Melihat dengan Rasa, Bermimpi dengan Persepsi
Matahari tenggelam satu jam lalu. Aris Yohannes Elean (33) dan Jejen Nurjen (26) berjalan beriringan, Aris di depan sambil menggunakan tongkat dan Jejen dibelakang memegang tangan Aris. Mereka berdua hendak pulang setelah mengikuti pelatihan pemrograman komputer di Kantor Yayasan Mitra Netra (YMN), Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Meski Aris dan Jejen tak bisa melihat sama sekali, mereka tak butuh bantuan orang lain untuk bepergian. Pergi pulang ke kantor YMN, bekerja, atau kuliah di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, semua dilakukan mandiri. Demikian pula saat menggunakan angkutan umum atau transportasi daring.
“Untuk mengenali tempat atau memandu perjalanan, kami mengoptimalkan semua indera yang bisa digunakan kecuali indera penglihatan,” kata Jejen, Minggu (18/3/2018). Identifikasi tempat itu bisa dilakukan menggunakan suara, aroma, hingga perasaan.
Suara di dalam dan di luar ruang berbeda. Bau dinding, lantai, tempat lembab, tempat yang banyak buku hingga tempat baru atau lama juga tak sama. Untuk tempat-tempat yang sering dikunjungi, mereka terbiasa menggunakan perasaan yang lama-lama tertanam di dalam otak.
Keberadaan sebuah benda di dekat mereka juga bisa dikenali dari perubahan kerapatan atau aliran udara yang mengenai kulit. Sedangkan untuk memastikan keberadaan benda-benda yang bisa menghalangi jalan, terkadang mereka mengeluarkan suara tok...tok... dari mulutnya.
Suara itu dikeluarkan guna mendapat pantulan suaranya. Ada atau tidaknya gema yang muncul dari tindakan itu jadi penanda untuk waspada. Jika ada gema, itu berarti ada benda di dekatnya. Namun jika tak adanya gema, bisa jadi ada lorong atau got di depan.
Kemampuan mengenali benda atau tempat menggunakan gema itu disebut echolocation atau biosonar. Kemampuan echolocation itu menurut ahli ilmu saraf Universitas Durham Inggris Lore Thaler seperti dikutip dari BBC, 28 Februari 2018, juga dimiliki binatang malam seperti kelelawar untuk terbang malam dengan aman dan selamat.
Kemampuan penyandang tunanetra untuk menavigasi perjalanan tanpa menggunakan mata itulah yang sering tak dipahami mereka yang bisa melihat. Akibatnya, Aris sering disangka pengemudi transportasi daring memiliki \'kesaktian\' karena bisa memandu sopir untuk memilih rute perjalanan ke tempat-tempat yang sudah dikenalinya.
Namun, tak selamanya indera non-penglihatan mereka berfungsi baik, khususnya saat kurang konsentrasi atau ada di tempat bising. Untuk mewaspadai itu atau saat berada di tempat yang benar-benar baru, mereka akan mengandalkan tongkat untuk memandu perjalanan.
“Jika ada lubang atau benda, maka tongkatlah yang terlebih dulu masuk lubang atau menabrak benda,” tambah Jejen.
Cantik
Tak hanya mendeteksi keberadaan benda atau tempat, penyandang tunanetra juga bisa memperkirakan cantik tidaknya lawan bicara mereka. Tentu kriteria cantik itu sangat personal.
Menurut Aris, dia menilai kecantikan seseorang dari suaranya. Namun, perkiraan itu sering tak akurat. "Saat menjabat tangannya, saya bisa yakin dia benar-benar cantik atau tidak," tambahnya sambil tertawa.
Berbagai kemampuan penyandang tunanetra untuk mengenali tempat, suara, atau benda itu memang bisa dipelajari. Namun, cepat lambatnya keterampilan orientasi mobilitas itu dikuasai ditentukan banyak hal, mulai dari usia awal kebutaan, penerimaan kondisi mereka, hingga dukungan keluarga dan masyarakat.
“Jika penolakan atas kondisi itu (tidak bisa melihat) terus terjadi, proses orientasi mobilitas akan makin lama, bisa bertahun-tahun,” kata Suryo Pramono (36), penyandang tunanetra lain yang tidak bisa melihat saat berumur 19 tahun akibat glaukoma.
Mereka yang tak bisa melihat saat usia dewasa akan punya tantangan psikologi lebih besar dibanding yang tak bisa melihat sejak lahir. Perasaan malu atau disembunyikan keluarga karena dianggap aib akan menambah beban mereka.
Belum lagi sikap sebagian masyarakat yang sering kurang peduli dengan penyandang tunanetra akibat ketaktahuan mereka. Kebutaan memiliki rentang cukup panjang, mulai dari low vision atau kemampuan melihat yang terbatas hingga buta total. Selain itu, banyak mereka yang tak bisa melihat memiliki bola mata layaknya orang biasa yang bisa melihat.
"Kekurangtahuan masyarakat itu membuat mereka yang tak bisa melihat seringkali dituduh berbohong saat meminta bantuan masyarakat," kata Jejen.
Kini, hadirnya teknologi informasi memberi banyak kemudahan baru bagi penyandang tunanetra. Berbagai aplikasi mulai dari pembaca layar komputer atau telepon pintar, buku elektronik, pembaca warna dan pembaca uang, membuka kesempatan besar bagi mereka untuk bisa maju dan berkiprah sama seperti mereka yang tak punya keterbatasan.
Bermimpi
Jika saat terjaga dalam kehidupan sehari-hari penyandang tunanetra tak bisa melihat, dalam mimpi pun sebagian besar diantara mereka tetap tak bisa melihat wajah, khususnya mereka yang buta sejak lahir atau dari kecil.
Bagi Jejen yang tak bisa melihat sejak lahir, dia sama sekali tak pernah melihat wajah orang dalam mimpi. Sedang Aris yang tak bisa melihat sejak umur 4 tahun akibat glaukoma, ingatannya tentang wajah seseorang pun sudah hilang.
"Sudah tidak pernah bermimpi melihat wajah ibu dan bapak lagi," kata Aris.
Sementara itu, mereka yang masih bisa melihat wajah dalam mimpi umumnya buta saat dewasa. "Namun, kemampuan melihat wajah orang-orang yang dulu pernah dilihat akan turun seiring bertambahnya waktu," kata Suryo. Sedang gambaran wajah orang-orang baru yang dikenali saat sudah tak bisa melihat, sangat bergantung pada persepsi.
Sama seperti orang yang bisa melihat, mimpi penyandang tunanetra juga didasarkan atas pengalaman yang mereka rasakan dan terekam dalam memori. Namun karena tak bisa melihat, mimpi itu bertumpu pada pengalaman indera non-penglihatan, seperti pendengaran atau perasa.
"Semua yang dilihat dimimpi didasarkan atas persepsi mereka," tambah Suryo. Persepsi itu secara mudah digambarkan dengan penyandang tunanetra yang diminta mendefinisikan gajah sesuai rabaannya. Karena itu, walau tak bisa melihat, mereka yang tak bisa melihat tetap bisa bermimpi berlari kencang atau jadi pembalap Formula 1, tentu degan persepsi mereka.
Pentingnya membangun persepsi yang benar itu membuat penyandang tunanetra harus dikenalkan dengan lingkungan dan benda-benda disekitarnya.
Amani Meaidi dari BRAINlab Depatemen Ilmu Saraf dan Farmakologi, Universitas Kopenhagen, Denmark, dkk dalam jurnal Sleep Medicine, Mei 2014 menulis, kebutaan mengubah susunan sensor mimpi seseorang. Kondisi, frekuensi, dan durasi mimpi itu sangat bergantung pada usia atau lama kebutaan.
Mereka yang tak bisa melihat lebih jarang bermimpi. Makin lama mereka mengalami kebutaan, makin jarang mereka bermimpi, durasi makin pendek, serta makin kurang jelas dan makin buruk kualitas konten visual mimpinya.
Sementara mereka yang buta sejak lahir, mimpinya lebih banyak terkait dengan pengalaman indera pendengaran, perasa, pengecap dan penciuman. Sedang mereka yang tidak bisa melihat belakangan, mimpinya lebih banyak terakit dengan pengalaman sentuhan.
Namun, mereka yang buta sejak lahir mengaku lebih sering bermimpi buruk dan interaksi agresif akibatnya banyaknya pengalaman ancaman dan kecemasan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih, mereka yang tak bisa melihat juga lebih sulit melupakan ketakutan-ketakutan kecil hingga berubah jadi mimpi buruk.
“Mimpi buruk yang dialami seseorang itu berkaitan dengan pengalaman mereka saat terjaga,” tambah Meaidi seperti dikutip medicaldaily.com, 8 Oktober 2014. Meski demikian, mereka yang tak bisa melihat itu justru menganggap mimpi buruknya sebagai hal normal dari pengalaman tidur mereka. (M ZAID WAHYUDI)