Madina Nusrat/Ryan Rinaldi/Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
Dartam (32) tampak kebingungan saat keluar dari kantor Layanan Terpadu Satu Atap Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pada Kamis (3/5/2018). Tujuannya mendatangi kantor itu adalah untuk memperoleh informasi terkait persyaratan membuat paspor untuk tenaga kerja Indonesia. Namun, bukannya informasi yang diperoleh, dia malah dituduh petugas di kantor itu berniat menjadi TKI ilegal.
”Mau ngapain, Pak. Daftar ke sini harus lewat PT (perusahaan tenaga kerja yang menjadi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS). Kalau tidak lewat PT, itu ilegal,” kata seorang petugas di kantor LTSA Indramayu kepada Dartam.
LTSA Indramayu merupakan satu dari 24 LTSA yang tersebar di kota dan kabupaten yang menjadi kantong TKI. Layanan itu merupakan gagasan Kementerian Ketenagakerjaan pada 2016, yang tujuannya menyediakan layanan satu atap bagi TKI dalam mengurus persyaratan administrasi untuk berangkat kerja di luar negeri.
Dartam yang merasa tak nyaman dengan teguran dari petugas lantas keluar dari kantor LTSA Indramayu. Namun, pandangan matanya masih mencari-cari petugas yang benar-benar bisa memberikan keterangan terkait persyaratan untuk memperoleh paspor untuk TKI.
”Saya hanya mau tanya apa saja persyaratan membuat paspor di sini (LTSA Indramayu). Itu saja. Namun, katanya tidak bisa buat (paspor) di sini karena harus lewat PT,” kata bapak satu anak ini.
Jika tak bisa mengurus paspor secara mandiri di LTSA, Dartam berharap ada petugas di kantor LTSA itu yang dapat memberikan penjelasan terkait persyaratan membuatan paspor. Dengan demikian, dia bisa mempersiapkan seluruh persyaratan itu dan mencoba untuk membuatnya di kantor Imigrasi Cirebon.
”Persyaratan itu, kan, harus saya siapkan, harus lengkap. Karena jika harus mengurusnya di Cirebon, saya harus menempuh perjalanan 50 kilometer. Kalau ada persyaratan yang kurang, nanti saya bisa bolak-balik, jaraknya jauh,” kata Dartam.
Dartam memiliki keinginan kuat untuk membuat paspor karena dia baru memperoleh ajakan dari kerabatnya bekerja sebagai sopir di Qatar. Kebetulan kerabatnya itu sampai saat ini masih bekerja sebagai sopir di Qatar dan perusahaan tempat saudaranya bekerja tersebut membutuhkan tambahan tenaga sopir.
”Informasi dari saudara saya, gajinya lumayan. Bisa Rp 5 juta sebulan. Syaratnya, saya harus buat paspor. Nanti berangkat, perusahaan di sana yang membiayai,” katanya.
Hanya hingga siang hari, Dartam tak juga memperoleh informasi yang dibutuhkan. Sementara dia juga menolak menggunakan jasa perusahaan tenaga kerja untuk mengurus keberangkatannya ke Qatar. Menurut dia, jika dia menggunakan perusahaan, maka dia akan terbebani dengan biaya keberangkatan sehingga gajinya akan dipotong setiap bulan.
”Kalau pakai perusahaan, potongannya besar. Saya tidak mau. Ya sudah, saya cari informasi lagi di tempat lain,” kata Dartam.
Minimnya informasi terkait proses pemberangkatan TKI membuat beberapa calon TKI dan keluarganya mepercayakan seluruh urusan keberangkatan itu kepada PPTKIS.
Agus (26), warga Pakis, Banyuwangi, Jawa Timur, misalnya, memercayakan seluruh persyaratan keberangkatan istrinya bekerja di Singapura itu kepada sponsor atau calo. Calo itu dianggap sebagai kepanjangan tangan PPTKIS di daerah.
Minimnya informasi terkait proses pemberangkatan TKI membuat beberapa calon TKI dan keluarganya memercayakan seluruh urusan keberangkatan itu kepada PPTKIS.
”Informasi dari saudara saya, semua urusan keberangkatan dan biaya ke Singapura itu akan ditangani PT. Nanti istri saya tinggal berangkat ke Singapura dan rencananya kerja sebagai pekerja rumah tangga,” kata Agus.
Oleh karena itu, Agus pun tak mengetahui persis biaya pembuatan paspor untuk istrinya bekerja sebagai TKI. Dia hanya memperoleh informasi dari sponsor bahwa istrinya akan digaji Rp 6,3 juta per bulan selama di Singapura.
Gaji itu, katanya, akan dipotong setiap bulan sebesar Rp 4 juta dan pemotongan akan berlangsung selama enam bulan. ”Jadi, mungkin total biaya keberangkatan istri saya ke Singapura itu sekitar Rp 24 juta,” kata Agus.
Padahal, berdasarkan struktur pembiayaan keberangkatan TKI yang diterbitkan pemerintah pada 2009, biaya keberangkatan TKI yang baru berangkat ke Singapura itu Rp 12,3 juta. Bagi TKI yang sudah bekerja di Singapura dan akan kembali bekerja ke negeri itu maka biayanya ditetapkan Rp 5 juta hingga Rp 6 juta.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, hingga saat ini, TKI masih terbebani biaya pemberangkatan yang besar. Sebab, hingga saat ini, seluruh urusan keberangkatan TKI itu ditangani PPTKIS yang memiliki orientasi mencari keuntungan.
Ditambah lagi dengan keterlibatan calo dalam di setiap pengurusan administrasi keberangkatan TKI, itu juga menyebabkan biaya keberangkatan TKI menjadi besar.
”Sementara tak semua PPTKIS itu memiliki perilaku baik. Ada juga yang mengeksploitasi TKI dengan mempekerjakan TKI tak sesuai kontrak. Sejauh ini, pemerintah baru melaksanakan penindakan terhadap PPTKIS yang nakal dan belum dilakukan pencegahan. Dengan demikian, TKI masih rawan terjerat PPTKIS yang tak bertanggung jawab,” katanya.
Karena itu, sikap aktif pemerintah daerah memberikan informasi yang lengkap terkait prosedur keberangkatan keluar negeri bagi calon TKI menjadi penting. Tak hanya menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik, tetapi peran pemda juga dibutuhkan untuk melindungi warganya dari jerat praktik percaloan yang dapat membuat calon TKI terbebani biaya keberangkatan yang tinggi hingga menjerumuskan calon TKI ke dalam perdagangan manusia.