas, jangan sepotong-sepotong karena mengakibatkan salah tafsir. Apabila dipahami menyeluruh, tujuan beragama ialah menciptakan kedamaian bagi seluruh umat manusia," ujarnya.
Pada tingkat pendidikan tinggi, Kemenag mengadakan ma\'had jamiyah dengan mengajak dosen-dosen pendidikan agama turun tangan. Harapannya, kegiatan ekstrakurikuler yang mengandung ideologi transnasional bisa ditangkal.
Memperketat pengawasan
Di Magelang, Jawa Tengah, Wakil Rektor III Universitas Tidar Magelang Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Bambang Kuncoro, mengatakan, sesuai instruksi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, pihaknya lebih memperketat pengawasan terhadap kegiatan pengajian di kampus.
“Untuk menghindari adanya penyebaran paham-paham yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, maka untuk kegiatan pengajian ini, kami sengaja membatasi diri, dan hanya melibatkan, mengundang pihak luar yang sudah terpercaya, yang selama ini sudah terbiasa bekerjasama dengan kampus saja,” ujarnya, di Magelang.
Bambang mengatakan, sejauh ini, ada dua mahasiswa yang dicurigai memiliki paham radikal. Namun, karena ketatnya pendampingan yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa, paham tersebut tidak berimbas pada mahasiswa lainnya.
Sebagaimana dilakukan Universitas Tidar Magelang, Pelaksana tugas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Haryono meminta agar sekolah mengawasi setiap kegiatan siswa. Dia menganjurkan agar setiap pengisi materi kegiatan diseleksi, dan diutamakan adalah mereka yang memang sudah dikenal baik dan sering bekerja sama dengan pihak sekolah.
“Jangan sembarangan mencoba-coba memakai pengisi materi baru. Kalau memang harus memakai orang baru, maka pihak sekolah pun harus lebih cermat meneliti latar belakang lembaganya terlebih dahulu,” ujarnya.
Haryono juga meminta orangtua dan guru berupaya mengantisipasi ideologi ekstrem yang berpotensi tumbuh dan berkembang di sekolah dengan bersikap lebih peka dan cermat mengawasi perilaku anak-anak. “Orangtua dan guru harus peka melihat perubahan perilaku dari anak-anak,” ujarnya.