Merunut Batu Sandungan Reformasi
Dua dekade perjalanan era reformasi, publik menilai tujuan reformasi belum tercapai secara memuaskan. Selain sejumlah capaian seperti dalam aspek kebebasan berekspresi, beberapa persoalan yang 20 tahun lalu mendasari gerakan reformasi 1998 masih ada sampai kini.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi bagian dari cita-cita reformasi yang paling diapresiasi publik. Hampir separuh responden (49 persen) dalam jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 7-8 Mei lalu menilai kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah aspek yang paling berhasil dicapai oleh gerakan reformasi 1998.
Penilaian itu konsisten dengan jajak pendapat sebelumnya. Bentuk kebebasan berpendapat ini adalah kebebasan untuk berunjuk rasa, berekspresi, dan menyatakan pendapat.
Namun, kebebasan itu juga dinilai menimbulkan persoalan baru. Kebebasan berpendapat, baik di masyarakat maupun elite, sering kali dinilai kebablasan
sehingga kontraproduktif dengan tujuan reformasi. Dampak negatif muncul dari kebebasan yang kini dijamin undang-undang itu.
Kebebasan berpendapat, baik di masyarakat maupun elite, sering kali dinilai kebablasan sehingga kontraproduktif dengan tujuan reformasi. Dampak negatif muncul dari kebebasan yang kini dijamin undang-undang itu.
Intrik politik yang tak berkesudahan di elite partai politik (parpol) dengan pemerintah, misalnya, dianggap menjadi tidak sesuai dengan cita-cita reformasi yang menginginkan ketenangan ruang politik publik. Intrik tersebut juga membentuk persepsi negatif publik terhadap pelaksanaan politik negara.
Kebebasan berpendapat juga sering kali dilakukan secara kebablasan di masyarakat, di tengah berbagai kepentingan politik dan kelompok yang sering kali ditengarai mengiringi. Ancaman muncul dari pertentangan sosial yang cenderung berkembang menampilkan sisi identitas sosial.
Di tingkat akar rumput, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tidak dibarengi kesiapan literasi masyarakat. Akibatnya, politik identitas menguat dalam berbagai platform, yang ujungnya memperkeras segregasi di masyarakat.
Kondisi ini membuat publik terlihat agak gamang dalam menilai keberhasilan reformasi. Pada satu sisi, publik menaruh optimisme bahwa cita-cita reformasi akan terwujud pada masa depan. Di sisi lain, keberhasilan yang diraih baru di seputar kebebasan yang juga menyimpan risiko sosialnya sendiri.
Terus berulangnya penangkapan terhadap pelaku korupsi juga dilihat sebagai persoalan besar dari agenda reformasi yang belum terselesaikan. Korupsi merupakan salah satu tuntutan mahasiswa dan masyarakat yang jenuh dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan sejumlah elite politik Orde Baru.
Kondisi ini mencerminkan penyelenggaraan negara masih dalam darurat korupsi hingga hari ini. Sejumlah pihak menuding sistem pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif yang digelar secara langsung menjadi penyebabnya. Pasalnya, sistem itu membuat biaya politik menjadi ”mahal” sehingga mendorong politisi atau kepala daerah melakukan korupsi.
Tak heran, lebih dari separuh responden (56 persen) menilai pemberantasan korupsi menjadi agenda reformasi yang gagal diwujudkan hingga kini. Korupsi dianggap sebagai faktor penghambat nomor dua setelah konflik politik.
Otonomi daerah
Selain kebebasan berekspresi, salah satu capaian dalam perjalanan 20 tahun reformasi adalah otonomi daerah. Peralihan kewenangan dari pusat ke daerah ditetapkan melalui tiga kali perubahan perundangan.
Kewenangan pemerintah daerah yang diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan kembali diubah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Kini, hanya ada tiga urusan yang masih ditangani langsung oleh pemerintah pusat melalui instansi vertikal, yakni sektor moneter, keagamaan, dan pertahanan negara. Selebihnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Perubahan praktik kekuasaan dari sentralistik menjadi distribusi kekuasaan ke daerah ini seharusnya mampu meningkatkan kemajuan dan akuntabilitas pemerintahan daerah. Namun, otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung justru melahirkan praktik ”desentralisasi korupsi”.
Otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung justru melahirkan praktik ”desentralisasi korupsi”
Korupsi yang semula hanya berpusar di kalangan politisi dan elite penyelenggara pemerintahan pusat, kini juga menyebar di daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, tak kurang dari 85 kepala daerah terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-2017. Selama lima bulan terakhir ini saja, sedikitnya 18 kepala daerah ditangkap KPK karena kasus korupsi.
Bahkan, jelang pemilihan kepala daerah pada 27 Juni 2018, delapan peserta pilkada adalah tersangka korupsi. Sementara itu, di panggung elite politik nasional, tak kurang dari 12 anggota DPR dan DPD periode 2014-2019 yang jadi tersangka korupsi.
Tak heran, hanya sekitar 24 persen publik yang menyatakan puas atas penerapan otonomi daerah selama ini.
Kasus HAM
Dari serangkaian persoalan yang menjadi tuntutan reformasi, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat menjadi yang paling disoroti publik. Sebanyak 62 persen publik menyebut pengusutan kasus penembakan dan penculikan aktivis yang berlangsung pada periode 1997-1999 belum jelas penyelesaiannya.
Hingga kini, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM masih memperjuangkan penuntasan kasus ini. Pada 28 September 2009, DPR melakukan langkah penting dengan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc terkait dugaan kasus penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997-1998.
Namun, sampai saat ini, berkas hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus itu masih mengendap di kejaksaan. Hal serupa juga terjadi di kasus lain, seperti kerusuhan Mei 1998 serta peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, masih mengendap di kejaksaan.
Sebanyak empat mahasiswa meninggal akibat luka tembak dalam peristiwa di Universitas Trisakti pada Mei 1998. Sebanyak lima mahasiswa meninggal dalam Tragedi Semanggi I, dan lima orang juga meninggal di Tragedi Semanggi II.
Terkait hal itu, pemerintah saat ini menyebut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu sebagai bagian dari sembilan program prioritas pemerintah. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat juga menjadi salah satu fokus kerja komisioner Komnas HAM periode 2017-2022.
Di tengah beragam sorotan negatif atas kondisi bangsa saat ini, publik masih menyimpan optimisme atas sejumlah perubahan yang terjadi. Ini terlihat dari mayoritas suara responden yang menaruh harapan positif atas perjalanan reformasi selama 20 tahun ini.
Publik menaruh harap, pemerintah dapat setia pada semangat reformasi yang dibangun oleh berbagai elemen bangsa dua dekade lalu. Berbagai sorotan atas kondisi bangsa saat ini diharapkan dapat menjadi pengingat bahwa berbagai agenda reformasi masih relevan.