JAKARTA, KOMPAS- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan kepada mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut atau Dirjen Hubla Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono. Dalam menjatuhkan pidana tersebut, majelis hakim yang dipimpin Saifuddin Zuhri mempertimbangkan status Tonny sebagai justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatannya.
Selain itu, majelis hakim juga memutuskan, sejumlah barang bukti yang disita oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, karena diduga hasil gratifikasi, diperintahkan untuk dikembalikan.
”Ditetapkannya sebagai justice collaborator (JC) menjadi bagian pertimbangan meringankan terdakwa. Unsur menerima hadiah itu terbukti dalam perbuatan terdakwa. Menjatuhkan pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap terdakwa,” kata Saifuddin Zuhri saat membaca putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (17/5/2018).
Putusan tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa penuntut umum pada KPK meminta majelis hakim menjatuhkan pidana 7 tahun penjara kepada Tonny.
Tonny terbukti menerima Rp 2,3 miliar dari Adiputra Kurniawan selaku Direktur PT Adhiguna Keruktama. Penerimaan itu terkait dengan proyek pekerjaan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, tahun anggaran 2016 dan Pelabuhan Samarinda, Kalimantan Timur, tahun anggaran 2016.
Tonny juga terbukti kemudian menyetujui penerbitan surat izin kerja keruk (SIKK) PT Indominco Mandiri, PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkitan (UJP) PLTU Banten, dan KSOP (Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan) Kelas I Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, yang sedianya dilaksanakan oleh PT Adhiguna Keruktama.
Dari uang suap Rp 2,3 miliar itu, sebesar Rp 1,141 miliar telah digunakan serta sisanya masih tersimpan di rekening atas nama Djoko Prabowo sebesar Rp 1,155 miliar dan tetap diperintahkan berada di KPK. Sementara sejumlah uang yang disebut sebagai gratifikasi justru dikabulkan untuk dikembalikan kepada terdakwa karena bersumber dari pendapatan pribadi terdakwa dan berupa penghargaan kepada terdakwa karena menjalankan tugasnya sebagai abdi negara.
Adapun yang dikembalikan adalah uang sejumlah Rp 242,5 juta, yang merupakan uang honor perjalanan dinas dan uang pengganti tiket. Selain itu, ada pula uang sebanyak 4.600 poundsterling yang merupakan biaya untuk mengikuti kegiatan dan sisa perjalanan dinas dari London, Inggris.
Tidak hanya itu, majelis hakim juga memerintahkan agar uang senilai 11.212 ringgit Malaysia dikembalikan. Uang itu terbukti sebagai uang sisa perjalanan dinas terdakwa dan yang akan digunakan untuk persiapan kegiatan ke Malaysia.
”Terakhir, uang tunai sejumlah 5,000 dollar Vietnam merupakan uang sisa perjalanan istri terdakwa ke Vietnam, dikembalikan kepada terdakwa,” ujar Zuhri.
Menanggapi putusan tersebut, Tonny langsung menerima, bahkan berpesan agar para pegawai negeri sipil tidak mengikuti jejaknya menerima suap dan gratifikasi. Status JC yang disandangnya juga menjadi alasan ke depannya Tonny akan kooperatif jika diperlukan bantuannya oleh KPK.
Sementara itu, jaksa KPK, Dody Sukmono, memilih untuk pikir-pikir. (IAN)