Jejak Perjuangan Difabel di Kota Solo
Pada ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017, kontingen Indonesia menjadi juara umum dengan perolehan 126 medali emas, 75 perak, dan 50 perunggu. Dengan pencapaian ini, dalam Asian Para Games 2018, para atlet diharapkan dapat kembali menjadi juara umum dengan meraih lebih banyak medali.
Kalau melihat bagaimana para atlet itu berlatih, prestasi tersebut sebenarnya sudah bisa diperkirakan. ”Hasil ini tak terlepas dari persiapan dan latihan panjang yang dimulai sejak 2016. Pemusatan latihan selama setahun di Solo itu luar biasa,” kata Ketua Umum Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia Senny Marbun seperti dikutip harian Kompas, 25 September 2017.
Kota Solo sejak lama sudah akrab dengan para difabel.
Bahkan, Senny optimistis para atlet akan mampu memperbaiki peringkat dari sebelumnya ke-9 pada Asian Para Games Incheon 2014 menjadi ke-8 atau bahkan ke-7. Menurut dia, salah satu kunci untuk meraih prestasi adalah pelatnas yang ketat dan para atlet harus mengikuti semua program yang sudah dirancang dengan penuh disiplin.
Menyinggung Solo, Jawa Tengah, sebagai kota tempat para atlet menjalani pemusatan pelatihan, ingatan pun melayang pada puluhan tahun yang lalu. Kota Solo sejak lama sudah akrab dengan para difabel. Tepatnya tahun 1951 saat Prof Dr R Soeharso resmi mendirikan Rehabilitation Centrum (RC) sebagai pusat rehabilitasi bagi para difabel.
RC yang awalnya berdiri dengan mempertimbangkan banyaknya korban Revolusi Kemerdekaan Indonesia itu kemudian berkembang hingga menjadi Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Prof Dr R Soeharso dan menjadi pusat rujukan nasional ortopedi mulai tahun 1994.
Kompas, 3 Oktober 2008, mencatat, setelah mendirikan RC, pada 1953 Soeharso mendirikan Yayasan Pemeliharaan Anak Tjatjat (YPAT, lalu menjadi YPAC). Tahun 1955 RC dipecah menjadi dua lembaga, yakni Lembaga Orthopaedi dan Prothese (LOP) dan Pusat Rehabilitasi Penderita Cacat Tubuh (PRPCT). Pada 1978 nama LOP berubah lagi menjadi Rumah Sakit Orthopaedi dan Prothese atau RSOP.
Namun, perkembangan RC menjadi RSO Prof Dr R Soeharso tidak selalu berjalan mulus. Kompas, 18 Mei 1972, atau tepat 46 tahun lalu, misalnya, menulis tentang demonstrasi yang diikuti sekitar 50 difabel dari RC. Peristiwa ini awalnya dipicu pertikaian pribadi antara seorang siswa dan seorang guru RC. Akan tetapi peristiwa itu berlanjut sampai memunculkan korban jiwa sehingga kepolisian Kodya Surakarta pun turun tangan.
Berbaur
Keberadaan RC di Solo memberi pengaruh positif bagi masyarakat. Warga Kota Solo semakin terbuka dan bisa menerima keberadaan para difabel yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Di sisi lain, para difabel pun memiliki rasa percaya diri dan kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat sekitar.
Tahun 1960-an sebagian warga Solo terbiasa menerima difabel dari RC untuk tinggal bersama di rumah mereka dalam kurun waktu tertentu. Tinggal bersama dalam sebuah keluarga, bagi sebagian difabel bermanfaat untuk belajar kembali dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Sementara bagi keluarga di mana mereka tinggal, keberadaan difabel menumbuhkan rasa empati dan menjadi pembelajaran langsung bagi anak-anak dalam keluarga tersebut.
Tinggal bersama dalam keluarga juga menumbuhkan saling pengertian di antara difabel dan sang induk semang yang berbeda latar belakangnya.
Bagi warga, hidup bersama dengan difabel membuat mereka tak merasa ”aneh” melihat seorang difabel memasang kaki palsunya. Kegiatan yang dilakukan difabel itu tak berbeda dengan kebiasaan orang memakai kaos kaki dan sepatu untuk memulai kegiatan pada pagi hari.
Tinggal bersama dalam keluarga juga menumbuhkan saling pengertian di antara difabel dan sang induk semang yang berbeda latar belakangnya. Misalnya sang difabel berasal dari Sumatera Barat, sedangkan sang induk semang asli Surakarta. Hubungan kekeluargaan itu tetap berlanjut meskipun sang difabel sudah kembali ke kampung asalnya.
Meskipun tak memiliki anggota tubuh lengkap, pendidikan dan perawatan yang diberikan di RC membuat difabel mampu mandiri. Mereka tak hanya bisa mengurus diri sendiri, tetapi juga mendapatkan penghasilan dari usaha sendiri. Mereka tidak menjadi peminta-minta.
Sekitar awal 1970 di beberapa pasar di Solo, warga terbiasa melihat difabel menjual kupon berhadiah. Pembeli kupon yang beruntung bisa mendapat hadiah berupa piring, gelas, sabun, kain batik, sarung, petromaks, atau radio transistor. Warga biasanya berbondong-bondong memenuhi tempat penjualan kupon yang digelar beberapa orang difabel itu.
Kompas, 15 Februari 1972, mencatat, sejak tahun 1950-an perusahaan jamu di Solo menerima perempuan difabel sebagai pekerja pembungkus jamu. RC juga membentuk Koperasi Harapan sebagai badan usaha dengan 10 kios yang tersebar di berbagai lokasi di Solo. Usahanya antara lain berupa toko kelontong, rumah makan, salon, dan penjahitan.
Interaksi positif antara warga kota Solo dan difabel juga menumbuhkan ikatan kekeluargaan. Tak sedikit warga Solo yang mengambil menantu difabel. Sikap positif warga Solo membuat sebagian difabel tidak ingin kembali ke daerah asalnya. Setiap tahun, sekitar 30 persen dari difabel yang mendapatkan pelatihan kerja di RC selama 1-1,5 tahun memutuskan tetap tinggal di Solo.
Berduka
RC kehilangan pendirinya, Prof Dr R Soeharso yang meninggal dunia pada 27 Februari 1971. Begitu besar jasanya bagi para difabel, sampai-sampai Soeharso disebut sebagai ”Bapak Penderita Tjatjat Indonesia” (Kompas, 2 Maret 1971). Berkat tangan dinginnya, RC tak hanya menangani difabel yang berasal dari Pulau Jawa, tetapi juga provinsi-provinsi lain di Tanah Air.
Meskipun RC resminya berdiri tahun 1951, Soeharso sebenarnya telah merintis RC sejak 1946. Saat itu dia melihat tak sedikit orang yang kehilangan anggota tubuh karena revolusi kemerdekaan. Pada masa serba sukar karena perang berkecamuk, Soeharso membuat protese dari bahan yang ada, seperti besi rel kereta api dan aluminium dari rongsokan pesawat terbang.
Awal 1970 RC menjadi pusat rehabilitasi yang terlengkap di Asia Tenggara. Kiprah RC dalam membantu para difabel menjadikan lembaga ini mendapatkan beberapa penghargaan, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Soeharso dikenal sebagai pribadi yang bersahaja. Semangat pengorbanan untuk kepentingan sosial dan membantu orang lain dalam dirinya amat menonjol.
Sejak masa kecil, Soeharso terbiasa bekerja keras. Ini antara lain karena sejak masih belajar di tingkat sekolah dasar, sang ayahanda meninggal. Meskipun sibuk di bidang kedokteran, Soeharso masih meluangkan waktunya untuk melakukan kegiatan lain, seperti turut mengurusi pementasan sendratari Ramayana.
Berkembang
Tahun 1973 RC Prof Dr R Soeharso memiliki sekitar 150 tempat tidur, yang umumnya 80 persen di antaranya terisi. Seiring berjalannya waktu, daya tampung itu terus bertambah. Berbagai fasilitas bagi para difabel pun makin beragam, seperti Yayasan Pembinaan Olahraga dan Seni Cacat, Wisma Paraplegia, Sekolah Fisioterapi, Yayasan Shelter Workshop, dan Bhakti Nurani YPAC (Kompas, 23 Oktober 2005).
Tahun 2006 dalam usia 55 tahun, sebagian warga Solo terbiasa menyebut RSO Prof Dr R Soeharso sebagai Rumah Sakit Pabelan. Ini karena letak rumah sakit di Jalan Ahmad Yani, Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. RSO berdiri di atas lahan seluas sekitar 10 hektar.
Berbeda dengan rumah sakit umumnya, RSO tak hanya menyediakan kamar inap bagi pasien, tetapi juga menyediakan fasilitas bagi keluarga pasien.
Selain berbagai pelayanan rehabilitasi medik, RSO juga dilengkapi antara lain instalasi ortotetik dan prostetik, instalasi fisioterapi, instalasi okupasi terapi, dan instalasi psikologi. Instalasi ortotetik dan prostetik (OP) adalah pelopor pembuatan ortose dan protese yang dirintis Soeharso sejak mendirikan RC (Kompas, 2 Oktober 2006).
Berbeda dengan rumah sakit umumnya, RSO tak hanya menyediakan kamar inap bagi pasien, tetapi juga menyediakan fasilitas bagi keluarga pasien. Bahkan sejak era Reformasi bergulir, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendamping difabel dan komunitas difabel di Solo mendorong lahirnya peraturan daerah (perda) yang menjamin kehidupan difabel di kota ini.
Kompas, 3 Oktober 2008, mencatat, awal Juli 2008 perda tentang kesetaraan difabel ditetapkan. Meski sudah ada perdanya, hak-hak difabel belum sepenuhnya terpenuhi. Diperlukan perhatian dan kerja keras semua pihak agar hak-hak difabel terwujud. Jangan sampai perda itu sekadar tulisan di atas kertas.
Begitu kuatnya rasa persaudaraan di antara difabel yang pernah dirawat, belajar ataupun tinggal di RSO, maka pada 19 Februari 2014 berdiri Yayasan Keluarga Besar Penyandang Disabilitas Alumni RC Prof Dr R Soeharso. Kerja sama alumni diharapkan bisa membantu para difabel dalam menjalani kehidupannya, terutama menyangkut pekerjaan dan kesejahteraan (Kompas, 21 Februari 2014).
Berperan
Sejak tahun 1997 RSO juga menjadi rumah sakit pendidikan bagi dokter umum dan dokter ahli bedah ortopedik (Kompas, 12 Maret 2001). Ini sebagai tindak lanjut kerja sama RSO dengan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS).
Tak hanya melayani difabel yang datang ke rumah sakit, tetapi RSO juga mendatangi mereka yang memerlukan pengobatan. Ketika tsunami mendera Aceh pada akhir 2004, RSO mengirim tenaga ahli, protese, dan psikolog ke Banda Aceh (Kompas, 20 Maret 2005).
Tahun 2006 ketika gempa melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah, RSO menerima 525 korban. Sementara daya tampung RSO hanya 178 orang. Jadilah ruang gimnasium, ruang okupasi terapi, ruang fisioterapi, dan ruang lainnya di RSO dijadikan ruang inap para pasien. Para dokter dan tenaga paramedis RSO nyaris bekerja 24 jam demi menyelamatkan korban gempa.
Ketika itu dokter ahli bedah tulang di RSO hanya 5 orang. Padahal, banyak korban gempa menderita patah tulang belakang dan berisiko lumpuh. Mereka mendapat bantuan sejumlah dokter dari Surabaya, Jakarta, dan Makassar (Kompas, 30 Mei 2006). Tugas dokter dan tenaga paramedis tak hanya mengobati luka fisik, tetapi juga membangun rasa percaya diri pasien.
”Pasien trauma bukan hanya memikirkan sakitnya, melainkan nasibnya setelah keluar dari rumah sakit karena rumah mereka rata tanah. Banyak pasien yang sudah dioperasi tidak tahu mau pulang ke mana karena semua keluarganya terkena bencana,” kata Mursid Effendi, Kepala Instalasi Psikologi RSO Prof Dr R Soeharso (Kompas, 3 Juni 2006).
RSO juga menurunkan Unit Rehabilitasi Ortopedi Keliling (UROK) ke lokasi gempa pascaperawatan di rumah sakit, seperti ke Klaten, Bantul, dan Prambanan (Kompas, 8 Juni 2006). Selain memberikan perawatan lanjutan kepada pasien yang telah kembali pulang, mereka juga mendampingi pasien yang lumpuh untuk menjalani kehidupan yang berbeda dari sebelumnya (Kompas, 10 Juni 2006, 29 Juni 2006, dan 2 Oktober 2006).
Ketika terjadi gempa di Sumatera Barat pada 2009, RSO juga mengirimkan sejumlah bantuan alat kesehatan. Bekerja sama dengan Handicap International, RSO mengirimkan antara lain kruk, korset keras penguat badan, korset penguat bagian panggul, dan tenaga kesehatan (Kompas, 17 Oktober 2009).
Berbenah
Di sisi lain, efisiensi dan efektivitas kegiatan operasional RSO juga dibenahi. Kompas, 3 Desember 2013, mencatat, RSO Prof Dr R Soeharso menerapkan teknologi informasi secara mandiri sehingga bisa berhemat hingga Rp 3 miliar per tahun. Aplikasinya antara lain untuk informasi kamar rawat inap, pendaftaran pasien, pembayaran, dan laporan keuangan.
Berbagai lembaga yang berada di bawah RSO Prof Dr R Soeharso pun berkembang (Kompas, 3 Oktober 2008). Misalnya, Pusat Pengembangan Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (PPRBM), Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD), Badan Pembinaan Olahraga Cacat (BPOC) yang berperan sebagai lembaga olahraga bagi difabel, dan Yayasan Sheltered Workshop (YSW).
Keberadaan RSO dan lembaga-lembaga tersebut menjadikan jejak perjuangan difabel di Solo tetap terlihat sampai sekarang. Apabila dihitung dari kiprah Soeharso membentuk RC mulai tahun 1946 (RC Surakarta resmi berdiri tahun 1951), berarti usia RSO Prof Dr R Soeharso kini sudah 72 tahun.
Rentang usia yang panjang telah membuktikan bahwa rumah sakit ini pantas menjadi rujukan nasional yang berstandar internasional. Semoga Solo bisa mewujudkan diri sebagai kota yang ramah bagi difabel, tidak hanya karena berkaitan dengan sejarah awal berdirinya RSO Prof Dr R Soeharso.