Bagi Jakarta dan juga bagi Indonesia, Tanah Abang bukan sekadar pasar biasa. Selain menjadi rujukan untuk mencari produk tekstil murah, trendi, dengan berbagai pilihan dari sisi kualitas, Tanah Abang punya jejak sejarah panjang yang terkait dengan perkembangan Ibu Kota dan negeri ini.
Manajer Promosi Pasar Blok A Tanah Abang Hery Supriyatna, Rabu (16/5/2018), mengatakan, yang disebut kawasan Pasar Tanah Abang adalah Blok A, B, C, F, G, Metro Tanah Abang, Pusat Grosir Tanah Abang Ruko AURI, hingga ruko-ruko dan pasar-pasar pedagang kaki lima hingga Jalan Jati Baru.
Sebelumnya, kawasan Tanah Abang ini adalah Blok A, B, C, D, E, F, dan G. Namun, saat ini Blok D dan E telah dilebur menjadi Blok A dan B. Pengelolaan pasar di kawasan ini oleh PD Pasar Jaya melingkupi Blok A, B, F, dan G dan pihak swasta, seperti Metro Tanah Abang, Blok C, dan Jati Baru.
Ada juga Pasar Tasik (Tasikmalaya, Jawa Barat). Lokasinya semula di lahan bongkaran di seberang Pasar Blok G, Tanah Abang. Namun, saat ini Pasar Tasik yang buka hanya Senin dan Kamis telah berpindah di Jalan Cideng Timur. Pasar ini dibuka mulai pukul 05.00-11.00.
Jejak Belanda
Sejak awal diresmikan Pemerintah Hindia Belanda pada 30 Agustus 1735, Pasar Tanah Abang sudah terkenal sebagai pasar tekstil. Selanjutnya, pasar ini terus berkembang hingga menjadi bursa tekstil, pakaian jadi, dan batik produk dalam negeri.
Awalnya, pedagang grosir dan agen di pasar ini beragam, di antaranya Arab, China, dan kaum pribumi. Mereka menjual dagangan bervariasi, seperti sebagian besar pedagang orang Arab menjual pakaian ibadah lengkap dengan berbagai pernak-pernik dari Mekkah, misal pakaian wanita dan pria, sajadah, sorban, hingga tasbih.
Pasar Tanah Abang ini juga pernah menjadi pusat penjualan ternak kambing. Dalam sejarahnya, saat penjajahan Belanda, wilayah perluasan Kota Batavia adalah tanah pribadi milik orang kaya Belanda. Mereka menyewa dan menjual kepada saudagar Arab dan orang China (partikelir) untuk mengelolanya menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan dibawa dengan perahu melalui kanal dari arah selatan Tanah Abang melalui Kali Krukut.
Para pedagang ternak menggunakan bukit Tanah Abang sebagai tempat persinggahan sekaligus menggembalakan ternak yang kebanyakan adalah kambing. Saat itulah, Pasar Tanah Abang juga dikenal sebagai Pasar Kambing yang menyatu dengan kawasan pasar tekstil.
Namun, Pasar Kambing oleh pedagang turun-temurun ini sempat menghilang dan dipindahkan ke belakang Pasar Tanah Abang saat pasar tersebut diremajakan.
Tak hanya itu, kawasan Pasar Tanah Abang juga dikenal sebagai lahan pemakaman. Mengingat letaknya di pinggiran kota, sejak tahun 1795, di kawasan itu menjadi tanah pekuburan. Kala itu, tanah kuburan tersebut khusus untuk pemakaman bagi pemuka masyarakat. Jenazah mereka dibawa dengan menggunakan perahu lewat Kali Krukut yang mengalir di sisi timur kuburan.
Lahan pemakaman ini ditutup dan dibongkar tahun 1976. Saat dibongkar, beragam model nisan ada di tempat itu, mulai yang berbentuk patung, nisan menara bergaya gotik, hingga salib dari marmer, dan sebagainya.
Peremajaan dan kebakaran
Kemudian, lahan itu sebagian besar dibangun kantor Wali Kota Jakarta Pusat. Sebagian lahannya lagi dibangun Taman Prasasti di Tanah Abang I.
Bangunan pasar tekstil masih terlihat kokoh sampai tahun 1973. Namun, karena pedagang terus bertambah dan pengunjung ikut meningkat, pasar tersebut tidak lagi memadai dan sumpek sehingga saat itu pemerintah meremajakannya.
Selanjutnya, pasar tekstil ini mengalami kebakaran besar sampai tiga kali dan yang terbesar pada 19 Februari 2003. Saat itu, pasar tekstil direnovasi secara besar-besaran dan menjadi pusat perbelanjaan germen, tekstil, dan pernak-perniknya bergaya modern.