JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan nilai tukar rupiah belum berakhir. Untuk itu, ekspor perlu ditingkatkan untuk menjaga stabilisasi rupiah. Namun, sejumlah kebijakan pemerintah dinilai menghilangkan momentum kalangan usaha untuk menggenjot ekspor.
Berdasarkan catatan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (22/5/2018), nilai tukar rupiah melemah dari Rp 14.176 menjadi Rp 14.178. Padahal, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pemerintah menargetkan nilai tukar rupiah bisa berada pada kisaran Rp 13.400.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, risiko pelemahan rupiah sesungguhnya sudah bisa terbaca sejak jauh-jauh hari. Menurut dia, sejalan dengan perbaikan perekonomian Amerika Serikat (AS) serta kebijakan ”Amerika First” Presiden AS Donald Trump, langkah bank sentral AS menaikkan suku bunga sudah bisa diantisipasi pemerintah.
”Ada keterlambatan pemerintah mengantisipasi kondisi saat ini,” ujar Hariyadi ditemui di Jakarta.
Ia menjelaskan, untuk menjaga nilai tukar rupiah, yang bisa dilakukan saat ini adalah menggenjot ekspor dan mengoptimalkan sebesar-besarnya substitusi impor. Dengan substitusi impor, bahan baku untuk keperluan produksi bisa dipenuhi dari dalam negeri. Impor pun bisa ditekan sehingga tidak membuat rupiah makin terpuruk.
Namun, Hariyadi menyayangkan sejumlah tindakan pemerintah yang dinilai kontraproduktif terhadap upaya substitusi impor. Hariyadi menyebut, kebijakan yang kontraproduktif itu membuat Indonesia kehilangan momentum untuk menggenjot ekspor.
Ia mencontohkan, kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar yang melarang penanaman pohon di lahan gambut. Kebijakan itu, katanya, membuat industri pengolahan kertas tidak dapat memenuhi bahan baku dari dalam negeri. Bahan baku pembuatan kertas pada akhirnya harus mengimpor.
Di sektor perikanan, kata Hariyadi, pengusaha mengeluhkan berlarutnya izin pembuatan kapal. Perizinan pembuatan kapal hingga operasionalnya membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.
”Padahal, potensi perikanan Indonesia sangat besar untuk ekspor. Tetapi, ikan tidak bisa ditangkap banyak karena kapal untuk menangkapnya terhambat perizinan. Kita kehilangan banyak momentum,” ujar Hariyadi.
Maksimalkan peluang
Di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, Hariyadi menyatakan, sejumlah peluang dapat dimaksimalkan pemerintah untuk menjaga stabilitas rupiah. Salah satunya mengoptimalkan pendapatan dari sektor pariwisata.
Pelemahan nilai tukar rupiah, katanya, bakal mendorong wisatawan mancanegara berbelanja lebih banyak di Indonesia. Hariyadi mencontohkan Thailand yang berhasil mendatangkan turis sebanyak-banyaknya. Turis di Thailand mencapai 32 juta orang, diperkirakan potensi devisa yang diperoleh bisa mencapai 32 miliar dollar AS.
”Mumpung nilai tukar sedang lemah, perbaiki ekspor dan maksimalkan pariwisata,” kata Hariyadi.
Di sisi lain, Hariyadi menyatakan, Apindo akan mengupayakan peningkatan ekspor pada tahun ini. Selain itu, Apindo juga bakal melakukan substitusi impor melalui investasi-investasi sehingga bahan baku produksi bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Pada 2017, realisasi ekspor Apindo mencapai 170 miliar dollar AS. Apindo menargetkan dapat menembus nilai ekspor hingga 200 miliar dollar AS pada 2018.
”Kami akan berupaya keras untuk ekspor,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan, melemahnya mata uang rupiah karena ada potensi pelebaran defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan Indonesia terjadi sejak lama dan pada triwulan I-2018 masih defisit 5,5 miliar dollar AS atau 2,1 persen dari produk domestik bruto (Kompas, 22 Mei 2018). Menurut Joshua, laju impor Indonesia cenderung lebih cepat dibandingkan ekspor.
Ia melanjutkan, pasar sedang menantikan apakah bank sentral AS bakal menaikkan kembali suku bunga acuannya. Apabila kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS berlanjut sehingga rupiah terus melemah, Joshua menilai Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk menaikkan kembali suku bunga acuan BI, tetapi dalam rangka menjaga makrostabilitas ekonomi.