Habibie Butuh Rakyat setelah Hari-hari Kelam
22 Mei 1998
Hari Jumat, 22 Mei, 20 tahun silam, halaman pertama harian Kompas menurunkan berita utamanya berjudul "BJ Habibie Minta Dukungan Rakyat". ”Saya mengharapkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama dapat keluar dari krisis yang sedang kita hadapi, yang hampir melumpuhkan berbagai sendi-sendi kehidupan bangsa,” katanya.
Selain berita utama itu, masih ada lima berita lagi yang dipasang di halaman pertama, dan semuanya mengabarkan tentang peristiwa paling penting dalam perjalanan demokrasi bangsa, yang terjadi pada hari sebelumnya. Pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka. Penguasa Orde Baru itu mundur 70 hari setelah dikukuhkan kembali pada 10 Maret 1998 untuk menjadi Presiden untuk tujuh kalinya hingga tahun 2003 dan menyerahkan kekuasaannya kepada BJ Habibie sebagai penerusnya.
Baca juga: Masyarakat Kian Tak Sabar Ganti Presiden
Baca juga: Dua Bulan Setelah Dipilih, Soeharto Didesak Mundur
Tidak ada upacara besar pada saat Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Tidak ada seremoni megah. Bahkan tidak banyak orang hadir disana. Hanya ada Pak Harto yang datang didampingi putrinya Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut. Lalu ada Wakil Presiden BJ Habibie dan tiga menteri Kabinet Pembangunan VII yaitu Menteri Kehakiman Muladi, Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid, Menteri Penerangan Muhammad Alwi Dahlan dan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto.
Selain itu, hadir juga Ketua MPR/DPR Harmoko bersama empat Wakil Ketua DPR yaitu Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, Ismail Hassan Metareum, dan Sekjen DPR Afif Ma’roef. Sama sekali tak berkesan sebuah acara penyerahan kekuasaan, apalagi pelantikan presiden. Yang agak sibuk hanya pegawai sekretariat negara dan beberapa kru televisi yang akan menyiarkan acara.
Soeharto berbicara di depan mikrofon yang dipasang lebih untuk kepentingan siaran dan dokumentasi. Suaranya tetap terdengar tenang, kalem, santun, tak meledak-ledak, seperti biasa ditunjukkan Soeharto. Bedanya, kali ini tidak ada senyum ramah dari Soeharto yang juga dijuluki the Smiling General itu. “Sejak beberapa waktu terakhir saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional” (Kompas, Jumat, 22/5/1998).
Presiden Soeharto melanjutkan “Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak data terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi” (Kompas, Jumat, 22/51998).
Baca juga: Hari-hari Berat Menuju Klimaks Presiden Berhenti
Baca juga: Soeharto Mau Mundur, Benarkah?
“Dengan kenyataan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Karena itu, dengan memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden, terhitung sajak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998,” ujar Soeharto (Kompas, Jumat, 22/5/1998).
Presiden Soeharto menegaskan, “sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden Prof Dr Ir BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandatars MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945."
Soeharto lalu menyatakan, “karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga akan melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung. “
Habibie pun maju ke mikrofon yang sama dan mengucapkan sumpah. Selesai sudah pergantian kekuasaan negara. Soeharto menjabat tangan Habibie, lalu pulang meninggalkan Istana Merdeka. Masih dikawal petugas pengawal dan ajudan yang sama, tapi mobil Mercedes Benz hitam yang ditumpanginya tidak lagi bernomor polisi B-1, tapi berubah menjadi B 2044 AR. Acara berjalan tak lebih dari 10 menit.
Berita utama harian Kompas terbitan Jumat, 22 Mei 1998, berjudul "BJ Habibie Minta Dukungan Rakyat" itu tidak lain merupakan salah satu bagian dari isi pidato Presiden Ketiga RI, BJ Habibie. Dalam pidato pertamanya di Istana Merdeka, Kamis (21/5/1998) malam, Habibie mengharapkan dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai Presiden ke-3 RI. ”Saya mengharapkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama dapat keluar dari krisis yang sedang kita hadapi, yang hampir melumpuhkan berbagai sendi-sendi kehidupan bangsa,” katanya.
Baca juga: Saatnya Keluar dari Bayang-bayang Soeharto
Pengalihan kekuasaan yang bersejarah itu berlangsung 10 menit di credentials room Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (21/5/1998), yang didahului gelombang aksi reformasi dari ribuan massa mahasiswa, yang didukung para cendekiawan, tokoh masyarakat, purnawirawan , dan ibu-ibu rumah tangga di berbagai kota. Seusai Habibie mengucapkan sumpah, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto antara lain mengatakan, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto beserta keluarganya.
Usai Soeharto mundur
Usai Soeharto "lengser keprabon" suasana di luar istana tampak biasa saja. Menurut harian Kompas, pergantian presiden tampaknya tak terlalu menjadi perhatian warga di seputar Jakarta. Tidak terlihat adanya luapan kegembiraan berlebihan atau konvoi-konvoi warga berkeliling kota menyambut presiden baru. Tampaknya warga tidak begitu peduli akan peristiwa besar itu.
Selain hari Kamis, 21 Mei 1998, itu hari libur peringatan Kenaikan Isa Almasih, juga karena peristiwa traumatis kerusuhan 14-15 Mei baru terjadi seminggu sebelumnya. Banyak yang menghindari pusat keramaian atau kerumunan. Pusat pertokoan seperti Pasar Senen, Megamal Pluit, Pasar Baru, Manggadua, yang selamat dari amukan massa seminggu sebelumnya, tutup. Banyak yang belum berani buka. Bahkan tempat rekreasi seperti Taman Impian Jaya Ancol juga terlihat sepi.
Satu-satunya titik keramaian di Jakarta adalah DPR/MPR dan sekitarnya, tempat dimana ribuan mahasiswa justru tak kenal lelah, konsisten dengan perjuangan mereka menurunkan Presiden Soeharto, sejak sebelum Sidang Umum MPR pada Maret 1998. Di sini kerumunan massa bergembira atas pengunduran diri Soeharto.
Hari-hari sesudahnya, 20 tahun yang lalu, memang masih ada mahasiswa, aktivis atau politisi yang berteriak meminta agar Soeharto diadili. Tuntutan digaungkan hingga tahun-tahun berikutnya. Namun, Soeharto sendiri menjalani hari-harinya secara tenang di kediamannya Jalan Cendana Menteng. Usaha mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya memburuk hingga dia meninggal 27 Januari 2008 atau 10 tahun setelah dia mundur.
Di luar tuntutan yang terus diteriakkan, hari-hari usai kemunduran Soeharto adalah hari-hari penuh optimisme dan kegairahan membangun dunia baru. Era reformasi makin mendapatkan tempatnya lewat kepemimpinan Habibie sebagai Presiden. Lewat proses yang nyaris tanpa persiapan, Habibie membawa negara ini menyiapkan bagian tahapan baru kehidupan politik Indonesia yang lebih demokratis.
Di era BJ Habibie, sebagian besar energi disalurkan untuk membuka pintu-pintu demokrasi yang selama 32 tahun lebih ”ditutup” rezim Orde Baru. Di era ini, paket Undang-Undang (UU) politik direvisi, seperti UU Partai Politik Nomor 2 Tahun 1999, UU Pemilu No 3/1999, serta UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD No 4/ 1999. Habibie tak lama menjadi presiden. Cuma 17 bulan. Kekuasaannya berakhir 20 Oktober 1999. Pertanggungjawaban sebagai Presiden dalam sidang istimewa MPR ditolak.
Tulisan ini bukan tentang demokrasi yang terus bergulir dengan berbagai dinamikanya hingga sekarang. Tulisan ini justru ingin untuk menggugah keinginan tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi sebelum Soeharto menyatakan mengundurkan diri. Mengapa Soeharto menyerah?
Soeharto adalah tokoh yang dengan tangan dingin telah melewati berbagai kerusuhan dan manuver politik yang mengancam keberlangsungan kekuasaannya. Penyelesaian cara lembut maupun keras, bukan pilihan yang sulit diambil olehnya. Urusan strategi dan rekayasa politik, Soeharto adalah jagonya.
Baca juga: Soeharto Terus Mencoba Berkelit
Baca juga: Lengsernya Soeharto, Babak Baru Demokrasi Indonesia
Soeharto menjabat selama 7 periode, satu periode lewat penunjukan dari Presiden Soekarno, enam lainnya lewat pemilihan di MPR. Soeharto mulai menyatakan dirinya tidak berambisi menjadi presiden seumur hidup sejak 1994, setahun setelah dia dipilih keenam kalinya. Itu sebabnya, menjelang Sidang Umum MPR 1998 di tengah situasi krisis di berbagai bidang ekonomi maupun sosial, banyak yang menduga Soeharto akan menolak pencalonan kembali. Perkiraan itu ternyata keliru. Dia masih bersedia.
Kekuatan Soeharto adalah pada kemampuannya mengontrol. Masalah kontrol itu lah yang tampaknya mulai terasa justru setelah dia dipilih menjadi presiden lagi. Berbagai krisis yang berkelindan dan kejadian-kejadian yang eskalasinya sangat cepat setelah pasca tewasnya 4 mahasiswa Universitas Trisakti 12 Mei 1998 oleh tembakan aparat keamanan, mulai tak bisa dikendalikannya.
Peristiwa kelam
Semua maklum, pengunduran diri Soeharto didahului oleh serangkaian kerusuhan yang mematikan dan penjarahan massal. Namun, kerusuhan 13 hingga 15 Mei 1998, bukan lagi bagian dari aktivitas mahasiswa. Dari liputan Kompas dan awak berbagai media, kesaksian narasumber di lapangan, berbagai catatan dan testimoni yang berserak, kerusuhan itu terlalu rapi untuk disebut spontan. Kejadiannya begitu masif, sistematis dan serentak di lebih dari 80 titik di Jakarta, Bogor, dan Tangerang.
Pola kerusuhan dimulai dengan berkumpulnya massa setempat maupun pendatang dari luar kota, kemudian muncul provokator yang memancing massa lewat teriakan, memancing perkelahian atau membakar ban. Setelah itu provokator mendorong massa merusak bangunan, pertokoan disusul penjarahan dan pembakaran bangunan, perkosaan, dan pelecehan seksual. Kerusuhan ini menjadi kejahatan kemanusiaan yang memilukan dengan korban diduga mencapai 1.190 orang tewas terbakar, 27 orang terbunuh dan 90-an orang luka. Dalam skala berbeda, kerusuhan terjadi parsial di Medan (sebelum 13 Mei 1998), Surabaya, Solo, Boyolali, Banyuwangi, Palembang dan Lampung.
Baca juga: Amuk Massa yang "Menyebar" di Jabotabek
Baca juga: Jejak-jejak "Hantu" Kerusuhan Mei
Setelah serangkaian kerusuhan dan penjarahan selama lebih dari sepekan, Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya pada pada Kamis (21/5/1998) pagi. Soeharto menyerah. Dia menyelesaikan babak akhir dari kekuasaannya, dengan caranya sendiri. Mengapa dia memilih skenario mundur di Istana Merdeka?Mengapa dia hanya mengundang sedikit orang? Belum ada yang bisa menjawab.
Tak pernah terungkap, apa sebenarnya terjadi pada malam terakhir menjelang mundurnya Soeharto. Beberapa menteri dilaporkan berkumpul di kediaman Habibie. Presiden juga dikabarkan memanggil Wiranto ke kediamannya. Tapi tak satu pun yang memberikan keterangan. Mungkin ini saatnya mendorong para sejarawan untuk menelusuri kembali dan menuliskan seluruh proses dan kejadian yang menjadi akhir dari perjalanan dari sebuah periode bernama Orde Baru.
Jika tidak dilakukan sekarang, mungkin akhir kekuasaan Soeharto, akan sama misteriusnya dengan saat dia mendapatkan kekuasaannya dari tangan Presiden Soekarno lewat apa yang disebut Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Isinya Instruksi Soekarno kepada Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan. "Surat Perintah" itu hingga kini juga tidak pernah jelas. Pemerintah kini malah bingung, karena ketika ditelusuri, justru muncul tiga naskah, yang isinya berlainan. Tidak jelas mana yang benar.
Reformasi sudah 20 tahun. Tidak ada dokumen resmi yang bisa jadi acuan sejarah. Mungkin ini saatnya sejarawan menyusun sejarah lisan. Sejarah lisan (Oral History) menurut asosiasi sejarah lisan, adalah sebuah metode pengumpulan dan penyimpanan informasi kesejarahan termasuk catatan wawancara dari orang atau saksi peristiwa tentang masa lalu dan pandangan hidupnya.
Sejarah lisan pada dasarnya merupakan rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi yang terdapat di dalam memori setiap individu manusia. Bukankah bangsa besar adalah bangsa yang jujur terhadap sejarahnya sendiri ? Betapa pun kelamnya kisah-kisah yang terjadi di dalamnya, sejarah harus menjadi milik semua orang, bukan orang tertentu yang ingin menyembunyikan atau memutarbalik fakta.