JAKARTA, KOMPAS - Untuk menjawab kebutuhan akan upaya pemberantasan terorisme yang lebih tegas, pemerintah mulai mengkaji rencana merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Aturan pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme dinilai perlu didalami untuk memperjelas penyusunan detail peran TNI yang nanti akan diatur lewat peraturan presiden.
Rencana itu muncul di tengah keseriusan pemerintah mendorong pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Keseriusan itu terlihat dari keputusan pemerintah mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI yang berasal dari Detasemen Khusus 81 (Penanggulangan Teror/Gultor) Kopassus TNI AD, Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Marinir TNI AL, dan Detasemen Bravo (Denbravo) Pasukan Khas TNI AU.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Enny Nurbaningsih saat dihubungi di Jakarta, Minggu (20/5/2018), mengatakan, kajian awal terhadap sejumlah pasal di UU TNI mulai dilakukan. Kajian perlu dilakukan apalagi setelah revisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme selesai, pemerintah perlu menyusun peraturan presiden tentang detail teknis pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
”Di UU TNI sekarang memang belum ada mandat delegasi (tugas dan peran TNI) itu seperti apa sehingga sulit sekali dilaksanakan,” ujar Enny.
Meski demikian, menurut dia, UU TNI tidak akan segera direvisi karena pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini masih fokus menyelesaikan revisi UU Antiterorisme.
”Belum tahu arahnya akan seperti apa, karena sekarang masih konsentrasi penuh ke RUU Antiterorisme,” katanya.
Dalam pembahasan RUU Antiterorisme, pemerintah dan DPR menyepakati bahwa TNI perlu dilibatkan dalam upaya pemberantasan terorisme. Sesuai Pasal 43J draf RUU, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme menjadi bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Teknis keterlibatan itu akan diatur lebih detail dalam perpres dengan tetap mengacu pada UU TNI.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) UU TNI, OMSP termasuk dalam salah satu tugas pokok TNI. Salah satu tugas pokok OMSP adalah mengatasi aksi terorisme. UU TNI tidak mengatur lebih lanjut mengenai hal tersebut selain menyatakan bahwa TNI diturunkan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Keputusan politik negara itu adalah kebijakan politik pemerintah bersama DPR yang dirumuskan dalam rapat konsultasi atau rapat kerja.
Konsultasi
Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafii mengatakan, pemerintah harus merampungkan perpres dalam kurun waktu satu tahun setelah RUU Antiterorisme disahkan. Pemerintah juga wajib mengonsultasikan penyusunan perpres itu kepada DPR.
Menurut dia, aturan pelibatan yang dapat dimasukkan dalam perpres adalah menetapkan skala ancaman. Mekanisme itu mengacu pada sistem United Kingdom Terror Threat Level yang berlaku di Inggris. Mengacu sistem di Inggris, skala ancaman terdiri dari lima tingkatan, yaitu rendah-moderat-substansial-parah-kritis (low-moderate-substantial-severe-critical). Militer diterjunkan saat ancaman mencapai skala paling kritis.
Mekanisme pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme bisa mengacu pada sistem United Kingdom Terror Threat Level yang berlaku di Inggris. Mengacu sistem di Inggris, skala ancaman terdiri dari lima tingkatan, yaitu rendah-moderat-substansial-parah-kritis (low-moderate-substantial-severe-critical). Militer diterjunkan saat ancaman mencapai skala paling kritis.
Enny mengatakan, saat ini, pemerintah dan TNI sedang menyusun kerangka dasar mekanisme teknis dan prosedur keterlibatan TNI berdasarkan koridor UU TNI.
”Nanti diatur detailnya bagaimana, kapan TNI turun, kapan tidak. Sebab, tetap harus dibedakan mana yang militeristik dan mana yang bagian sipil,” katanya.
Rencana pelibatan TNI saat ini mulai direalisasikan pemerintah melalui pengaktifan kembali Koopsusgab TNI. Presiden Joko Widodo menjelaskan, pasukan khusus dari tiga matra TNI itu akan dikerahkan pada kondisi yang mendesak (Kompas, 19/5).
Secara terpisah, anggota Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, dalam berbagai rapat pembahasan RUU Antiterorisme, masukan soal merevisi UU TNI dan UU Pertahanan Negara beberapa kali memang pernah muncul. Usulan itu muncul khususnya saat membahas tentang rencana melibatkan TNI secara lebih aktif di luar skema perbantuan yang ada di UU TNI.
Saat itu, PPP, ujarnya, termasuk yang mengusulkan bahwa jika pemerintah dan DPR ingin memperluas skema pelibatan TNI, maka yang perlu diubah adalah UU TNI dan UU Pertahanan Negara, bukan mengubah skema tersebut lewat undang-undang sektoral seperti RUU Antiterorisme.
“Saat itu, TNI bisa memahami masukan itu. Demikian juga teman-teman Pansus yang semula sempat langsung setuju dengan perluasan pelibatan TNI yang keluar dari skema di UU TNI” kata Arsul.
Menurutnya, jika ada rencana merevisi UU TNI, sebaiknya wacana itu dibuka ke publik sejak awal untuk menampung masukan dari berbagai pihak.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan, pelibatan TNI diperlukan, tetapi tetap dalam kerangka perbantuan terhadap Polri.
Artinya, TNI diturunkan ketika situasi sudah di luar kapasitas Polri. Menurut dia, pelibatan TNI perlu diatur dengan batasan yang tegas dan ketat agar penindakan pemberantasan terorisme tetap mengutamakan aspek penegakan hukum (criminal justice system), bukan kekerasan.
“Yang diinginkan teroris itu adalah memancing represi atau kekerasan dari pemerintah, sehingga mereka bisa menyerang pemerintah dan menarik empati masyarakat yang dipropagandakan secara salah lewat media sosial. Jadi, aturan pelibatannya (rule of engagement) harus disusun dengan hati-hati,” kata Ansyaad