Sistem Pemberangkatan TKI Perlu Dibenahi
JAKARTA, KOMPAS — Perlu ada perbaikan sistem pada pemberangkatan tenaga kerja Indonesia untuk mengatasi praktik percaloan dalam proses pembuatan paspor TKI. Perbaikan itu harus menjamin biaya keberangkatan TKI tak lagi dibebani imbalan untuk calo. TKI dapat aktif mengurus keberangkatannya sehingga tak ada lagi campur tangan calo.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 sebagai pengganti UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI itu perlu menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pemberangkatan TKI. Salah satu amanat UU itu adalah membebaskan TKI dari biaya keberangkatannya ke luar negeri.
Hingga kini, akibat keterbatasan pengetahuan, sebagian besar calon TKI menyerahkan pengurusan dokumen keberangkatannya keluar negeri kepada sponsor atau calo, kepanjangan tangan perusahaan tenaga kerja Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).
Baca juga: Eksploitasi TKI sejak Membuat Paspor
Sosialisasi dan pelayanan yang diberikan pemerintah kepada TKI pun terasa masih minim, tak sebanding dengan kontribusi remitansi TKI selama tujuh tahun terakhir yang terus merangkak naik, dari 6,7 miliar dollar AS pada 2011 menjadi 8,7 miliar dollar AS pada 2017.
Eva (23), calon TKI dari Desa Trisi, Indramayu, Jawa Barat, ini bertanya-tanya terkait proses pembuatan paspor saat menunggu proses pembuatan paspor di Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) Indramayu, Kamis (3/5/2018). Eva tak pernah diberi tahu oleh perusahaan yang akan menyalurkannya bekerja di Singapura bahwa LTSA itu dapat menerbitkan paspor.
LTSA merupakan layanan yang disediakan pemerintah untuk mengurus dokumen keberangkatan TKI, termasuk penerbitan paspor. LTSA Indramayu itu merupakan satu dari 24 LTSA yang tersebar di kota dan kabupaten yang menjadi kantong TKI.
”Bukannya membuat paspor itu di kantor Imigrasi yah. Paling tidak, kan, mengurusnya di kantor Imigrasi Cirebon. Kok ini saya malah disuruh ke LTSA. Memang ada alatnya untuk rekam sidik jari,” kata Eva.
Di LTSA Indramayu pun tak banyak informasi yang dapat diperoleh Eva terkait prosedur keberangkatan TKI karena kantor layanan itu terbatas melayani TKI yang didampingi PPTKIS.
Keyakinan Eva hanya diperoleh dari ibunya, Umi (45), yang menyatakan bahwa urusan keberangkatannya ke Singapura akan diurus sepenuhnya oleh perusahaan tenaga kerja yang akan menyalurkannya. ”Nanti PT yang urus semua. Nama perusahaannya, PT IRC,” kata Umi.
Seperti halnya proses pembuatan paspor, Eva mengaku dia juga tak diberi tahu sama sekali oleh pihak perusahaan terkait biaya keberangkatannya. Hanya dari kakaknya yang telah bekerja lebih dulu di Singapura sebagai pekerja rumah tangga Eva mengetahui bahwa biaya keberangkatan itu harus dilunasi lewat pemotongan gaji selama bekerja di Singapura nanti.
Baca juga : Calo, Pemalsuan Data, dan Modus Perdagangan Manusia
”Biaya keberangkatan itu belum dikasih tahu. Tetapi kata kakak saya, setelah urusan dokumen selesai, saya diminta untuk menanyakan biaya itu ke perusahaan sehingga saya tahu berapa yang harus dibayar,” katanya.
Sementara dalam pengurusan paspor di LTSA Indramayu itu sangat kental dengan praktik percaloan. Penerbitan satu paspor untuk TKI yang disubsidi pemerintah yang semestinya seharga Rp 55.000 itu menjadi Rp 500.000 akibat keterlibatan calo.
Kalangan calo itu memanfaatkan ruangan kantin di belakang gedung LTSA Indramayu untuk menyusun berkas administrasi calon TKI yang harus dilampirkan sebagai syarat penerbitan paspor.
Namun, keterlibatan calo itu dibantah oleh Koordinator Harian LTSA Indramayu Ali Alamudin. Ali, yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indramayu, mengaku jika ditemukan pihak-pihak yang ikut mengurus penerbitan paspor calon TKI, itu dipastikan bukan calo. Menurut dia, mereka adalah pegawai perusahaan yang mendampingi para calon TKI.
”Calon TKI yang dilayani di kantor ini, kan, hanya yang didampingi PT. Jadi, mereka itu (orang yang mengurus paspor) orang PT,” ujarnya.
Kendati demikian, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Buruh Migran Indonesia Kabupaten Indramayu Juwarih mengungkapkan, pihaknya sudah lama mengeluhkan peran calo yang sangat mendominasi dalam pengurusan dokumen keberangkatan calon TKI di LTSA Indramayu. ”Kami sudah lapor ke pemerintah (Kabupaten Indramayu), tetapi itu tak pernah ditanggapi,” katanya.
Menurut Juwarih, selama keberangkatan calon TKI masih bergantung kepada PPTKIS, selamanya TKI akan tetap terjerat calo. Sebab, dalam praktiknya, setiap pengurusan administrasi kependudukan yang menjadi syarat penerbitan paspor itu malah lebih mudah diperoleh jika diurus oleh PPTKIS lewat bantuan calo.
”Ada kasus TKI yang berangkat ke Hong Kong. Dia hanya serahkan kartu keluarga, tetapi bisa terbit paspor hingga akhirnya bisa terbang ke Hong Kong karena yang urus itu PPTKIS dan sponsor (calo). Mulai dari penerbitan KTP dan akta kelahiran, itu yang bikin PPTKIS dan sponsor (calo),” katanya.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI yang ada sebelumnya itu memberikan porsi yang besar bagi PPTKIS untuk mengatur keberangkatan TKI.
Kami mendorong agar di aturan baru ini menjadi bentuk pelayanan publik.
Semestinya keuntungan yang diambil oleh PPTKIS itu sebatas penempatan TKI. Namun, pada praktiknya, PPTKIS juga ikut mengambil keuntungan dari setiap proses yang dijalani calon TKI. Hal itu mulai dari pemeriksaan kesehatan TKI hingga pengurusan dokumen administrasi kependudukan. Seluruh beban biaya itu kemudian dilimpahkan menjadi beban yang harus ditanggung TKI.
”Jadi, PPTKIS biasanya punya bisnis klinik kesehatan, maka di klinik itu pula TKI diperiksa. Hal itu termasuk penjualan tiket pesawat. Usaha itu mereka kelola satu atap sehingga mereka bisa memperoleh keuntungan secara tak langsung lewat usahanya mengurus keberangkatan TKI ini,” katanya.
Namun, dengan diterbitkannya UU No 18/2017, kata Wahyu, itu semestinya dapat direspons segera oleh pemerintah untuk memperbaiki sistem pemberangkatan TKI. Sesuai amanat UU itu, TKI harus dibebaskan dari biaya keberangkatan, maka peran PPTKIS pun harus dipangkas. Penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri itu semestinya menjadi bagian dari pelayanan publik yang harus disediakan pemerintah.
”Kalau dulu dominasinya pengurusan buruh migran itu oleh sektor bisnis, ada kepentingan bisnis. Kami mendorong agar di aturan baru ini menjadi bentuk pelayanan publik,” kata Wahyu.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno menyampaikan, dengan diterapkannya UU No 18/2017, maka akan ada perubahan pada sistem penempatan dan perlindungan tenaga kerja. Undang-undang itu memberikan mandat bahwa calon TKI tak boleh lagi dibebani biaya untuk berangkat ke luar negeri.
Namun, untuk melepaskan TKI dari beban biaya tersebut, kata Soes, pihaknya telah mengadakan pembahasan terkait persyaratan TKI yang dapat digolongkan sebagai beban dan persyaratan bersama 24 kementerian dan lembaga terkait.
Dari hasil pembahasan itu, kata Soes, telah disepakati bahwa yang tergolong persyaratan bagi TKI adalah seluruh dokumen identitas diri hingga paspor, pelatihan keterampilan hingga diterbitkannya sertifikat, termasuk pemeriksaan kesehatan. Sebagai persyaratan, maka TKI akan dibebaskan dari biaya pengurusan ketiga hal tersebut.
Dengan diterapkannya UU No 18/2017, maka akan ada perubahan pada sistem penempatan dan perlindungan tenaga kerja. Undang-undang itu memberikan mandat bahwa calon TKI tak boleh lagi dibebani biaya untuk berangkat ke luar negeri.
Sementara yang digolongkan sebagai beban itu di antaranya tiket pesawat ke negara tujuan dan visa kerja bagi TKI. Pemerintah, kata Soes, akan menegosiasikan biaya yang menjadi beban TKI itu kepada negara tujuan. Dalam hal ini, Kemnaker mengadakan kesepakatan dengan pemerintah negara tujuan agar biaya keberangkatan TKI juga dapat ditanggung oleh pihak atau perusahaan yang mempekerjakan TKI.
”Kesepahaman bersama (MOU) ini untuk melindungi setiap pihak karena setiap negara tak bisa saling intervensi maka dibutuhkan MOU Menaker di sini dan Menaker di sana (negara tujuan). Bahwa negara Anda, untuk ambil (TKI), itu harus menanggung biaya kedatangannya,” kata Soes.
Untuk merealisasikannya, menurut Soes, 24 LTSA yang tersebar di kota dan kabupaten yang menjadi kantong TKI itu menjadi lembaga yang menyiapkan dan menyediakan TKI yang siap kerja di luar negeri. TKI tak perlu lagi mencari PPTKIS, tetapi cukup datang ke balai latihan kerja untuk memperoleh pelatihan hingga mahir dan siap ditempatkan di luar negeri. Kemudian, seluruh persyaratan keberangkatan TKI akan diurus oleh LTSA.
Sementara PPTKIS cukup datang ke LTSA untuk menawarkan pekerjaan. ”Filosofinya PPTKIS tak lagi masuk ke desa, yang ujung-ujungnya lagi calo. Untuk itu, saya harus melakukan perubahan mindset bahwa tanggung jawab disnaker itu sebagai ujung tombak dalam menjalankan UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah adalah menyediakan orang sesuai kompetensi. Kemudian kami meminta semua disnaker untuk menata BLK,” kata Soes.
Namun, diakui Soes, untuk merealisasikannya itu masih dibutuhkan sejumlah peraturan sebagai turunan dari UU No 18/2017. ”Kami masih terus bekerja untuk melengkapi ini semua,” katanya.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Nusron Wahid menyampaikan, dengan diterapkannya UU No 18/2017, maka peran pemda dalam menyediakan pelatihan bagi calon TKI itu perlu diperkuat. Oleh karena itu, BNP2TKI akan melakukan penetrasi ke pemda agar pemda benar-benar dapat menjalankan tugasnya sesuai yang diamanatkan undang-undang tersebut.
”Jadi, semua urusan yang ada di awal itu ada di pemda,” ujarnya.
Sementara terkait data TKI, menurut Nusron, itu seluruhnya sudah terintegrasi dari 435 kabupaten dan kota dengan BNP2TKI, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri. TKI yang terdata itu merupakan TKI yang mengajukan rekomendasi sebagai TKI ke disnaker yang ada di daerahnya masing-masing.
Untuk mengendalikan manipulasi data pada paspor untuk TKI, Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Agung Sampurno menyampaikan, pihaknya terus berupaya memverifikasi data TKI yang termuat dalam KTP elektronik. Hingga akhir 2017, menurut dia, Ditjen Imigrasi telah melakukan pengadaan 500 alat pembaca KTP elektronik.
Namun, adanya korupsi pada pengadaan KTP elektronik di masa silam, menurut Agung, itu juga memengaruhi spesifikasi KTP elektronik yang diterbitkan pemerintah. Hal itu terindikasi dari adanya sejumlah KTP elektronik yang tak dapat diidentifikasi oleh alat pembaca KTP elektronik yang dimiliki Ditjen Imigrasi.
”Jadi, ada sebagian KTP elektronik itu sepertinya spesifikasinya berbeda sehingga alat pembaca yang kami miliki itu tak bisa membaca kartu tersebut,” katanya.
Sementara untuk mengendalikan keterlibatan oknum, Agung menyampaikan, jangkauan Inspektorat dalam mengawasi internal Ditjen Imigrasi itu baru terbatas dari kantor pusat hingga di kantor wilayah. Sementara pengawasan terhadap aparatur yang ada di kantor-kantor imigrasi itu dilakukan oleh kepala kanwil.
”Kami masih mengandalkan kepala kanwil untuk mengawasi di bawah. Makanya, jika masyarakat menemukan oknum yang bermain, dilaporkan saja,” ujarnya.
Namun, untuk menjamin TKI yang berangkat ke luar negeri itu dilindungi keselamatannya, Agung menyampaikan, pihaknya telah melakukan pengendalian pada permohonan paspor yang diduga menggunakan dokumen fiktif ataupun paspor yang dicurigai memuat data fiktif. Selama 2017, Ditjen Imigrasi telah menunda penerbitan 5.960 paspor dan menunda keberangkatan 1.016 TKI ke luar negeri karena diduga paspornya menggunakan data fiktif.
”Perlindungan yang dapat kami lakukan saat ini adalah melindungi orangnya, bukan sebatas masalah administrasi. Jika ada yang tak bisa menyebutkan secara spesifik tujuannya ke luar negeri, terutama negara-negara tujuan TKI, kami tunda penerbitan paspor dan keberangkatannya,” kata Agung.