Kejutan kecil dari akun Twitter Presiden Joko Widodo, @jokowi, pukul 15.24, Rabu (16/5/2018), menyeruak di tengah kesibukan pemerintah menangani aksi teror. Publik sempat terkejut saat pengelola akun Presiden menanggapi unggahan akun personel grup band remaja JKT48 bernama Beby Chaesara Anadila.
Lewat akun Twitter Beby Chaesara Anadila, @bebyers, mencuit, ”Selamat siang... sambil menemani jam istirahat teman-teman ada episode terbaru....” Cuitan ini direspons pengguna akun, di antaranya dari Presiden, yang membalas, ”Wuooohh mantab! jadi teringat deg2an di momen Senbatsu Uza pekan lalu.”
Akibatnya, jagat Twitter pun ramai. Meski hanya beberapa menit tampil–sebelum lenyap–obrolan mempersoalkan cuitan tersebut bergulir. Di beberapa grup, obrolan dan pesan singkat disertai unggahan foto hasil jepretan merebak.
Pertanyaannya, mengapa akun Presiden sampai merespons hal sepele? Bukankah negara saat ini tengah menghadapi sejumlah aksi teror? Namun, ada pula yang membela, ”Apa salahnya akun Presiden mengomentari hal-hal manusiawi?” Lalu, bagaimana duduk soalnya?
Memang, sesaat setelah ”insiden” itu, pihak Istana segera mengklarifikasi. Cuitan yang segera dihapus tetap tak memupus respons banyak orang. Bey T Machmudin, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Kementerian Sekretariat Negara, menyatakan telah menelusuri dan menemukan masalah di salah satu admin pengelola. ”Yang bersangkutan sudah dibebastugaskan,” kata Bey tanpa merinci lebih jauh.
Istana juga mengantisipasi langkah-langkah pengamanan dan penanganan tambahan secara internal agar kasus serupa tak terulang. Namun, langkah tersebut belum menjelaskan rasa penasaran publik bagaimana sosok pengguna akun Presiden tersebut? Peristiwa ini memicu debat, seperti apakah seharusnya sosok yang selama ini mengelola akun Presiden. Betapa pentingnya peran mereka sebagai penyambung komunikasi Presiden dengan rakyat. Tak hanya di Twitter, tetapi juga di Instagram, Facebook, Youtube, Path, ataupun Kaskus.
Dari semua akun yang terverifikasi, sebagian besar dikelola admin. Mereka tak bekerja mengurusi semua akun. Namun, setiap akun ada tim adminnya tersendiri. Belum jelas siapa yang menjadi komandan dari semua akun media sosial Presiden tersebut. Khusus akun di Kaskus, Presiden belum mengungkap akun pribadinya meski dia mengaku aktif di sana.
Kompas sempat berbincang dengan tiga orang yang ikut memperkuat media sosial Presiden. Ketiganya menyatakan, insiden akun Twitter itu bukan wilayah tugasnya. Secara kebetulan, mereka tak tergabung sebagai pengelola akun Twitter Presiden. Ketiganya juga tak menjelaskan siapa sesungguhnya pengguna akun yang mendapat sanksi tersebut.
Kantor baru
Banyak orang memaklumi jika Presiden memiliki pasukan medsos sendiri. Persoalannya, bagaimana mengelola isu di medsos. Narasi bagaimana yang hendak dibangun untuk kepentingan itu?
Pertengahan 2017, Kompas pernah mendatangi ruangan yang sebelumnya digunakan untuk administrasi percetakan Setneg di salah satu gedung Setneg. Namun, ternyata ruangan itu sudah berubah. Selain ruangannya direnovasi, penghuninya juga anak-anak muda. Tak ada lagi penghuni lama pegawai Setneg.
Dari informasi yang dihimpun, ruang itu kini jadi ruang kerja tim medsos Istana. Ruang yang sebelumnya kusam berubah cerah. Hampir di setiap meja di ruangan tersebut ada perangkat komputernya.
Petugas Setneg yang pernah bekerja di ruangan itu sudah pindah ruangan. Presiden juga pernah datang ke ruangan itu didampingi seorang pejabat. Namun, tim medsos Presiden tak hanya bekerja di situ, tetapi di mana saja. Sebagian tak di Jakarta.
Dalam catatan, akun ”resmi” Presiden, @jokowi, mulai diluncurkan saat ulang tahun Presiden ke-54 pada 21 Juni 2015. Namun, catatan Twitter, akun tersebut sudah ada pada September 2011. Kini, konsolidasi komunikasi Presiden juga kembali diperkuat dengan pengangkatan empat staf khusus baru dari sebelumnya tujuh orang kini menjadi 11 orang.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengakui, titik berat penguatan staf khusus di antaranya untuk menjawab tantangan perkembangan teknologi informasi yang cepat. Sebab itu, Presiden butuh orang-orang profesional yang paham media sosial.
Kekuatan
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Jakarta, Hendri Satrio, mengatakan, insiden unggahan akun Twitter Presiden menunjukkan Istana kurang serius berkomunikasi dengan rakyat. ”Harusnya, dibedakan antara Jokowi sebagai individu dan Jokowi sebagai Presiden,” katanya.
Artinya, harus ada sistem komunikasi politik yang benar-benar dibuat untuk publikasi melalui medsos. Sistem komunikasi lewat medsos sebenarnya tak jauh beda dengan komunikasi lewat media konvensional.
”Seperti di surat kabar itu, kan, ada caranya, ada juru bicara, media tertentu, dan ada konferensi pers yang sudah baku. Medsos mestinya juga sama, harus ada sistem pengoperasian baku,” tuturnya.
Ryan Holmes, pendiri dan CEO Hootsuite, menyatakan, dalam enam pilar kepemimpinan sosial disebutkan sentuhan personal kunci pengelolaan medsos para pemimpin. Ini artinya, medsos bukan hal yang bisa dilepas begitu saja, melainkan tetap dikelola dalam sebuah kepemimpinan.