Sejak merebaknya rencana aksi long march mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan ke Monumen Nasional di depan Istana Presiden terkait Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998, ribuan prajurit Tentara Nasional Indonesia dengan senjata siap menyalak bersiaga di seputar Kompleks Istana Jakarta. Kawat berduri dibentangkan mengitari Kompleks Istana. Kendaraan tempur lapis baja juga siaga di perempatan Menteng, Pasar Baru, Air Mancur Bank Indonesia, dan Harmoni.
Pagi itu hampir tak terlihat warga sipil berlalu lalang. Suasana Jakarta kala itu mencekam. Asap sisa kebakaran dan gedung hangus masih ada di beberapa sudut Ibu Kota. Beberapa hari sebelumnya, kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan terjadi.
Huru-hara merebak setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak saat berunjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur. Desakan mundur dan tuntutan Sidang Istimewa MPR muncul sejak Rektor Universitas Indonesia dan sejumlah dekan UI menemui Presiden Soeharto terkait suksesi pemerintahan. Juga tuntutan sejumlah kalangan di DPR.
Sejak insiden itu, hampir tak ada aktivitas di Jakarta, tak terkecuali para pegawai Sekretariat Presiden dan Sekretariat Negara. Hanya sedikit pegawai yang berhasil mencapai Kompleks Istana untuk bekerja. Salah satunya pegawai bagian Dokumentasi dan Media Massa (Dokmas) Sekretariat Negara, sebut saja Umar. Ia harus berjalan kaki menerobos barikade tentara, dari Air Mancur Indosat hingga Kompleks Istana. Umar berhasil tiba ke Istana setelah atasannya menelepon Panglima Kodam Jaya (saat itu) Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin agar sejumlah pegawai Setneg bisa masuk.
Hari itu, Kamis (21/5/1998), Kompleks Istana lebih sepi dari biasanya. Para pegawai yang bekerja terpaksa menginap karena terjebak tak bisa pulang sejak huru-hara terjadi. Salah satunya Haryanto, pegawai bagian Dokmas yang menginap bersama pegawai dan wartawan di Gedung II Setneg. Pegawai lain yang juga tetap bekerja adalah Ade Wahyuni Saptantina, pegawai Istana bidang jamuan dan pengelolaan Istana 1983-2016. Pagi itu, ia melaksanakan tugasnya mengecek Istana Merdeka agar siap untuk acara, terutama pada benda-benda seni.
Seorang petugas protokol Presiden, sebut saja Amir, hanya tahu bahwa pagi itu akan ada acara penting. ”Saya bersama beberapa rekan mengangkat podium ke ruang kredensial Istana Merdeka sebelum Presiden berpidato,” tuturnya, Jumat (18/5/2018). Setelah itu, dia dan rekannya diminta keluar.
Hari bersejarah
Tak ada yang menyangka hari itu menjadi hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. ”Saya hanya dengar isu saja Presiden mundur,” kata Amir tentang isu akan mundurnya Soeharto. Ade hanya melihat ada sesuatu berbeda dari biasanya. Orang-orang Istana mengawali pagi itu dengan muka tegang. Ketegangan salah satunya tergambar dari Guru Besar UI, yang sering dimintai pendapat oleh Presiden Soeharto, Yusril Ihza Mahendra.
Sementara Haryanto hanya tahu agenda Presiden Soeharto hari itu menerima sejumlah tamu di Istana Merdeka. Kebetulan, Presiden tengah menyusun Kabinet Reformasi yang direncanakan diumumkan sehari sebelumnya. Namun, rilis kabinet baru batal.
Pejabat yang pertama datang adalah Wakil Presiden BJ Habibie. Ia tiba di halaman samping Istana Merdeka dengan Mercedes-Benz hitam B-2 sekitar pukul 08.25. Lima menit kemudian, baru Presiden Soeharto dan putri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana alias mbak Tutut. Keduanya menumpang mobil bernomor polisi B-1. Meskipun mbak Tutut waktu itu Menteri Sosial, dia tak lagi memakai pin Nayaka anggota kabinet.
Tak lama muncul pula Ketua MPR/DPR Harmoko beserta empat Wakil Ketua, yakni Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Ismail Hasan Metareum. Selain itu, juga Sekjen DPR Afif Ma’roef.
Beberapa menteri Kabinet Pembangunan VII juga hadir, antara lain Menteri Kehakiman Muladi, Menteri Setneg Saadilah Mursjid, dan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Mereka sempat berkumpul di Ruang Jepara, Istana Merdeka. Di ruang itulah Presiden Soeharto membacakan rumusan pidato, meminta persetujuan.
Pertanyaan di benak para pegawai Istana baru terjawab sekitar pukul 09.00, saat Presiden Soeharto pidato menyatakan berhenti dari jabatannya. ”Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan serta keberlangsungan pembangunan, rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII hingga hari ini tak terwujud karena tak adanya tanggapan...,” kata Presiden memberi alasan.
Acara yang disiarkan langsung televisi itu disambut sorak-sorai di berbagai penjuru negeri. Namun, Kompleks Istana langsung sepi begitu Soeharto menyerahkan kepemimpinannya kepada Habibie. Setelah pelantikan Habibie, Soeharto langsung keluar Istana dan dituntun putrinya. Mobilnya tak lagi B-1, tetapi B 2044 AR. Mata Soeharto sempat beradu dengan mata petugas protokol yang tahunan mengurusnya sebelum masuk mobil.
Penyerahan kekuasaan telah berlangsung. Tak ada pisah sambut hangat antara Soeharto dan Habibie. ”Pak Harto memberi salam kepada semua yang hadir termasuk saya. Tanpa senyum maupun sepatah kata, ia meninggalkan ruangan upacara,” kata Habibie dalam Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (THC Mandiri, 2006).
Habibie pun tak mengira peristiwa itu terjadi. Kekagetan Habibie terjadi pada malam harinya saat menerima kabar dari Menteri Setneg Saadilah Mursyid bahwa esok pagi Pak Harto akan berhenti sebagai Presiden. Kesunyian Istana sepertinya sama dengan sunyi yang dirasakan Soeharto. Ia didesak mundur mahasiswa dan ditinggalkan para pembantunya di kabinetnya. Lengsernya Soeharto semestinya jadikan pelajaran. Sebagai pemimpin seyogianya mencegah ekonomi memburuk, tidak menyepelekan melambungnya harga-harga, dan tak menutup mata pada ketimpangan, apalagi mengabaikan suara rakyat.