Alissa Wahid: Perbanyak Perjumpaan untuk Kurangi Radikalisme
MAGELANG, KOMPAS — Memperkuat intensitas perjumpaan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang memang tidak mungkin menggoyahkan pendirian mereka yang telanjur membatasi diri untuk melakukan gerakan eksklusivisme berdasar agama. Namun, pertemuan itu tetap penting untuk menyelamatkan masyarakat dari eksklusivisme, paham yang umumnya menjadi awal radikalisme.
”Pada masa kini, penguatan perjumpaan adalah upaya yang mendesak dilakukan untuk melawan dorongan-dorongan dari beberapa kelompok tertentu, yang saat ini banyak memunculkan ide untuk hidup terpisah dan eksklusif,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid saat ditemui dalam sebuah acara di Desa Wonokerso, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (19/5/2018) malam.
Gerakan eksklusivisme agama tidak hanya tumbuh di Indonesia, tetapi juga merebak di negara-negara lain. Selain pengaruh globalisasi, juga faktor migrasi warga dari suatu negara ke negara. ”Khusus di Indonesia, hal ini juga terjadi karena kondisi belum sepenuhnya sejahtera,” ujar Alissa.
”Di tengah kondisi bangsa yang belum sepenuhnya sejahtera tersebut, setiap orang hanya memikirkan bagaimana dia dan kelompoknya bisa bertahan hidup. Mereka melupakan orang lain, melupakan kenyataan bahwa orang-orang di luar kelompoknya adalah warga sebangsa,” ujarnya.
Gerakan eksklusivisme agama, menurut Alissa, memang tidak bisa disebut sebagai gerakan teroris. Namun, gerakan ini menyuburkan perkembangan paham radikal, yang nantinya juga berpotensi naik level menjadi gerakan terorisme.
Mengingat bahayanya tersebut, Alissa pun mengingatkan pentingnya beragam acara perjumpaan, pertemuan banyak orang dari berbagai latar belakang. Pertemuan, perjumpaan yang banyak dilakukan orang dewasa tersebut, nantinya akan mendorong suasana kehidupan yang lebih baik dalam keluarga.
Upaya ini, menurut dia, sekaligus akan menyelamatkan anak-anak dalam keluarga agar tidak terdoktrin paham sesat dan tidak dilibatkan dalam aksi terorisme, seperti yang dilakukan pelaku bom di Surabaya, Jawa Timur.
Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko mengatakan, untuk menyelamatkan anak-anak dan orangtuanya, masyarakat sekitar pun seharusnya bersikap lebih peduli, mengajak mereka untuk terlibat dalam pergaulan yang seluas-luasnya.
Anak-anak, menurut dia, sepatutnya menjadi perhatian karena mereka, terutama yang di bawah usia belasan tahun, cepat menyerap segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya.
”Untuk menyelamatkan anak-anak, sebisa mungkin bantulah mereka agar bisa kaya informasi dan tidak melulu mendengar atau melihat hal-hal dari satu sumber atau dari orangtuanya saja,” ujarnya.
Rubiyatmoko mengatakan, pascapeledakan bom di Surabaya, dia meminta umat Katolik untuk bersikap berani mengampuni, membangun sikap damai dalam diri masing-masing. Rasa damai dari diri pribadi inilah yang nantinya dapat berkembang menjadi kedamaian bagi semua orang di lingkungan sekitarnya.
Terus menebar kasih
Di Ambon, Uskup Diosis Amboina MGR PC Mandagi MSC meminta semua umat Katolik di Maluku agar tak henti menebar kasih dan pengampunan kepada semua orang di tengah negara yang sedang diguncang aksi terorisme. Jangan ada rasa saling curiga dengan menyamakan terorisme dengan agama tertentu.
Hal itu disampaikan Mandagi dalam khotbahnya saat memimpin perayaan ekaristi di Katedral Santo Fransiskus Xaverius Ambon, Minggu (20/5/2018). Dalam kesempatan yang dihadiri lebih dari 1.000 umat itu, Mandagi cukup banyak membicarakan tentang kekerasan atas nama agama.
Menurut Mandagi, kejadian bom di Surabaya yang menimpa umat Kristiani itu jangan sampai membuat umat Kristiani menaruh dendam kepada golongan tertentu. Umat harus terus memberi kebaikan dan pengampunan kepada semua orang, seperti keluarga korban yang telah mengampuni pelaku teror.
”Memang tidak gampang mengampuni. Itu bisa terjadi karena kerja Roh Kudus di dalam diri. Biarkan diri kini mengikuti keinginan-keinginan roh,” ujarnya. Perayaan ekaristi pada Minggu kemarin diperingati sebagai Hari Pentakosta atau turunnya roh kudus ke atas murid-murid Yesus.
Kejadian bom di Surabaya merupakan tragedi kemanusiaan yang tidak hanya melukai hati umat Kristiani, tetapi juga hati semua manusia. ”Lihat banyak orang Muslim yang datang membawa bunga dan menyampaikan rasa dukacita mereka. Ini harus dilihat semua umat,” kata Mandagi.
Pada kesempatan itu, Mandagi juga menyampaikan terima kasih kepada aparat keamanan yang telah menjaga sejumlah gereja di Ambon. Dari pantauan Kompas, selain Katedral, pengamanan juga dilakukan di Gereja Kristen Protestan Maluku (GPM) Maranatha dan GPM Silo. Aparat yang berjaga dibekali dengan senjata laras panjang dan rompi antipeluru.
Kepala Kepolisian Daerah Maluku Inspektur Jenderal Andap Budhi Revianto mengatakan, pengamanan di gereja masih terus berlangsung hingga batas waktu yang belum ditentukan. Hingga kini, Polda Maluku masih memberlakukan status kewaspadaan Siaga 1. ”Kami ingin umat beribadah tanpa rasa takut,” ujarnya.
Penolakan terorisme di Kalbar
Masyarakat di Kalimantan Barat sepakat menolak terorisme atau kejahatan kemanusiaan. Sebab, hal itu selain melukai kemanusiaan, juga dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal itu dikemukakan dalam deklarasi antiterorisme saat pembukaan Pekan Gawai Dayak XXXIII di Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu (20/5/2018). Gawai Dayak adalah pesta syukuran masyarakat Dayak sehabis panen. Gawai Dayak setiap tahun diselenggarakan dan masuk dalam kalender pariwisata Kalbar.
Ketua Panitia Pekan Gawai Dayak XXXIII Andreas Lani saat membacakan deklarasi tersebut, Minggu, mengatakan, beberapa waktu lalu terjadi aksi teror bom di sejumlah gereja di Surabaya, Jawa Timur. Selain itu, penyerangan di Markas Kepolisian Daerah Riau.
”Aksi-aksi tersebut melukai kemanusiaan. Kami mengutuk sejumlah teror yang terjadi di sejumlah tempat itu. Hal itu dapat merusak persatuan dan kesatuan. Maka, terorisme harus diberantas,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya mendukung pemberantasan terorisme yang dilakukan TNI dan Polri. Dengan pemberantasan terorisme, diharapkan masyarakat tetap dapat hidup saling berdampingan dan tidak ada kecurigaan satu sama lain.
Tak hanya itu, deklarasi itu juga menolak berita hoaks. Di media sosial sering terjadi saling serang satu sama lain hanya karena berbeda pendapat. Hal-hal yang provokatif di media sosial hendaknya dihalau bersama-sama.
Presiden Majelis Adat Dayak Nasional Cornelis juga meminta kepada masyarakat mewaspadai terorisme. Apabila ada orang yang mencurigakan di lingkungan, segera laporkan kepada pihak berwajib.
Cornelis juga mengingatkan masyarakat untuk hati-hati menyikapi media sosial. Jangan gunakan media sosial untuk menebar kebencian. Jangan sampai ada lagi yang melakukan ujaran kebencian melalui media sosial.
Penjabat Gubernur Kalbar Dodi Riyadmadji mengatakan, melalui acara tersebut diharapkan bisa menjaga keharmonisan. Nilai-nilai luhur yang ada dalam tradisi menjadi tuntunan dalam mengantisipasi berbagai pengaruh buruk dari luar.
”Jadikanlah budaya sebagai media dalam pembangunan karakter bangsa. Selain itu, melalui acara ini, menjadi wadah pengembangan budaya bangsa. Hal ini sejalan dengan kepedulian pemerintah kepada budaya,” kata Dodi.