Museum Ullen Sentalu, Kisah-kisah di Balik Tembok Keraton
Sepasang arca laki-laki dan perempuan di ruang ”Selamat Datang” Museum Ullen Sentalu tampak ”menenami” 10 pengunjung yang sedang menunggu giliran menelusuri lorong dan ruang pamer di museum tersebut, Rabu (18/4/2018).
Museum itu berada di sebuah bukit yang hening, tetapi udaranya sejuk oleh rimbunan pepohonan. Kawasan yang dikenal dengan nama ”Taman Kaswargan” itu terletak di Jalan Boyong Km 25, Kaliurang Barat, Hargobinangun, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Nama Ullen Sentalu—satu dari 32 museum di Yogyakarta—adalah singkatan dari ulating blencong sejatine tataraning lumaku yang berarti cahaya lampu blencong merupakan petunjuk dan penerang bagi manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan. Blencong adalah lampu berbahan bakar minyak kelapa sebagai penerang dalam pertunjukan wayang kulit.
Museum ini menampilkan benda koleksi, seperti foto para raja dan permaisuri yang mengenakan berbagai pakaian, gamelan, lukisan, termasuk lukisan Pangeran Charles-Putri Diana yang diapit Sri Sultan Hamengkubowo X dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, kain batik gaya Yogyakarta dan Solo, topeng dan arca yang menggambarkan budaya dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram yang terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran, dan Kadipaten Paku Alaman.
”Kita akan tur selama 50 menit. Bapak dan ibu tidak boleh berswafoto dan memotret benda-benda koleksi yang ada di ruang pamer,” ujar Intan, pemandu, sebelum masuk mengawali tur dari Goa Selo Giri, Ruang Syair Putri Tinneke, Royal Room Ratu Mas (permaisuri Sunan Pakubuwono X), Ruang Batik Vorstendlanden, Batik Pesisiran, Putri Dambaan, dan Ruang Retja Lenda (museum outdoor memamerkan arca dewa-dewi Hindu dan Buddha abad VIII-IX Masehi).
Pembangunan museum di atas tanah seluas 1,2 hektar milik keluarga Hartono ini dirintis tahun 1994. KGPAA Paku Alam VIII, Gubernur DIY, meresmikannya pada 1 Maret 1997. Kunjungan dibuka untuk umum pada pukul 09.00-16.00 dengan membayar tiket Rp 40.000 (dewasa) dan Rp 20.000 (anak-anak).
Pengunjung mengawali tur dari Goa Selo Giri ke Ruang Seni Tari dan Gemelan. Goa buatan ini berada di bawah tanah dan dilengkapi lorong agak gelap yang diapit dinding batu sehingga terasa ada aura mistisnya. Misalnya, di Ruang Seni Tari dan Gamelan terpajang seperangkat instrumen Gamelan Kiai Kukuh, sumbangan seorang pangeran Keraton Yogyakarta, disinari cahaya temaram lampu listrik.
Perhatian pengunjung umumnya tertuju pada ruang koleksi kain batik gaya Yogyakarta dan Solo dengan motif ceplok madu bronto (ceplok: kuntum bunga, bronto: cinta), udan liris (hujan germis). ”Gaya batik Yogya, warna kainnya putih dan ornamennya warna coklat agak pekat. Gaya batik Solo, warna putih kekuningan dan warna coklatnya agak lembut, bak putri solo,” kata Intan.
Kemudian ke ruang syair GRA Koes Sapariyam atau Putri Tinneke (putri Sunan PB XI, Surakarta). Di ruangan ini ada koleksi 29 puisi yang ditulis pada tahun 1939-1947. Puisi yang menunjukkan talenta dan kecerdasan intelektual kerabat ditulis dalam bahasa Indonesia, Belanda, dan Inggris, disertai foto yang ditempel oleh penulis. Temanya adalah memberi semangat kepada Tinneka yang perjodohannya ditentang oleh orangtua.
Gusti Noeroel
Ruang Putri Dambaan menampilkan foto ”album kehidupan” GRA Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani atau Gusti Noeroel pada 1921-1951. Putri tunggal KGP Adipati Aryo Mangkunegoro VII-Gusti Kanjeng Ratu Timur ini hobi menunggang kuda, lihai menari, dan menjadi primadona karena kecantikannya. ”Bila beliau tersenyum mirip artis Julia Perez,” ujar Intan.
Saat usia 15 tahun, Gusti Noeroel diundang menari ke Istana Noodeinde, Belanda, oleh Ratu Wilhelmina sebagai kado pernikahan putrinya, Ratu Juliana. Ia membawakan Tari Serimpi dengan iringan musik gamelan yang disiarkan Solosche Radio Vereeniging di Solo. Karena parasnya yang ayu, beberapa pejabat negara dan raja sempat meminangnya, tetapi ia menolak karena pelamarnya sudah beristri. Ia menentang poligami, kemudian menerima pinangan Letkol RM Soerjo Soejarso.
Publik
”Dari fisik museum dan benda koleksinya, kita mendapat gambaran dan menguak kisah-kisah di balik dinding keraton Dinasti Mataram Islam, yang selama ini tidak diketahui publik,” kata Rudy asal Jakarta saat melenggang menuju pintu keluar museum yang berada di kaki Gunung Merapi itu.
Pembangunan ruang bawah tanah menunjukkan, pemiliknya memahami pentingnya konservasi. Ia enggan mengorbankan populasi pohon untuk membangun fisik museum. Para pengunjung juga mendapat informasi berharga, seperti adanya permaisuri yang selalu membawa puluhan kunci ruangan istana mengingat dalam ruang itu tersimpan barang berharga sehingga tidak sembarang orang bisa masuk ruangan itu.
Kemudian perbedaan gaya batik Yogya dan Solo atau gelar permaisuri tidak harus diberikan kepada istri raja, tetapi kepada ibu dan putri raja sebab permaisuri adalah jabatan. Misalnya, Pakubuwono XII memberikan gelar permaisuri kepada ibunya—belakangan dipanggil ”Ibu Suri”.
Sebelum mengakhiri tur, di ruang jeda, Intan membawa beberapa gelas minuman jamu yang mengikuti resep berupa tujuh bahan alami yang dibuat salah seorang Putri Solo.
”Minum jamu ini (konon) bikin awet muda bagi peminumnya,” ujar Intan berkelakar kepada seorang lelaki setengah baya yang tengah menenggak jamu itu. Yang pas adalah minum jamu itu menghilangkan haus setelah menelusuri lorong dan ruang museum itu.