Rotan Bengkayang yang Lebih Dihargai di Negeri Jiran
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Para perajin rotan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, kesulitan memasarkan produk di pasar negerinya sendiri. Kerajinan mereka justru lebih dihargai di negara jiran, Malaysia. Pasar negara tetangga memberikan harapan sehingga semangat berkarya perajin rotan di Bengkayang pun tak padam.
Sabtu (28/4/2018), Roslinda (40), pemilik Sentra Kerajinan Bidai Hastakarya, di Desa Jagoi, Kecamatan Jagoi Babang, sibuk mengerjakan kerajinan bidai, yakni tikar dari rotan. Bidai tersebut pesanan pembeli dari Malaysia. Hari itu dia bekerja sendiri karena karyawan yang biasa membantunya mengerjakan pesanan konsumen sedang berhalangan.
Setiap minggu sentra kerajinan milik Roslinda mendapat pesanan dari konsumen Malaysia sebanyak delapan bidai berukuran 2 meter x 3 meter. Bidai ukuran 2 meter x 3 meter dijual dengan harga Rp 900.000 atau sekitar 300 ringgit per bidai.
Sebetulnya pesanan dari Malaysia bisa lebih dari delapan bidai per minggu, bahkan bisa mencapai belasan. Namun, sentra kerajinan itu mengerjakannya secara manual sehingga kemampuan mereka terbatas. Mereka hanya bisa mengerjakan delapan bidai.
”Kalau di Malaysia, bidai selain untuk alas di ruang tamu juga dipajang di dinding dan untuk tempat berbaring. Bidai ada yang bermotif, ada juga yang polos. Motifnya bermacam-macam, tetapi yang sering dipesan motif perisai dan rantai. Semakin sulit motif yang dipesan konsumen, semakin mahal,” tutur Roslinda.
Dengan pesanan yang selalu ada dari Malaysia, Roslinda mendapatkan keuntungan Rp 250.000 per lembar dari penjualan bidai tersebut. Dengan adanya keuntungan tersebut, dia juga bisa membeli bahan baku lagi sehingga ada keberlanjutan produksi.
Rotan didatangkan dari Kalimantan Tengah. Harga per ikat yang terdiri dari 500 batang rotan Rp 130.000. Dalam sebulan, ia memesan rotan dua kali kepada penjual di Kalimantan Tengah. Selain rotan, ia juga harus membeli bahan baku lain, yakni kulit kayu. Harganya Rp 23.000 per kilogram.
”Kalau kulit kayu, masih bisa dipesan dari penduduk di Bengkayang. Saya memesan kulit kayu seminggu sekali kepada penjual di Bengkayang. Untungnya, masih ada bahan bakunya saat ini. Tidak sesulit mencari rotan,” ujar Roslinda.
Tahun lalu, sentra produksi itu tidak berproduksi selama sebulan karena kesulitan bahan baku, khususnya rotan. Bahan baku di Bengkayang sudah tidak begitu memadai lagi sehingga menyulitkan perajin.
Tantangan pasar
Mereka akan kesulitan membeli bahan baku dan berproduksi secara berkelanjutan jika hanya berharap pada pasar dalam negeri. Sebab, penjualan di dalam negeri minim. Usaha mereka terancam tutup.
Kalau di pasar dalam negeri, dalam sebulan belum tentu akan laku satu bidai. Hal itu yang membuat banyak perajin berhenti berproduksi. Roslinda pernah memiliki 16 karyawan, tetapi saat menghadapi masa-masa sulit, banyak karyawan yang berhenti. Mereka pindah bekerja ke Malaysia. Kini tinggal ada tiga karyawan yang membantunya.
”Dulu rata-rata setiap rumah membuat kerajinan bidai. Sekarang tidak banyak lagi yang bertahan di Desa Jagoi tersebut karena tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Mereka beralih ke pekerjaan lain. Bagi yang mampu terhubung dengan pasar Malaysia, akan bertahan,” ungkap Roslinda.
Peluang pasar di negara tetangga membuat gairah mereka dalam memproduksi kerajinan warisan nenek moyang tetap bertahan di tengah tantangan di dalam negeri. Masa depan mereka terselamatkan. Apalagi, daerah Jagoi Babang memang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia.
Demikian juga Susi (35), perajin bidai dari Desa Seluas. Ia bahkan fokus pada pesanan dari Malaysia karena ada kepastian pasar. Maka, ia berusaha memenuhi pesanan konsumen dari Malaysia sebaik mungkin agar tetap mendapatkan tempat di pasar Malaysia.
Munjir (40), perajin lain, setiap akhir pekan memanfaatkan pasar tradisional di Serikin, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, untuk menjual bidai. ”Di Serikin, dengan harga jual Rp 900.000 per bidai, tidak sulit menjualnya. Kalau di Indonesia, harga Rp 700.000 per bidai saja orang sudah mengeluh mahal,” ujarnya.
Di Serikin, dengan harga jual Rp 900.000 per bidai, tidak sulit menjualnya. Kalau di Indonesia, harga Rp 700.000 per bidai saja orang sudah mengeluh mahal.
Munjir bahkan sudah 12 tahun berjualan setiap akhir pekan di Sarawak. Hanya dengan cara itu, ada keberlanjutan usaha bidainya. Ia merasa ada kepastian pasar di sana meskipun harus menyewa lapak warga Malaysia 20-40 ringgit atau Rp 70.600-Rp 141.200 setiap Sabtu hingga Minggu. Dalam dua hari tersebut, belasan bidai bisa habis terjual.
Perajin di kampung kreatif Desa Sekida, Kecamatan Jagoi Babang, juga demikian. Karya-karya warga kampung kreatif kebanyakan dijual ke Malaysia. Hasil anyaman mereka dijual kepada pengumpul, kemudian dibawa ke Malaysia.
Saat Sarawak akan melaksanakan acara budaya, biasanya pesanan dari Malaysia akan semakin banyak untuk mengisi stan pameran-pameran di Sarawak. Pesanan mencapai puluhan untuk tiap produk kerajinan.
Menjelang Natal biasanya pesanan juga banyak. Sementara di luar masa khusus itu, hanya ada dua atau tiga buah produk per bulan. Biasanya kerajinan yang dipesan adalah tas yang terbuat dari rotan.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman mengatakan, perlu ada intervensi pemerintah untuk membuka pasar di dalam negeri bagi perajin tersebut. Pemerintah perlu membuat terobosan, misalnya membantu perajin agar produk kerajinannya bisa masuk di gerai penjualan yang besar.
Selama ini, belum ada terobosan untuk membantu mereka. Kalaupun ada pameran dari pemerintah daerah, itu hanya secara konvensional. Mereka hanya hadir sekadar ikut pameran, tidak membantu pemasaran dalam arti yang sesungguhnya. Padahal, jika ada pasar alternatif yang besar di dalam negeri, hal itu bisa menjadi pilihan alternatif saat ada gejolak di pasar Malaysia.
Kepala Seksi Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Bengkayang Yohanes Junaidi mengakui, memang belum ada terobosan yang dilakukan karena melihat perajin lebih banyak merambah pasar Malaysia. Namun, upaya untuk membuka pasar alternatif di dalam negeri telah dilakukan melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah di tingkat kabupaten yang selalu berupaya mempromosikan produk perajin setiap pameran.