JAKARTA, KOMPAS — Gerakan reformasi kini genap berusia 20 tahun, tetapi masih ada tantangan agenda reformasi yang harus diselesaikan pemerintah. Jika tidak diselesaikan, hal ini bisa memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Dr Moeldoko menjelaskan saat ini masih ada tiga tantangan reformasi yang perlu diselesaikan pemerintah, yaitu masih adanya praktik korupsi di lingkungan birokrasi, masih dirasakannya kesenjangan, dan rendahnya indeks pembangunan manusia di sejumlah wilayah di Indonesia.
”Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan jajarannya memperjuangkan tiga agenda reformasi tersebut melalui serangkaian kebijakan. Mulai dari pembentukan Satuan Bersama Pemberantasan Pungutan Liar (Saber Pungli), penguatan kerangka regulasi untuk pencegahan korupsi, kebijakan melakukan subsidi untuk rakyat miskin yang tepat sasaran lewat berbagai kartu, sampai dengan kebijakan dan program afirmatif yang langsung menyasar kepada kelompok-kelompok masyarakat terbawah,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (21/5/2018).
Tiga tantangan reformasi yang perlu diselesaikan pemerintah, yaitu masih adanya praktik korupsi di lingkungan birokrasi, masih dirasakannya kesenjangan, dan rendahnya indeks pembangunan manusia di sejumlah wilayah di Indonesia.
Moeldoko menjelaskan, dalam perjalanannya, pemerintah mengalami jatuh bangun dalam upaya membangun demokrasi, menyejahterakan masyarakat, meningkatkan perekonomian nasional, dan mencerdaskan kehidupan seluruh anak bangsa.
Selain itu, upaya membangun pertahanan dan keamanan di dalam negeri, serta terlibat secara bebas aktif dalam politik di kawasan regional ataupun dunia juga perlu dilakukan pemerintah.
”Tentu saja dalam pelaksanaannya terdapat tantangan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Terdapat sejumlah persoalan yang belum dapat terpecahkan mengingat kompleksnya persoalan, termasuk di antaranya karena berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi, teknologi yang berlangsung dalam 20 tahun terakhir,” katanya.
Moeldoko memastikan, Presiden menjalankan agenda reformasi dengan sebaik-baiknya.
”Kebijakan dan program pemerintah hari ini dilaksanakan dengan mengambil pelajaran terbaik yang dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya dan melakukan terobosan. Kesulitan pemerintahan sebelumnya kami ambil menjadi pelajaran untuk mereduksi kebijakan yang kurang membawa dampak bagi masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, Guru Besar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Purwo Santoso, Sabtu (19/5/2018), mengingatkan, kesenjangan bisa menimbulkan efek negatif jika bersinggungan dengan politisasi, insiden, atau konteks lokal tertentu.
Moeldoko memastikan bahwa Presiden Jokowi menjalankan agenda reformasi dengan sebaik-baiknya.
Misalnya, di Indonesia ada dikotomi sosiologis bahwa ada kelompok tertentu yang menguasai perekonomian dan masyarakat lain yang biasa-biasa saja. Kondisi ini rentan dibingkai untuk kepentingan politik.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menambahkan, kesenjangan membuka peluang munculnya ketidakpercayaan di masyarakat. (Kompas, 21/5/2018)
Indeks Status Demokrasi Global dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance menunjukkan, Indonesia membaik di semua indikator pada kurun 1998-2015.
Pada indikator pemerintahan perwakilan, nilai Indonesia naik dari 0,40 (1998) menjadi 0,71 (2015). Hal yang sama terjadi pada indikator hak asasi (dari 0,42 jadi 0,57), pengendalian pemerintah (0,37 jadi 0,61), dan administrasi imparsial (0,31 jadi 0,45). Semakin mendekati angka 1, semakin baik capaian sebuah negara.
Namun, kesenjangan di Indonesia juga makin lebar. Rasio gini Indonesia yang pada 1999 di 0,311 pernah menembus 0,413 tahun 2012 dan kemudian 0,414 pada 2014. Angka itu lalu sedikit turun dalam tiga tahun terakhir menjadi 0,391 pada September 2017. Nilai rasio gini antara 0-1. Semakin mendekati 0, maka semakin merata.