JAKARTA, KOMPAS — Badan Intelijen Negara melakukan antisipasi ancaman teror seusai tuntutan hukuman mati pendiri kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah atau JAD, Aman Abdurrahman. Selain itu, kondisi global, khususnya pergerakan di Timur Tengah, membuat eskalasi ancaman teror di Indonesia belum mereda.
Direktur Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto menjelaskan, masih ada potensi ancaman teror seusai tuntutan hukuman mati terhadap Aman. ”Kemungkinan itu masih ada, tetapi harus diantisipasi dan dilakukan upaya minimalisir serta ruang geraknya juga dipersempit,” katanya dalam acara diskusi ”Never Ending Terorist” di Jakarta, Sabtu (19/5/2018).
Senada dengan Wawan, mantan terpidana teroris Yudi Zulfachri menjelaskan, ancaman teror pascatuntutan tersebut masih ada karena Aman merupakan petinggi JAD yang masih memiliki sejumlah pengikut. Yudi merupakan mantan terpidana teroris yang terlibat dalam kegiatan pelatihan militer di Gunung Bun, Aceh, dan ditangkap pada 2010.
”Namun, untuk potensi daerah ancamannya saya tidak mengetahui. Namun, sebaiknya hal ini bisa diantisipasi oleh pemerintah,” ucapnya.
Sebelumnya, Aman Abdurrahman dituntut hukuman mati oleh jaksa, Jumat (18/5/2018), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Aman dianggap ada di balik empat serangan teror selama 2016-2017.
Dari sejumlah keterangan saksi, tulisan dan ceramah Aman menjadi dasar terpidana terorisme dan pelaku teror melakukan empat aksi teror, yaitu bom Thamrin, Jakarta (Januari 2016); bom di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur (November 2016); bom Kampung Melayu, Jakarta (Mei 2017); serta penyerangan Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Juni 2017).
Wawan mengatakan, ada atau tidak adanya tuntutan ini, eskalasi ancaman teror di Indonesia memang masih ada. Menurut dia, eskalasi ini dipengaruhi oleh kondisi global, khususnya pergerakan di Timur Tengah.
”Sudah ada perintah dari pimpinan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) kepada para pengikutnya untuk melakukan serangan di negara asalnya,” katanya.
Wawan mengatakan, Komando Operasi Khusus Gabungan Tentara Nasional Indonesia diharapkan bisa mengantisipasi hal ini. Ia menjelaskan, operasi gabungan ini bersifat sementara hingga kondisi di Indonesia bisa dinyatakan aman.
Yudi mengatakan, saat ini upaya deradikalisasi yang dilakukan pemerintah masih belum efektif. Menurut Yudi, pemerintah perlu melibatkan sejumlah ormas atau mantan narapidana teroris yang dirasa dapat mengubah ideologi para anggota kelompok radikal tersebut.
”Para anggota kelompok radikal ini menerima ideologi lain di luar kelompok yang mereka anggap musuh atau tidak sepaham dengannya. Oleh sebab itu, pelibatan ormas dan mantan terpidana teroris ini diperlukan agar bisa diterima oleh para kelompok radikal ini,” katanya.
Bantah kecolongan
Wawan menjelaskan, BIN tidak kecelongon terkait serangkaian serangan teror, mulai dari Mako Brimob, bom Surabaya, hingga sejumlah serangan di kantor kepolisian. Ia mengatakan, pergerakan para jaringan ini sebenarnya sudah diawasi oleh BIN.
”Namum, pergerakan kita terbatas oleh UU No 15 Tahun 2003 tentang teroris. Dalam UU ini, aparat tidak diizinkan untuk menangkap jika belum ada tindakan yang dilakukan oleh para terduga teroris sehingga baru bisa bergerak jika sudah ada korban. Oleh sebab itu, RUU antiterorisme ini perlu segera disahkan,” ucapnya.
Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme di DPR Supiadin Aries Saputra menjelaskan, RUU ini kemungkinan disepakati pada 23 Mei nanti. Menurut dia, saat ini hanya tinggal pembahasan terkait definisi terorisme. Supiadin berharap, setelah RUU ini disepakati, pemerintah bisa segera membuat peraturan turunan seperti perpres.
Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan, aksi terorisme berkembang di Indonesia karena intoleransi masih mendapat momentum yang kondusif dalam proses elektoral.
Hal itu semakin diperkuat oleh sejumlah elite parpol yang menggunakan politik identitas hingga ujaran kebencian untuk sejumlah kepentingan.