Calo, Pemalsuan Data, dan Modus Perdagangan Manusia
Di kantong-kantong tenaga kerja Indonesia sudah biasa muncul anggapan bahwa TKI itu manja karena terkesan selalu dibantu sponsor (calo) dalam pengurusan seluruh administrasi, termasuk pembuatan paspor.
Padahal, kondisi itu terjadi karena TKI berhadapan dengan persyaratan berbelit saat mengurus keberangkatan secara mandiri sehingga akhirnya terpaksa berhubungan dengan calo.
Setelah terjerat calo, dengan leluasa, calo pun memanipulasi TKI hingga berujung pada perdagangan manusia.
”Saya pernah sampai dua kali mengurus SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) sebagai syarat mengurus keberangkatan ke Taiwan. Surat itu ada yang dibuat di polsek dan polres, keluar duit hampir Rp 200.000, tetapi dianggap salah semua oleh orang PT (perusahaan yang menyalurkannya bekerja di Taiwan). Akhirnya saya serahkan saja kepada PT,” kata Cariyan (52) di rumahnya di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pekan lalu.
Setelah terjerat calo, dengan leluasa, calo pun memanipulasi TKI hingga berujung pada perdagangan manusia.
Pengalaman Cariyan mengadu nasib keluar negeri bukan sekali, dua kali. Sejak 1995, bapak empat anak itu sudah merantau bekerja sebagai mekanik di kapal penangkap ikan hingga ke Amerika, dan hampir 15 tahun belakangan ini di Taiwan.
Terakhir kali, pertengahan 2017 lalu, dia kembali lagi ke Taiwan bekerja di kapal penangkapan ikan. Namun, setelah tujuh bulan bekerja, Cariyan mengalami serangan stroke sehingga seluruh organ tubuh bagian kirinya lumpuh. Selama sebulan dia dirawat di Hong Kong, sebelum dipulangkan ke Indonesia pada Februari lalu.
Sejak pulang ke Indonesia, Cariyan mulai kesulitan untuk membiayai pengobatan penyakitnya karena sisa gaji sebesar Rp 5 juta dan jaminan asuransi kesehatannya sebesar Rp 70 juta, yang merupakan hasil bekerja di kapal di Taiwan, tak bisa dicairkan.
Penyebabnya ialah identitas di paspor yang diterbitkan Kantor Imigrasi Tanjung Priok pada 2017 itu tak sama dengan identitasnya yang tercatat di KTP elektronik.
Sejak memiliki pengalaman sulit untuk mengurus keberangkatan ke luar negeri secara mandiri, Cariyan mengatakan lebih memilih menyerahkan urusan keberangkatannya keluar negeri itu kepada perusahaan tenaga kerja.
Untuk keberangkatannya yang terakhir kali ke Taiwan itu dia percayakan kepada PT Alinda Prima Sentosa (PT APS), termasuk untuk memperpanjang paspor di Kantor Imigrasi Tanjung Priok.
”Saya bukannya tidak mau urus sendiri (keberangkatan ke luar negeri). Tapi nyatanya kalau urus sendiri itu susah, ada saja persyaratan yang dianggap kurang,” ucapnya.
Saat perpanjang paspor pada 2017, diakui Cariyan, dia menghadapi kendala karena salah satu identitasnya di Dinas Kependudukan telah dihapus. Dia mengakui, sejak 2000 dia memiliki dua KTP, yakni atas nama Cariyan dan Yani Rasta.
https://youtu.be/rRYtwarIEs0
Dari 2000 hingga saat ini, dia menggunakan KTP atas nama Yani Rasta sebagai dasar perpanjangan paspor. Perubahan itu sengaja dilakukan agar dia tetap dapat memenuhi persyaratan untuk bekerja di Taiwan.
Sebab pada 2000, Taiwan menerapkan aturan bahwa TKI dibatasi bekerja selama dua tahun di Taiwan. Beberapa tahun kemudian, Pemerintah Taiwan baru memperbolehkan TKI bekerja di Taiwan hingga 10 tahun lebih.
Namun, dengan diterbitkannya KTP elektronik, nama Yani Rasta yang terekam sebagai identitas kedua Cariyan itu dihapus oleh Dinas Kependudukan setempat. Akibatnya, Cariyan tidak bisa lagi memperoleh KTP dengan nama Yani Rasta.
Atas bantuan PT APS, kata Cariyan, KTP atas nama Yani Rasta dalam bentuk KTP kertas itu bisa diterbitkan lagi, dan digunakan sebagai dasar untuk memperpanjang paspornya pada 2017 di Kantor Imigrasi Tanjung Priok.
Hanya sekarang, Cariyan kesulitan untuk membuka rekening bank sebagai syarat pencairan sisa gaji dan klaim asuransi kesehatannya. Sebab, bank hanya bersedia menerima KTP elektronik sebagai syarat membuka rekening.
Sementara PT APS hanya dapat menyalurkan gaji dan jaminan asuransi ke rekening bank yang dibuka atas nama Yani Rasta sesuai identitas paspor. Akibatnya, hingga saat ini Cariyan tak memiliki jalan keluar agar dia bisa memperoleh hak atas gaji dan jaminan asuransinya.
”Pihak bank hanya mau menerima KTP elektronik. Sementara perusahaan (PT APS) menolak jika saya membuka rekening bank atas nama Cariyan,” ujarnya.
Pengakuan mantan calo
HB (38), mantan calo TKI di Indramayu, mengungkapkan, TKI yang mengubah identitasnya di paspor itu bukan satu atau dua orang, melainkan jumlahnya banyak sekali. Selama tahun 2000 hingga sebelum diterapkannya KTP elektronik, itu sudah menjadi hal lumrah jika TKI memiliki dua KTP dengan identitas berbeda.
KTP dengan identitas kedua itu biasanya digunakan TKI jika dia berniat mengubah identitasnya di paspor. HB yang kini menjabat sebagai perangkat desa di Kecamatan Juntinyuat itu mengungkapkan, perubahan identitas di paspor itu umumnya terjadi karena TKI tersebut memiliki catatan buruk di imigrasi pada pekerjaan sebelumnya.
https://youtu.be/uKF-pMGtgW4
”Di paspor itu ada kode tertentu yang menerangkan bahwa pemilik paspor itu memiliki catatan buruk atau tidak. Misalkan jika dia kabur dari majikan sebelum masa kontrak habis, saat dia dipulangkan, itu akan tercatat di paspor,” katanya.
Lewat calo, kata HB, TKI yang semula memiliki catatan buruk di paspor itu bisa memperoleh paspor lagi dengan identitas berbeda. Dalam rangkaian penerbitan paspor baru itu, calo tersebut ikut membantu TKI memperoleh KTP dengan identitas berbeda sebagai dasat penerbitan paspor yang baru.
”Calo itu sangat berperan dalam proses keberangkatan TKI keluar negeri karena setiap persyaratan untuk keberangkatan itu dikerjakan oleh calo dan ada imbalannya. Ini membuat banyak TKI sangat bergantung pada calo,” ucapnya.
Bahkan, menurut HB, setiap orang yang terlibat untuk memberangkatkan seorang TKI keluar negeri memperoleh imbalan. Seorang warga, contohnya, memberitahukan ada tetangganya berniat menjadi TKI kepada calo tenaga kerja. Maka, dia akan memperoleh imbalan Rp 500.000 dari calo pencari TKI.
Calo itu sangat berperan dalam proses keberangkatan TKI keluar negeri karena setiap persyaratan untuk keberangkatan itu dikerjakan oleh calo dan ada imbalannya.
Saat mengurus paspor dan persyaratan administrasi lainnya, calo tenaga kerja yang membawa seorang TKI itu akan meminta bantuan lagi kepada calo yang khusus mengurus paspor. Calo yang khusus mengurus paspor itu akan memperoleh imbalan atas jasa pekerjaannya, dari Rp 500.000 sampai Rp 3 juta.
”Tarif itu tergantung dari sulit atau tidak proses pembuatan paspor itu. Karena biasanya ada beberapa persyaratan yang tak bisa dipenuhi TKI, seperti akta kelahiran atau data KTP yang berbeda,” katanya.
Baca juga: Eksploitasi TKI Sejak Membuat Paspor
Bahkan, lanjut HB, para calo paspor TKI bisa bertukar informasi untuk mengetahui kantor imigrasi mana yang sedang menerapkan pengawasan ketat dalam penerbitan paspor. Hingga saat ini, kata HB, Kantor Imigrasi Cirebon masih menerapkan pengawasan yang ketat sehingga banyak calo paspor itu mengurus paspor TKI ke Kantor Imigrasi Bogor atau Sukabumi.
”Kalau Cirebon lagi ketat, seperti sekarang, calo itu saling berbagi informasi kantor imigrasi mana yang longgar. Mereka akan mengurus paspor TKI di sana. Tentunya, para calo itu bisa memperoleh kemudahan untuk mengurus paspor. Itu juga karena dibantu orang dalam (internal kantor imigrasi),” katanya.
Menurut HB, para calo TKI yang beroperasi di pedesaan itu sesungguhnya kepanjangan tangan perusahaan tenaga kerja atau PPTKIS. Karena pada umumnya, PPTKIS itu berada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, dan Bekasi.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Ayub Basalamah pun tak menampik, ada banyak PPTKIS yang masih bergantung pada calo untuk memperoleh pasokan TKI. Namun, dia akui pula, imbalan untuk calo itu juga membebani biaya keberangkatan TKI keluar negeri.
”Keadaannya sekarang, masing-masing PPTKIS itu masih mengandalkan pasokan TKI dari calo. Bahkan, antarperusahaan itu sampai bersaing dalam memberikan imbalan kepada calo yang bisa mendatangkan TKI, imbalannya mulai dari Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta per orang,” katanya.
Imbalan itu, menurut Ayub, membuat PPTKIS tak pernah bisa memenuhi struktur biaya pemberangkatan TKI yang ditetapkan pemerintah. Struktur biaya keberangkatan TKI tujuan Taiwan, contohnya, ditetapkan sekitar Rp 17 juta.
Namun, karena adanya imbalan untuk calo, biaya keberangkatan yang riil lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, keberangkatan TKI ke Taiwan itu bisa memakan biaya hingga Rp 35 juta.
Tak hanya membebankan biaya keberangkatan TKI, praktik percaloan ternyata juga rawan menjerumuskan TKI ke dalam praktik perdagangan manusia. Kasus Adelina Jemirah Sau (20), TKI asal Desa Abi, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang tewas dianiaya majikannya di Malaysia, bermula dari praktik percaloan tenaga kerja di NTT.
Lewat seorang calo TKI, Martinus Nenobota, Adelina dibawa ke Malaysia saat usianya masih 14 tahun pada 2013. Melalui peran Martinus dan teman-temannya sesama calo, Adelina yang tak memiliki akta kelahiran, apalagi KTP ataupun kartu keluarga, akhirnya bisa memperoleh paspor di Kantor Imigrasi Kelas II Blitar pada 2013.
Baca juga: Segera Didata, TKI Asal NTT di Malaysia
Sekitar setahun di Malaysia, Adelina kembali ke Desa Abi pada Agustus 2014. Hanya berselang dua pekan sejak kepulangannya, Adelina kembali ditawari kerja di Malaysia. Kali ini tawaran itu datang dari orang yang berbeda, yakni Flora Leoklaran (33), seorang calo dari luar desa tetapi memiliki kerabat di Desa Abi yang bernama Jiter Fitriana Oris Benu (28). Saat membawa Adelina, Flora menginap di rumah Jiter.
Adelina yang tak memiliki akta kelahiran, apalagi KTP ataupun kartu keluarga, akhirnya bisa memperoleh paspor di Kantor Imigrasi Kelas II Blitar pada 2013.
Adelina dibawa Flora ke Kupang untuk dipertemukan dengan Habel Pah (37). Habel Pah inilah yang memiliki jaringan di Malaysia. Setelah berhasil mengirimkan Adelina, Flora, dan Jiter, Habel mendapatkan uang total Rp 3 juta dari pihak sponsor Habel. Masing-masing memperoleh Rp 1 juta.
Selama lebih dari tiga tahun tidak pernah ada kabar ataupun kiriman uang dari Adelina, sampai akhirnya Adelina meninggal dunia Februari lalu. Adelina meninggal karena luka traumatis di kaki kanan dan kepala akibat penganiayaan dengan benda tumpul.
https://youtu.be/BB5AewDnuV4
Kematian Adelina pun mengungkap bahwa keberangkatannya ke Malaysia terkait erat dengan praktik perdagangan orang. Flora, Jiter, dan Habel, yang terlibat memberangkatkan Adelina ke Malaysia, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) oleh Polres Timor Tengah Selatan.
LK, pegiat di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang, mengatakan, akibat berangkat dengan cara tidak resmi seperti itu, pemerintah kesulitan melindungi TKI yang bersangkutan. Sebab, keberadaan TKI itu sulit dilacak. Perdagangan orang dengan modus seperti itu kerap terjadi.
Baca juga: 406 TKI Dideportasi dari Malaysia
Rawannya perdagangan manusia lewat calo tenaga kerja itu tergambar pada jumlah TKI asal NTT yang meninggal dunia saat bekerja di luar negeri. Berdasarkan data BP3TKI Kupang, selama Januari-April 2018 itu ada 29 TKI yang meninggal di tempatnya bekerja di luar negeri. Hanya dua orang dari TKI yang meninggal itu yang berangkat melalui prosedur yang ditetapkan pemerintah, salah satunya memperoleh rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja. Selebihnya, 27 TKI yang meninggal itu berangkat dengan cara tak resmi.
Bahkan, pada tahun sebelumnya, 2017, ada 62 orang TKI NTT yang meninggal dunia. Hanya satu orang TKI yang berangkat dengan cara resmi, sedangkan 61 lainnya ilegal.
”Dari data TKI meninggal saja, kita bisa lihat jumlah TKI yang berangkat tidak resmi itu banyak sekali,” ujar LK.
Ketua Tim Tindak Pidana Pergadangan Orang (TPPO) Kepolisian Resor Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, Inspekstur Satu Jamari, mengatakan, tindak pidana perdagangan orang terutam disebabkan adanya data palsu dalam dokumen kependudukan yang diajukan sebagai syarat keberangkatan TKI keluar negeri, seperti KTP, KK, dan paspor.
Identitas palsu yang digunakan dalam paspor itu menjadi pintu masuk dari perdagangan manusia.
Ia menjelaskan, pemalsuan identitas TKI pada dokumen KTP dan KK, dengan sendirinya membuat identitas yang dimuat dalam paspor pun tak sesuai dengan identitas asli TKI. Identitas yang digunakan itu biasanya disesuaikan dengan persyaratan seorang TKI dapat bekerja di luar negeri, salah satunya usia minimal 21 tahun.
”Identitas palsu yang digunakan dalam paspor itu menjadi pintu masuk dari perdagangan manusia,” ujar Jamari, pekan lalu. (RYAN RINALDI/FIKRI ASHRI/ANGGER PUTRANTO)