Dua Bulan Setelah Dipilih, Soeharto Didesak Mundur
19 Mei 1998
Pada Selasa,19 Mei, 20 tahun lalu, headline hampir semua media massa memuat pernyataan Ketua DPR/MPR Harmoko yang meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri. Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan sikap Harmoko saat memimpin Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998 yang mengesahkan Soeharto sebagai Presiden RI untuk periode 1997-2002.
Harmoko, yang kala itu Ketua Umum DPP Golkar, dengan sangat gigih dan meyakinkan menyatakan, rakyat Indonesia masih menginginkan Pak Harto memimpin Indonesia. Pak Harto pun secara aklamasi terpilih menjadi Presiden untuk keenam kalinya. Seluruh fraksi di MPR satu suara untuk memilih Soeharto.
Namun, dua bulan dan delapan hari setelah peristiwa itu, tepatnya pada Senin (18/5/1998) pukul 15.20 WIB, di ruang rapat pimpinan DPR di lantai 3 Gedung MPR/DPR, Harmoko beserta seluruh Wakil Ketua DPR/MPR kala itu, Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, dan Syarwan Hamid, menyampaikan keterangan pers kepada para wartawan yang meliput kegiatan DPR/MPR. Mereka meminta Pak Harto mundur dari kursi kepresidenan. Alasannya, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Baca juga: BBM dan Blunder Politik Soeharto
Baca juga: Saatnya Keluar dari Bayang-bayang Soeharto
Namun, permintaan para pemimpin Dewan itu justru ditanggapi Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto. Dalam pertemuan pers di Markas Besar ABRI Merdeka Barat, Jakarta, Senin (18/5/2018) malam, Wiranto mengumumkan sikap ABRI, yang menyebutkan pernyataan pimpinan DPR itu bersifat individual dan tidak memiliki dasar hukum.
Desakan para pemimpin Dewan itu kemudian menjadi berita utama pada halaman pertama harian Kompas, Selasa (19/5/1998), dengan judul ”Pimpinan DPR: Sebaiknya Pak Harto Mundur”. Adapun pernyataan Wiranto diberitakan di bawah judul, ”ABRI: Itu Pendapat Individual” seperti dimuat di halaman pertama Kompas, Selasa (19/5/1998).
Jika pada hari-hari lain Harmoko sangat mengobral omongan dan sangat suka melayani pertanyaan wartawan, saat itu sikapnya berbalik 180 derajat. Jumpa pers hanya berlangsung 5 menit, tanpa kesempatan bertanya, hanya mendengar Harmoko membaca selembar pernyataan pers.
Seusai memberikan keterangan pers, Harmoko dan para pemimpin DPR/MPR bergegas meninggalkan ruangan menuju ke ruang kerja masing-masing. Dan, usai jumpa pers, tidak diketahui apakah para pemimpin DPR/MPR itu tetap di ruang kerjanya atau telah meninggalkan Gedung MPR/DPR, tidak terpantau lagi karena suasana di Gedung MPR/DPR semakin riuh.
Baca juga: Masyarakat Kian Tak Sabar Ganti Presiden
Baca juga: Lambaian Tangan Terakhir Soeharto
Agenda kegiatan DPR/MPR tak ada yang berlangsung. Gelombang mahasiswa terus berdatangan, petugas pengamanan Gedung MPR/DPR yang biasanya ketat memeriksa pengunjung tak mampu berbuat apa-apa. Seluruh sudut gedung penuh dengan mahasiswa, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.
Gelombang manusia terus berdatangan ke Gedung MPR/DPR, suasana betul-betul gaduh, sampah berserakan bekas bungkus makanan, dan botol air mineral berserakan di mana-mana. Toilet tak lagi layak digunakan. Sebagian mahasiswa menaiki atap Gedung MPR yang terbentang mirip kepak sayap garuda. Gelombang manusia terus berdatangan ke Gedung MPR/DPR. Kini bukan hanya mahasiswa yang bergerak ke Gedung MPR/DPR.
Sebelum pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan meminta Pak Harto mundur, suasana di Gedung MPR/DPR sejak pagi sudah terasa tegang. Berbagai rapat kerja DPR yang tercantum dalam agenda kegiatan komisi tak satu pun terlaksana.
Baca juga: Perintah Soeharto Tak Didengar
Baca juga: Hari-hari Berat Menuju Klimaks Presiden Berhenti
Lima fraksi di DPR, yakni Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrasi Indonesia, dan Fraksi ABRI, mengadakan rapat fraksi tanpa ada satu pun yang memberi penjelasan tentang agenda rapatnya.
Wartawan yang menanti di Press Room DPR berkali-kali mendapat informasi bahwa pimpinan DPR akan memberi keterangan pers, tetapi kapan dan di mana tempatnya tidak disebutkan.
Rapat pimpinan DPR/MPR dilaksanakan tanpa diagendakan sebelumnya, seperti lazimnya rapat-rapat di DPR. Rapat mendadak diadakan setelah ribuan mahasiswa dari sekitar 50 perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya ”menyerbu” Gedung MPR/DPR, meminta Presiden Soeharto mundur.
”Serbuan” mahasiswa itu telah ”melumpuhkan” DPR. Jika pada hari-hari sebelumnya kehadiran delegasi mahasiswa, forum rektor, kelompok cendekiawan, atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yang menyampaikan aspirasi serupa selalu ditanggapi pimpinan DPR ataupun pimpinan fraksi-fraksi di DPR dengan jawaban ”Presiden dipilih secara konstitusional”.
Namun, pada hari itu kehadiran ribuan mahasiswa dengan aspirasi yang sama tak mampu dibendung lagi oleh pimpinan DPR/MPR. Mereka tak bisa berkelit dan berlindung lagi di balik kata ”konstitusi”. Inilah kehendak rakyat yang sesungguhnya. Sidang Umum MPR 1998, meskipun ”konstitusional”, pada akhirnya harus tunduk pada kehendak rakyat.
Baca juga: Amuk Massa yang ”Menyebar” di Jabotabek
Baca juga: Jejak-jejak ”Hantu” Kerusuhan Mei
Terkait imbauan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto sebaiknya mengundurkan diri itu ditanggapi Pak Harto dengan baik, tegar, dan tenang. Bahkan, kepala negara menegaskan akan menjawab sendiri persoalan itu. Pandangan itu disampaikan Mendagri Hartono, Ka Bakin Letjen TNI (Purn) Moetojib, dan Menko Polkam Feisal Tanjung secara terpisah seusai diterima Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Senin (18/5/1998) malam, yang diwartakan di halaman pertama Kompas, Selasa (19/5/1998), di samping berita utama tadi, dengan judul ”Presiden Tanggapi dengan Tegar”.
”Beliau itu seorang negarawan, seorang prajurit, ya tentu (menghadapinya) dengan wajah yang tegar. Saya kira kita semua tahu Pak Harto. Kalau memang suatu keputusan Majelis untuk Sidang Istimewa, ya sebagai prajurit, sebagai negarawan, dan sebagai warga negara, itu keputusan rakyat. Tapi sekarang pertanyaannya, sejauh mana keputusan rakyat itu, tergantung.... Apakah ini akan sampai pada Sidang Istimewa, kita lihat, karena Sidang Istimewa ’kan sidangnya rakyat yang diwakili oleh anggota MPR,” kata Mendagri Hartono (Kompas, Selasa, 19/5/1998).
Tanggapan baik dan positif atas pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto secara arif dan bijaksana mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa datang dari berbagai kalangan.
”Saya lihat beliau tenang sekali. Beliau mengatakan, kalau ada seperti itu, ya sudah. Jadi, ya, nanti saya jawab besok saja,” ujar Ka Bakin Moetojib (Kompas, 19/5/1998), merujuk pernyataan bahwa Pak Harto ”akan menjawab sendiri persoalan itu”.
Apa jawaban Pak Harto dan bagaimana desakan atau tuntutan rakyat Indonesia yang diwakili massa mahasiswa? Kita tunggu berita Kompas edisi Rabu, 20 Mei 1998. (PASCAL S BIN SAJU)