Lengsernya Soeharto, Babak Baru Demokrasi Indonesia
21 Mei 1998
Pada Kamis, 21 Mei 1998, sejarah Indonesia memasuki babak baru setelah rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun tumbang. Pagi itu Soeharto dengan wajah muram mengumumkan pengunduran dirinya melalui pidato singkat.
Pada pagi yang sama, harian Kompas yang memundurkan tenggat penerbitan sampai dengan pukul 04.00 karena mengantisipasi adanya pergantian pemerintahan, mengeluarkan berita utama dengan judul ”Selamat Datang Pemerintahan Baru”. Berita ini merekam perkembangan politik yang dramatis sebelum Soeharto mengundurkan diri.
Saat berita itu muncul, ribuan mahasiswa menduduki Gedung Dewan Perwakilan Rakyat menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR. Soeharto awalnya coba mengendalikan situasi dengan usulan membubarkan Kabinet Pembangunan VII dan menggantinya dengan Kabinet Reformasi. Namun, situasi sudah tak dapat diselamatkan.
Kamis, 21 Mei 1998, sejarah Indonesia memasuki babak baru setelah rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun tumbang.
Salah satu faktor ”pendorong” adalah gerakan para menteri kabinet yang beramai-ramai mengundurkan diri, sesuatu yang tidak diduga Soeharto yang selama tiga dekade pemerintahannya tidak pernah menerima kritik, apalagi penolakan, dari para pembantunya.
Surat pengunduran diri yang ditandatangani 14 menteri ekuin itu disampaikan pada 20 Mei malam, yang intinya meminta Soeharto mundur dari jabatannya.
Baca juga: Dua Bulan Setelah Dipilih, Soeharto Didesak Mundur
Mereka adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadinardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaja, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Hanya ada dua menteri ekuin yang tidak mengundurkan diri dan akan menunggu pengumuman Kabinet Reformasi, yaitu Menteri Keuangan Fuad Bawazier serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan Mohamad (Bob) Hasan.
Lewat tengah malam, situasi politik makin tak menentu dan terasa genting. Berbagai isu berseliweran, di antaranya isu rencana ”penyerbuan” militer ke DPR yang diduduki mahasiswa. Juga beredar informasi bahwa Soeharto segera mengumumkan susunan Kabinet Reformasi.
Ada juga kabar bahwa Soeharto sudah positif mengundurkan diri. Titik terang muncul ketika sejumlah tokoh dari kubu reformasi memberikan konferensi pers pada 21 Mei dini hari di kediaman tokoh Muhammadiyah, Malik Fadjar, di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta Pusat.
Lewat tengah malam, situasi politik makin tak menentu dan terasa genting. Berbagai isu berseliweran, di antaranya isu rencana ’penyerbuan’ militer ke DPR yang diduduki mahasiswa.
Ketua PP Muhammadiyah (saat itu) Amien Rais, yang didampingi cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum), menyatakan, Indonesia akan memasuki babak baru sejarah.
”Kita akan memasuki babak baru dalam sejarah modern Indonesia, yaitu mengucapkan selamat tinggal pada pemerintahan lama dan mengucapkan selamat datang pada pemerintahan baru. Pemerintahan transisi dapat menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu enam bulan,” kata Amien. Hadir juga dalam pertemuan itu Emha Ainun Nadjib, Utomo Danandjaja, dan Syafii Maarif.
Dalam kesempatan itu, Amien meminta warga keturunan yang menjadi korban kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Solo, dan beberapa tempat lainnya untuk tidak eksodus.
”Insya Allah, sejak hari ini, saudara-saudara sekalian yang kebetulan keturunan China, betul-betul merasa at home dan Anda memang di negeri sendiri. Kita minta kita bisa sebaik-baiknya mengayomi kelompok minoritas China yang akhir-akhir ini hampir putus asa melihat kerusakan di negeri ini,” kata Amien.
Baca juga: Amuk Massa yang ”Menyebar” di Jabotabek
Informasi yang didapat dari jumpa pers itu menjadi scoop paling signifikan dari seluruh dinamika yang terjadi sepanjang 24 jam terakhir bahwa Presiden Soeharto segera lengser. Tanpa keraguan, Kompas pun menurunkan judul ”Selamat Datang Pemerintahan Baru”.
Tak ada pilihan
Jika dirunut rentetan kejadian pascakerusuhan 13-15 Mei 1998, tak ada opsi lain bagi Soeharto kecuali mundur dengan terhormat. DPR yang mayoritas kursinya dikuasai Golongan Karya–partai pendukung Soeharto–sudah lumpuh oleh pendudukan mahasiswa.
Ketua DPR Harmoko yang selama ini dikenal sebagai loyalis Soeharto meminta Soeharto mundur demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagaimana dengan militer? Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto pada 18 Mei sore hari bertemu dengan Soeharto dan kemudian melakukan pertemuan darurat dengan seluruh kepala staf angkatan dan Kapolri.
Wiranto menegaskan bahwa pernyataan Ketua DPR Harmoko yang meminta Soeharto mundur adalah pernyataan pribadi, bukan pernyataan resmi DPR. Banyak pihak yang menilai pernyataan Wiranto itu merupakan cerminan keinginan Soeharto yang masih ingin bertahan.
Namun, seperti kita ketahui dalam dua hari ke depan, dorongan mundur dari kalangan sipil, yaitu para tokoh masyarakat, budayawan, akademisi, dan tentu saja mahasiswa, semakin menguat. Puncaknya adalah surat pengunduran diri para menteri Kabinet Pembangunan VII. Dengan kata lain, Soeharto telah ditinggalkan bukan saja oleh partai yang membesarkannya, melainkan juga oleh orang-orang yang dibesarkannya.
Jika pergantian kepemimpinan ingin berlangsung damai dan terhormat, pilihan terbaik adalah dengan mengundurkan diri. Sejumlah sumber mengungkapkan, adik Soeharto, Probosutedjo (alm), menggambarkan suasana di kediaman Soeharto di Jalan Cendana pada 20 Mei malam terasa tegang. Soeharto terlihat gelisah dan semua putra-putrinya sudah berkumpul di situ.
Menjelang tengah malam, keputusan Soeharto telah bulat untuk menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, BJ Habibie. Ia meminta Yusril Irza Mahendra membuat surat yang menyatakan dirinya berhenti sebagai presiden.
”Ya sudah, kalau begitu saya mundur saja besok. Kamu urus bagaimana cara saya berhenti,” kata Yusril menirukan ucapan Soeharto kepadanya dalam wawancara dengan Liputan Petang 6 SCTV, 27 Januari 2016. Keputusan itulah yang kemudian disampaikan Yusril kepada Amien Rais pada 21 Mei dini hari.
Pagi harinya, pukul 09.00, penguasa terlama di Indonesia itu tiba di kompleks Istana Kepresidenan dengan mobil bernomor polisi RI 1 didampingi putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana. Soeharto mengenakan pakaian sipil harian pendek berwarna abu-abu.
”Saya memutuskan menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.”
Indonesia pun memasuki babak baru sejarah demokrasi.