Desa Didorong Lindungi TKI
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia tak hanya dapat disandarkan kepada pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga pemerintah desa. Peran desa menjadi penting karena lokus perekrutan TKI hingga pemalsuan dokumen identitas TKI terjadi di desa.
Desa menjadi area paling subur bagi sponsor atau calo menjaring calon TKI. Dengan kekuatan uang, calo yang kerap menjadi kepanjangan tangan perusahaan tenaga kerja Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) merekrut calon TKI dengan memberikan pinjaman uang kepada orang tua calon TKI. Perangkat desa kerap tak mampu menangkal kondisi ini.
Desa menjadi area paling subur bagi sponsor atau calo menjaring calon TKI.
Sejak 2016, peran penting desa dalam memberikan perlindungan terhadap TKI sebenarnya telah disadari pemerintah. Kementerian Ketenagakerjaan pun membentuk Desa Migrasi Produktif yang hingga saat ini jumlahnya mencapai 252 Desmigratif yang tersebar di kantong-kantong TKI di Indonesia. Selain itu, juga ada Desa Peduli Buruh Migrasi (Desbumi) yang dibentuk oleh Migrant Care dan tersebar di 34 desa.
Namun, adanya Desmigratif dan Desbumi itu belum benar-benar dapat mendorong perangkat desa menjalankan perannya dalam memberikan perlindungan kepada TKI. Desmigratif dan Desbumi di Indramayu, Jawa Barat, yang sudah dibentuk sejak 2016, contohnya, masih sebatas menjalankan pendataan.
Baca juga: Eksploitasi TKI sejak Membuat Paspor
Lembaga itu belum dapat mendorong calon TKI untuk aktif mengurus administrasi kependudukan secara mandiri sebagai persyaratan keberangkatannya ke luar negeri sekaligus langkah awal melindungi dirinya.
Agus Maksum (30), petugas Desmigratif Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Indramayu, beberapa waktu lalu, mengungkapkan, hingga saat ini, para calon TKI di desanya masih mengandalkan jasa tenaga dari PPTKIS untuk mengurus data kependudukannya sebagai syarat keberangkatannya ke luar negeri. Tak sedikit pengurusan administrasi itu akhirnya dijalankan oleh sponsor atau calo.
”Umumnya mereka (calon TKI) tak tahu-menahu karena calo yang mengurus semuanya. Padahal, kami selalu mengingatkan supaya calon TKI itu sendiri yang ke sini (kantor desa) sehingga kami bisa sekalian memberikan saran kalau terjadi sesuatu di negara tujuan. Peran calo itu masih dominan,” kata Maksum.
Baca juga: Sistem Pemberangkatan TKI Perlu Dibenahi
Bahkan, hingga kini, kata Maksum, sekitar 300 keluarga TKI di Desa Kenanga yang telah didata tak memiliki salinan dokumen kerabatnya yang berangkat ke luar negeri sebagai TKI.
”Jadi, masih banyak warga yang belum memahami bahwa salinan dokumen itu penting disimpan. Sebab, jika suatu waktu kerabatnya yang bekerja di luar negeri mengalami musibah, dokumen itu dapat dijadikan dasar untuk perlindungan,” katanya.
Dari pendataan itu, kata Maksum, ditemukan pula ada sejumlah orang di desanya yang berangkat sebagai TKI untuk tenaga kerja informal di Arab Saudi. Padahal, sudah beberapa tahun ini Pemerintah Indonesia melakukan moratorium atau penghentian untuk pemberangkatan TKI informal ke Arab Saudi.
”Dari pendataan yang kami lakukan dari pintu ke pintu ternyata masih ada yang diberangkatkan ke Arab Saudi. Ini berarti ada PT (PPTKIS) yang memberangkatkannya secara ilegal,” katanya.
Baca juga: Calo, Pemalsuan Data, dan Modus Perdagangan Manusia
Posisi tawar lemah
HB (38), mantan calo pencari calon TKI, mengungkapkan, senjata bagi calo untuk menghimpun calon TKI adalah memberikan uang kepada orang tua calon TKI. Uang yang diberikan Rp 2 juta hingga Rp 4 juta.
Bahkan, ada orang tua yang meminta imbalan hingga Rp 500.000 kepada calo karena dia merasa telah ikut berjasa memberikan informasi terkait adanya calon TKI meskipun itu anaknya sendiri.
”Karena ekonomi keluarga yang terbatas, pinjaman itu menjadi pemikat. Para orangtua calon TKI yang memperoleh uang tak menyadari bahwa uang yang mereka terima itu pada akhirnya harus dilunasi kembali oleh anak-anak mereka. Sebab, uang itu masuk dalam beban biaya pemberangkatan TKI dan dilunasi TKI lewat pemotongan gaji saat bekerja di luar negeri,” kata HB.
Lemahnya posisi tawar perangkat desa pun diungkapkan oleh Sekretaris Desa Juntinyuat Rendi Yudhistira. Meski di desanya telah berdiri Desbumi, tetapi pihak desa belum dapat menolak pengurusan administrasi kependudukan calon TKI oleh calo.
Baca juga: Proses Rumit Giring TKI pada Calo
Sebab, jika pihak desa tegas menolak calo yang datang untuk mengurus kelengkapan administrasi calon TKI, justru akan merugikan kedudukan kepala desa itu sendiri.
”Kepala desa dipilih oleh rakyat. Makanya, kami tak bisa melakukan cara ekstrem (menolak keterlibatan calo untuk mengurus administrasi kependudukan calon TKI),” katanya.
Oleh karena itu, kata Rendi, pihak desa memilih cara lain untuk mengendalikan dominasi calo di desanya, yakni dengan mensyaratkan calo yang mendampingi TKI berasal dari desa itu juga.
Meski telah berdiri Desbumi, pihak desa belum dapat menolak pengurusan administrasi kependudukan calon TKI oleh calo.
”Makanya, kami lakukan dengan cara soft. Salah satunya sponsor itu harus warga Juntinyuat juga. Jika terjadi sesuatu pada TKI dari lingkungan warga kami, kami mudah untuk membantu menyelesaikannya karena calonya berasal dari warga kami sendiri,” katanya.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyampaikan, desa memiliki peran penting dalam rangka perlindungan terhadap TKI karena seluruh dokumen administrasi kependudukan yang menjadi bagian dari persyaratan TKI mengurus paspor ataupun dokumen perjalananannya ke luar negeri berasal dari desa. Sementara lokus perekrutan yang dilakukan oleh sponsor atau calo juga terjadi desa.
”Pengalaman kami (mendampingi TKI), pemalsuan dokumen identitas TKI itu terjadi di desa. Pelakunya aparat desa,” kata Wahyu.
Lewat Desbumi, katanya, Migrant Care berusaha mengubah pola pikir aparat desa agar dapat ikut berperan memberikan perlindungan kepada TKI. ”Karena kalau di desa, proses pemalsuan sudah berlangsung, di ujungnya akan jadi masalah besar. Tapi kalau dari desa sudah mulai teratur, ada pendataan, paling tidak dapat mengurangi (masalah),” ujarnya.
Lewat Desbumi, Migrant Care berusaha mengubah pola pikir aparat desa agar dapat ikut berperan memberikan perlindungan kepada TKI.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, pengganti UU No 39/2004, menurut Wahyu, dapat memberikan harapan baru bahwa desa dituntut aktif memberikan perlindungan kepada TKI. Desa juga menjadi sumber informasi bagi warganya yang hendak menjadi TKI di luar negeri.
Perangkat desa harus menerbitkan surat pengantar bagi calon TKI untuk mengurus persyaratan keberangkatannya ke luar negeri di layanan terpadu satu atap yang ada di dinas tenaga kerja.
Di LTSA, calon TKI akan memperoleh pelatihan yang disediakan pemerintah daerah. Setelah mahir dan persyaratannya telah dipenuhi, termasuk paspor, para calon TKI baru dipertemukan dengan PPTKIS sebagai penyedia bursa kerja di luar negeri.
Belum berubah
Namun, diingatkan oleh Wahyu, itu adalah alur ideal yang diamanatkan UU No 18/2017. Kenyataannya, katanya, hingga saat ini di sejumlah daerah belum ada perubahan. ”Praktiknya, (PPTKIS lewat calo) langsung merekrut calon TKI di kampung. Ini mekanisme lama. Namun, pihak disnaker pun tak banyak berbuat,” katanya.
Direktur Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno menyampaikan, sejauh ini memang agak sulit untuk mengendalikan desa.
Dari segi regulasi pun ada kesenjangan karena UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah hanya menjangkau hingga pemerintah kabupaten atau kota. Sementara kendali birokrasi dari kecamatan hingga desa tak ada regulasinya.
https://youtu.be/qEIqX2Ka_kI
Pemerintah daerah seharusnya bisa memberdayakan kepala desa secara optimal untuk melaporkan setiap warganya yang menjadi TKI ke disnaker. Namun, hal ini tentu sangat bergantung pada inisiatif dan komitmen setiap kepala daerah.
Pemerintah daerah seharusnya bisa memberdayakan kepala desa secara optimal untuk melaporkan setiap warganya yang menjadi TKI ke disnaker.
Bersama pemda, kata Soes, pemerintah pusat dan badan terkait juga harus mendorong agar aparatur desa dapat mengubah pola pikirnya. Kepala desa diharapkan dapat memberikan pelayanan publik dan perlindungan bagi warganya.
”Kita harus mengubah pola pikir kepala desa agar mereka tak terlibat dalam percaloan TKI. Seharusnya sebanyak 447 PPTKIS (yang izinnya diterbitkan Kemnaker) cukup berhubungan dengan LTSA saja, tak lagi ke desa. Untuk mencapai ini, dibutuhkan upaya terus-menerus,” jelasnya. (FIKRI ASHRI/ANGGER PUTRANTO)