Pengantar RedaksiPeringatan 20 tahun era reformasi menjadi momentum untuk melihat perjalanan bangsa Indonesia. Terkait hal itu, harian Kompas menggelar diskusi bertema ”20 Tahun Reformasi, Pelajaran Belum Selesai” pada 7 Mei lalu. Hadir sebagai narasumber adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj, Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya A Prasetyantoko, dan pengajar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet. Laporan dari diskusi ini akan disajikan dalam tiga tulisan mulai hari ini.
Dua puluh tahun lalu, banyak orang bersukacita saat Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia. Euforia muncul di sejumlah tempat. Secercah harapan menyeruak.
Setelah ini, Indonesia akan bangkit menjadi negara demokrasi yang masyarakatnya adil dan makmur. Orde Baru telah berlalu, kini saatnya Era Reformasi. Begitu kira-kira imaji yang ada saat itu. Imajinasi politik yang berlandaskan pada hipotesis, berakhirnya Orde Baru akan membuat segalanya bisa dimulai dengan lebih baik.
Namun, sampai saat ini, pertanyaan tentang Indonesia yang adil dan makmur itu masih saja muncul karena belum sepenuhnya dirasakan. Jika demikian, di mana salahnya?
Berbagai analisis, baik pesimistik maupun yang optimistik tentang Indonesia, kerap muncul di setiap bulan Mei. Analisis itu sejalan dengan romantika generasi reformasi tentang pencapaiannya di tahun 1998. Berbagai diskusi dan pertemuan aktivis 1998 digelar untuk mengenang nostalgia yang terjadi.
Tidak dilengkapi
Reformasi 1998 adalah suatu peristiwa. Hal ini berbeda dengan Orde Baru yang merupakan sistem. Selama 32 tahun Orde Baru telah dikembangkan institusi politik yang monolitik.
Sebagai sebuah peristiwa, reformasi berhasil menjadi sebuah kanal yang merangkul semua kekuatan politik untuk berfokus pada penjatuhan Soeharto. Namun, sifatnya yang sebagai sebuah peristiwa, gerakan reformasi tidak melengkapi dirinya dengan peralatan kekuasaan pasca-berakhirnya kekuasaan Soeharto. Begitu Orde Baru berakhir, tidak ada proses sistemik yang mengikuti reformasi gagal diinstitusionalisasikan.
Sebagai sebuah peristiwa, reformasi memang berhasil menjadi sebuah kanal yang merangkul semua kekuatan politik untuk berfokus pada penjatuhan Soeharto. Namun, sifatnya yang sebagai sebuah peristiwa, gerakan reformasi tidak melengkapi dirinya dengan peralatan kekuasaan pasca-berakhirnya kekuasaan Soeharto.
Akibatnya, saat Orde Baru berakhir, terjadi kekosongan secara politik. Ini karena para penggiat gerakan reformasi memang minim agenda politik.
Kekosongan ini lalu diisi oleh kelompok lama, sejumlah elite Orde Baru yang kemudian berganti muka. Mereka ini yang kemudian mengambil alih agenda politik reformasi. Di titik ini yang dihadapi adalah realitas, bukan hanya romantika.
Ada sejumlah hal prinsip yang gagal direformasi pasca-berakhirnya Orde Baru pada 1998. Pertama, tidak ada sanksi terhadap partai dan organisasi yang selama Orde Baru berkuasa terlibat dalam operasi-operasi kekuasaan rezim tersebut. Kekuatan-kekuatan itu masih bermain bebas dalam matriks politik reformasi. Kedua, sulit menetapkan agenda keadilan transisional. Hingga hari ini, sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu setiap hari Kamis masih menggelar aksi berdiri di depan Istana Merdeka untuk menuntut penyelesaian kasus mereka.
Di awal era reformasi, memang ada yang membuat garis antara kaum elite di kekuasaan Orde Baru dan para penggiat reformasi. Wacana yang saat itu muncul dengan istilah reformasi total ini bersanding dengan wacana reformasi damai. Namun, waktu akhirnya membuktikan, kini sudah tak ada lagi jarak antara para mantan elite Orde Baru dan penggiat reformasi 1998.
Relativisme dalam politik, turut mendorong para penggiat reformasi, kini tersebar di berbagai lembaga politik dengan bersama dengan para mantan elite Orde Baru.
Demokrasi
Namun, demokrasi Indonesia telah sampai pada titik di mana tidak ada jalan kembali. Dari sisi ini, Indonesia bisa dipandang sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang relatif sukses dengan demokrasinya.
Reformasi, dalam derajat tertentu, juga berhasil mengubah sistem. Mulai dari dicabutnya dwifungsi ABRI, kebebasan pers dan kebebasan berserikat, hingga menguatnya berbagai institusi seperti Komnas HAM. Tentu pencapaian-pencapaian ini masih terus dievaluasi lagi hingga ke tataran aturan dan implementasi yang paling teknis.
Sejumlah pencapaian tersebut terjadi antara lain karena Indonesia memiliki masyarakat sipil yang dinamis, baik dalam bentuk ormas besar, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, maupun berbagai lembaga swadaya masyarakat. Hal ini menjadikan demokrasi di Indonesia sebagai tradisi.
Kini yang masih harus diperbaiki adalah penguatan budaya politik. Jangan sampai terus-menerus ada kegaduhan politik. Ada indikasi, budaya demokrasi bahkan belum tumbuh sepenuhnya terutama di lingkungan partai politik. Kultur oposisi bahkan masih lemah di mana kritik hanya berdasarkan sentimen, bukan kritik yang rasional. Legislatif dan eksekutif yang berhadapan menciptakan sistem yang menginisiasi korupsi.
Budaya demokrasi bahkan belum tumbuh sepenuhnya terutama di lingkungan partai politik. Kultur oposisi bahkan masih lemah di mana kritik hanya berdasarkan sentimen, bukan kritik yang rasional.
Politik warga juga harus dikuatkan. Salah satunya dengan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan tidak hanya soal kewarganegaraan, tetapi juga soal demokrasi, identitas nasional, Pancasila, jender, dan HAM. Nilai-nilai ini yang tidak bisa lepas dari praktik demokrasi sehari-hari.
Bersama-sama dengan pembangunan institusi, niscaya demokrasi di Indonesia akan bisa tumbuh dan juga menghasilkan masyarakat yang adil dan makmur.