JAKARTA, KOMPAS — Efek ekor jas untuk meningkatkan elektabilitas partai politik pengusung calon presiden ternyata belum dirasakan sejumlah parpol. Padahal, sejumlah parpol berharap elektabilitasnya bisa meningkat jika mendukung salah satu kandidat capres. Peningkatan elektabilitas parpol pendukung capres yang signifikan hanya dirasakan PDI-P yang mengusung Presiden Joko Widodo dan Partai Gerindra yang masih mengusung ketua umumnya, Prabowo Subianto, sebagai calon presiden.
Dari survei yang dilakukan Charta Politika, terlihat jelas bahwa efek ekor jas atau pengaruh elektabilitas calon presiden terhadap parpol pendukungnya hanya dirasakan PDI-P dan Gerindra. Partai lain pengusung Joko Widodo atau Prabowo Subianto justru tak merasakan pengaruh dari elektabilitas calon presiden yang mereka dukung.
Padahal, dari survei Charta Politika ini ditemukan juga peningkatan elektabilitas Prabowo Subianto selaku capres. Elektabilitas Prabowo juga diprediksi terus meningkat jika dia resmi mendaftarkan dirinya sebagai calon presiden ke Komisi Pemilihan Umum.
”Dua partai pengusung, yaitu PDI-P yang mengusung Joko Widodo dan Partai Gerindra yang mengusung Prabowo. Jika ada rematch antara Jokowi dan Prabowo pada 2019, dua partai ini yang paling diuntungkan elektabilitasnya,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam diskusi ”Konstelasi Elektoral Pilpres dan Pileg 2019 Pascadeklarasi Prabowo Subianto” di Jakarta, Senin (21/5/2018).
Yunarto menjelaskan, meski sejumlah parpol telah mengusung nama Jokowi atau Prabowo, hal itu belum berpengaruh pada elektabilitas parpol tersebut. ”Berdasarkan hasil survei, para pemilih memandang partai tersebut hanya pengekor, dan memilih sebuah parpol atas dasar alasan lain,” ujarnya.
Charta Politika melakukan survei pada 13-19 April 2018 setelah Prabowo dideklarasikan oleh Partai Gerindra untuk menjadi capres. Dalam survei ini, jumlah sampel sebanyak 2.000 responden, dengan metode acak bertingkat dan margin of error lebih kurang 2,19 persen.
Dalam survei tersebut, elektabiltas partai tertinggi adalah PDI-P dengan jumlah 24,9 persen, diikuti Partai Gerindra sebesar 12,3 persen. Pada tempat ketiga, ada Partai Golkar dengan elektabilitas 11 persen, kemudian ada PKB dengan elektabilitas 7 persen. Pada posisi kelima ada Partai Demokrat dengan posisi 5,4 persen.
Yunarto menjelaskan, dari kelima partai tersebut, hanya dua partai yang diuntungkan karena mendukung Jokowi dan Prabowo. ”Sisanya belum terlalu diuntungkan, contohnya sebagian besar koresponden memilih Golkar dengan alasan mereka sudah terbiasa memilih partai tersebut dan mewakili semangat Orde Baru. Kemudian, sebagian besar koresponden memilih PKB karena mewakili aspirasi Nadhlatul Ulama dan tertarik figur Gus Dur,” katanya.
Politisi Partai Golkar yang juga menjabat sebagai Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengakui, sejumlah parpol, seperti Partai Golkar dan Nasdem, belum mampu mendongkrak elektabilitasnya walaupun telah mendukung sosok Jokowi. ”Meski kami telah mendukung Jokowi, hal ini belum memberikan manfaat banyak bagi elektabilitas parpol. Oleh sebab itu, kami merasa perlu merencanakan strategi lain sambil tetap berusaha mengusung Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto untuk menjadi cawapres Jokowi,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, merasa heran mengapa PKS tidak merasakan efek ekor jas ini. Menurut dia, PKS telah merasakan manfaat selama berkoalisi dengan Partai Gerindra dan mengusung Prabowo. Selain itu, berdasarkan survei ini, elektabilitas PKS hanya 3,5 persen.
”Kami akui, dari sejumlah survei menjelaskan bahwa elektabilitas PKS hanya dibawah 3,5 persen. Namun, kami tetap optimisis hasil akhirnya berbeda pada saat pemilu, setidaknya untuk mendapat 4 persen suara sesuai dengan ambang batas parlemen,” ucapnya.
Jokowi lawan Prabowo
Yunarto menjelaskan, berdasarkan survei, elektabilitas Jokowi masih tetap unggul dari Prabowo. Meski demikian, kecenderungan elektabilitas Prabowo meningkat setelah ia dideklarasikan oleh partainya.
”Jadi, jika Jokowi head to head dengan Prabowo, perbandingan persentasenya adalah 58,8 persen dengan 30,0 persen. Elektabilitas Prabowo cenderung meningkat dibandingkan sejumlah lembaga survei sebelumnya yang menjelaskan elektabilitas Prabowo sekitar 20 persen,” katanya.
Menurut Yunarto, elektabilitas Prabowo berpotensi terus meningkat apabila namanya sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Para pemilih yang tidak ingin Jokowi kembali naik sebagai presiden tentunya akan memilih Prabowo sebagai presidennya.
”Meski tingkat kepuasan publik sebesar 68,2 persen terhadap kebijakan Jokowi, kita bisa berkaca pada Pilkada Jakarta, di mana sebagian besar masyarakat merasa puas dengan kebijakan Basuki Tjahja Purnama, tetapi akhirnya ia harus kalah dalam pilkada,” ucapnya.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan, elektabilitas Prabowo kemungkinan naik setelah ia dideklarasikan oleh Partai Gerindra, sejumlah ormas, dan serikat buruh. ”Selain itu, kami optimistis elektabilitas Prabowo bisa semakin menanjak karena selisih perolehan suara antara Jokowi dan Prabowo pada Pemilu 2014 hanya sekitar 5 persen,” ucapnya.
Selain itu, menurut Ferry, cawapres untuk Prabowo semakin mengerucut dan kemungkinan dari Partai PKS. Namun, ia masih merahasiakan nama cawapres tersebut. ”Tunggu nanti setelah agenda pertemuan antara Partai Gerindra dan Partai Demokrat dalam waktu dekat,” katanya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah menjelaskan, hasil survei ini menunjukkan konsistensi elektabilitas Jokowi dan PDI-P yang masih tinggi di mata masyarakat. Menurut ia, hasil survei ini juga menjadi cambuk bagi pemerintahan Jokowi untuk terus bekerja dan segera menepati janji-janji politiknya sebelum 2019. Terkait dengan cawapres Jokowi, Basarag menjelaskan, nama-nama cawapres masih belum mengerucut.
”Parpol pendukung Jokowi saling mengajukan nama untuk cawapresnya. Hal ini harus dimanfaatkan parpol tersebut untuk berkompetisi. Namun, hasil akhirnya tentu diputuskan Jokowi sendiri,” ujarnya.