YOGYAKARTA, KOMPAS—Letusan magmatik pada Gunung Merapi harus diwaspadai. Masa istirahat letusan magmatik sudah mendekati masa akhir yang biasanya terentang dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun.
“Kita perlu bersiap-siap karena masa istirahat pasca erupsi 2010 ini sudah memasuki tahun ke-8. Sementara masa istirahatnya ada yang sembilan tahun dan sebelas tahun,” kata Kepala Seksi Gunung Merapi Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Agus Budi Santoso, dalam diskusi bertema “Kupas Tuntas Erupsi Freatik”, di Yogyakarta, Minggu (20/5/2018).
Kita perlu bersiap-siap karena masa istirahat pasca erupsi 2010 ini sudah memasuki tahun ke-8. Sementara masa istirahatnya ada yang sembilan tahun dan sebelas tahun.
Agus menyampaikan hal itu terkait dengan terjadinya letusan freatik Merapi, Jumat (11/5/2018). Letusan freatik itu merupakan bagian dari karakter Merapi setelah terjadi erupsi besar. Letusan itu juga terjadi beberapa kali dan bukan terbesar. Letusan terakhir jadi letusan freatik ke-8 pasca erupsi besar pada 2010.
Guru Besar Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada Kirbani Sri Brotopuspito mengatakan, setelah erupsi besar 1872 dan 1930, dalam kurun waktu 9-12 tahun, itu berlanjut dengan erupsi freatomagmatik ataupun magmatik.
“Kita harus lebih berhati-hati dan cermat mengikuti apa saja gejala yang terjadi di Gunung Merapi serta menganalisisnya. Tujuannya agar nanti dapat dimodelkan dengan benar masing-masing gejala itu,” kata Kirbani.
Terkait hal itu, Agus menyatakan, kapasitas semua pemangku kepentingan dan masyarakat pun penting untuk ditingkatkan dalam upaya penanggulangan bencana Merapi. Hal itu harus mulai dipersiapkan sejak sekarang di samping terus melakukan pemantauan terhadap aktivitas gunung berapi itu.
Terkait letusan freatik, Agus menjelaskan, letusan dengan jenis tersebut tak bisa diprediksi. Namun, letusan itu tidak berbahaya karena tidak disertai awan panas. Berdasarkan studi oleh peneliti vulkanologi Barbery (1992), dari 150 letusan freatik dan freatomagmatik (letusan freatik disertai material magma) itu tidak disertai tanda-tanda.
Dari satu letusan ke letusan yang lainnya tanda-tandanya tidak bisa disamakan.
“Prekursor (pertanda) dari letusan itu tidak konsisten. Ada yang letusan didahului gempa, tetapi ada yang tidak. Parameter itu tidak bisa dijadikan dasar,” kata Agus.
Namun, Kirbani berpendapat, ada hal yang bisa dijadikan indikator terjadi letusan freatik yakni pergerakan panas. Hal itu bisa dipantau dengan kamera infra merah yang merekam aktivitas Puncak Merapi.
Berdasarkan laporan dari kamera infra merah itu terlihat aktivitas panas di tempat terjadi letusan freatik itu tidak melebihi suhu 100 derajat celcius. Dengan suhu itu, materi yang terkandung bukan magma melainkan uap air. Adanya uap air yang pecah itu mendasari terjadinya letusan freatik sehingga tidak memuat material magma.
Agus mengatakan, salah satu alasan tak bisa menduga terjadi letusan freatik adalah, alat-alat yang dimiliki masih fokus untuk memantau aktivitas magmatik. Saat ini, upaya yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan pemantauan suhu dan gas di kawasan Puncak Merapi.
Mawas diri
Letusan freatik sulit diprediksi. Pada kejadian terakhir, letusan itu baru diketahui akan terjadi hanya 15 menit sebelum terjadi letusan. Sementara masih ada sekitar 160 pendaki yang sedang mendaki di Gunung Merapi, Jumat itu.
Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi Wilayah II Singgih Rudi Setiyanto mengatakan, para pendaki diharapkan lebih mawas diri dan sadar untuk tidak naik di batas yang ditentukan. Itu untuk memudahkan evakuasi jika terjadi hal serupa di masa mendatang.
Singgih menambahkan, saat ini batas tertinggi pendakian adalah Perkemahan Pasar Bubrah, Boyolali, Jawa Tengah. Di atas tempat itu, hanya boleh digunakan untuk kepentingan penelitian atau mitigasi bencana.
Standar operasional pendakian mungkin akan ditambahkan setelah terjadinya letusan freatik itu. “Mungkin, akan ada peralatan tambahan seperti wajib menggunakan helm agar lebih aman. Peralatan komunikasi akan menjadi tambahan lain untuk memudahkan pemberian informasi kepada para pendaki bila terjadi kejadian mendadak,” kata Singgih.
Saat ini, jalur pendakian masih belum ditutup dan belum ada kepastian kapan akan dibuka lagi. Pihak Balai Taman Nasional Gunung Merapi masih ingin memastikan kawasan benar-benar sudah aman untuk pendakian.