”Kita tidak dapat menghilangkan semua teroris. Kita tidak dapat menghilangkan penyakit. Kita tidak bisa menghentikan angin topan, kita tidak bisa menghentikan tornado. Kita menerima bahwa dalam hidup ini begitu banyak risiko: kecelakaan mobil dan sebagainya. [Terorisme] adalah risiko yang dapat dikelola. Ini adalah realitas abad ke-21 — yang menjadi kenyataan di setiap abad lainnya —bahwa kita akan memiliki [serangan] ini dengan frekuensi yang semakin meningkat,” kata Stephen Flynn, ahli keamanan nasional di Northeastern University, Amerika Serikat (theatlantic.com, 15 Agustus 2016).
Flynn sangat realistis dan rasional. Dan pandangan seperti itu dapat menuntun kita untuk memahami lebih fokus untuk menanggulangi kejahatan terorisme. Kejahatan, apa pun jenisnya, tidak pernah dimusnahkan dari muka Bumi. Apalagi terorisme, yang tumbuh dalam konteks sosial-politik (diskriminasi, kemiskinan, ketidaksetaraan, penaklukan, rebutan sumber daya alam dan energi, globalisasi), hingga teks-teks ideologis (agama, fundamentalisme).
Bertemunya konteks sosial-politik dan teks ideologis membuat motif teror bahkan melampaui rasa keberanian. Kematian lewat bom bunuh diri bukan lagi sebagai ekspresi keberanian, melainkan sebagai tujuan. Dalam kasus-kasus teror bom bunuh diri di Surabaya makin memperkuat sinyalemen bahwa kematian lewat jalan bom bunuh diri bukan lagi sekadar ”cara”, melainkan menjadi ”tujuan”. Mereka tidak lagi berani mati, tetapi juga berniat mati. Padahal, kehidupan dunia ini merupakan ladang yang begitu berlimpah untuk berbuat kebajikan dan memberi kontribusi bagi kehidupan umat manusia.
Dan, terorisme tidak lagi dibayangkan sebagai jaringan terorganisasi khusus yang tersembunyi di lubang jarum, tetapi ia berada di dekat kita, di tengah-tengah masyarakat. Setelah aksi bom bunuh diri di Surabaya, polisi Densus 88 menangkapi sejumlah terduga teroris di berbagai tempat: Surabaya, Pasuruan, Sidoarjo, Malang, Temanggung, Banyumas, Sukabumi, Cianjur, Depok, Bekasi, Tangerang, Bandar Lampung, dan Mimika. Fakta itu memberi pesan bahwa jaringan terorisme sudah meluas dan menyebar di Tanah Air. Tipikal sebagai individu yang eksklusif dan beringas nyaris tak tergambarkan.
Mereka bahkan semakin solid dalam lingkungan keluarga. Karena keluarga merupakan ikatan yang paling kuat rasa saling percayanya. Dalam aksi bom bunuh diri di Surabaya, terbukti bahwa keluarga-keluarga telah berbagi peran sebagai bom bunuh diri. Keluarga menjadi rantai aktor yang sangat penting. Misalnya, paling terkenal jaringan keluarga Haqqani di Afghanistan. Jaringan ini menguasasi Waziristan, wilayah kesukuan Pakistan; dan menjadi kekuatan tempur efektif di kawasan itu yang begitu berani menyerang personel dan fasilitas Amerika Serikat (Institute for the Study of War, 2010).
Aksi teror dalam dua pekan ini telah merobek hati bangsa ini, meninggalkan luka yang dalam. Kohesi bangsa pun terancam, yang bisa jadi dapat melemahkan daya tahan bangsa ini. Terlebih lagi, daya tahan bangsa ini dalam beberapa tahun terakhir tidak begitu tangguh. Indeks ketahanan nasional yang dikeluarkan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), sepanjang 2010-2016 rata-rata pada kategori ”cukup tangguh”. Artinya, elastisitas atau daya lenting bangsa pada kondisi cukup memadai, tetapi perlu diperbaiki agar stabilitas dan integrasi bangsa tidak lemah. Bahkan, indeks gatra ideologi tergolong memprihatinkan karena dalam rentang tujuh tahun itu dinilai ”kurang tangguh”. Ini artinya ketangguhan bangsa lemah meskipun dalam jangka pendek dapat bertahan. Apabila tak diperbaiki secara jangka panjang stabilitas nasional bisa goyah.
Lalu, apa langkah yang harus dilakukan? Pertama, pemberantasan terorisme tetap dalam kerangka penegakan hukum. Undang-undang Terorisme bukan cuma menjamin tiadanya pelanggaran HAM dalam penegakan hukum, melainkan harus lebih melindungi keselamatan bangsa ini. Semakin lama DPR dan pemerintah abai terhadap UU itu, berarti penanggulangan terorisme semakin rapuh Kedua, merajut kembali nilai-nilai keindonesiaan, yang plural, multikultur, dan bersatu. Ini artinya pikiran dan sikap intoleran, sektarian mesti dibalikkan menjadi pikiran dan sikap kebersamaan, bahkan dari lingkungan terkecil keluarga. Berbagai organisasi atau kelompok yang dianggap melenceng dari garis Pancasila dan NKRI mesti diingatkan sekaligus dirangkul.
Ketiga, meskipun kedengarannya klasik dan usang, memperkecil jurang pemisah sosial-ekonomi dapat menjaga harmoni bangsa ini. Keempat, elite politik tidak perlu mengumbar nafsu kuasa yang tidak demokratis. Politikus jangan terus-menerus mengagitasi dan memanas-manasi panggung politik. Polarisasi politik yang ekstrem dapat menjadi facilitating context mengerasnya pikiran radikal. Sudah terbukti politik identitas pun tumbuh subur di arena pilkada. Ketika energi terkonsentrasi pada perebutan kekuasaan Pilpres 2019, misalnya, ancaman terorisme barangkali terabaikan. Inilah ancaman nyata yang membuat daya tahan bangsa goyah.