Pembangunan Manusia Indonesia Tumbuh Tetapi Melambat
Pembangunan manusia Indonesia selama 20 tahun reformasi terus bertumbuh. Namun, berbagai persoalan mendasar yang menghadang membuat pertumbuhan kualitas manusia Indonesia terus melambat.
Krisis ekonomi tahun 1998 yang berujung pada reformasi politik Indonesia memberi dampak besar pada pembangunan manusia Indonesia. Meski kini ekonomi Indonesia mulai pulih, laju pertumbuhan pembangunan manusianya mampu menyaingi pertumbuhan di era 1990-2000.
Sejak 1990 hingga 2015, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tumbuh 30,5 persen atau 1,07 persen per tahun. Pertumbuhan itu lebih rendah dibanding sejumlah negara anggota G20 yang ekonominya tumbuh pesat, seperti China 1,57 persen per tahun, India (1,52), dan Turki (1,15).
Laporan Pembangunan Manusia 2016 Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menyebut IPM Indonesia 0,689 atau ada di kelompok negara dengan mutu manusia menengah. IPM Indonesia ada di posisi 113 dari 188 negara.
Jika indikator kesenjangan diperhitungkan, IPM Indonesia anjlok 18,2 persen jadi 0,563. Kesenjangan pendapatan dan pendidikan antarjender dan wilayah jadi kendala besar. Dibandingkan negara-negara Asia Timur dan Pasifik, kesenjangan pendidikan dan harapan hidup Indonesia lebih buruk, tapi kesenjangan pendapatan dan jendernya lebih baik.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Turro Selrits Wongkaren, di Jakarta, Minggu (20/5/2018), mengatakan salah satu yang membuat indikator kesehatan dalam IPM Indonesia sulit tumbuh tinggi adalah melambatnya pelaksanaan program keluarga berencana.
Pada 2002-2012, jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur (TFR) Indonesia stagnan di angka 2,6. Padahal pada 1991-2002, TFR berhasil diturunkan dari 3 menjadi 2,6. Stagnannya program KB itu berimplikasi besar pada indikator kesehatan dasar yang dampaknya merembet ke pendidikan dan ekonomi.
Melemahnya program KB membuat angka kematian ibu, kematian bayi, balita pendek (stunting), angka kesakitan penyakit menular tinggi dan kesakitan penyakit generatif menanjak. Ujungnya, beban kesehatan dan kerugian ekonomi yang ditanggung membengkak.
Untuk pendidikan, reformasi memberi angin segar dengan dipatoknya anggaran pendidikan dalam Amendemen UUD 1945 sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kenaikan itu meningkatkan akses pendidikan masyarakat.
Namun, kinerja anggaran besar itu belum optimal. Sekolah rusak masih jadi masalah. Pendidikan bermutu belum merata. Di sisi lain, rendahnya kualitas pendidikan dikeluhkan industri.
Tujuan akhir dari proses pendidikan pun mengambang. Kurikulum kerap berganti meski relevansinya dengan kebutuhan bangsa ke depan dipertanyakan.
Survei Lembaga Demografi Universitas Indonesia 2015 terhadap lulusan perguruan tinggi (PT) menunjukkan 48 persen lulusan PT bekerja dengan kualifikasi pekerjaannya lebih rendah dari tingkat pendidikannya. Sementara 22 persen lulusan PT bekerja tak sesuai jurusannya dan 40 persen lulusan bekerja di bidang yang bisa menampung lulusan jurusan apa pun.
Di sisi lain, saat ini pemerintah menekankan pada pendidikan vokasi. Namun justru lulusan sekolah menengah kejuruan itu paling banyak menganggur. Berbagai ketidakcocokan itu menunjukkan, "Koordinasi antara lembaga pencetak dan pengguna tenaga kerja masih belum optimal," kata Turro.
Berbagai soal kesehatan dan pendidikan itu membuat peningkatan pendapatan masyarakat sulit melaju. Kemiskinan sulit ditekan dan kesenjangan makin lebar, baik yang berbasis jender atau wilayah.
Tertinggal
Melambatnya kecepatan pertumbuhan pembangunan manusia Indonesia seharusnya jadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah. Dalam dunia makin mengglobal, persaingan antarbangsa dan antardaerah, jadi makin ketat.
Tertinggalnya pertumbuhan manusia Indonesia, khususnya dibanding China dan India, dinilai Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Agus Heruanto Hadna karena tertinggalnya kesadaran Indonesia untuk membangun manusianya.
Selain tertinggal, kebijakannya tak agresif. "Kalaupun pemerintah konsisten meningkatkan mutu sumber daya manusia, hasilnya paling cepat terasa setelah 5-10 tahun," ujarnya.
Kalaupun pemerintah konsisten meningkatkan mutu sumber daya manusia, hasilnya paling cepat terasa setelah 5-10 tahun.
Kebijakan pembangunan manusia di China dan India juga dinilai lebih terstruktur. China mengirim pemudanya untuk belajar di negara-negara maju dan mewajibkan mereka pulang. Mereka menyiapkan infrastruktur pendukung agar ilmu dipelajari bisa dimanfaatkan di negara asal demi kemajuan bangsa.
Di Indonesia, kondisinya sebaliknya. Banyak lulusan luar negeri kebingungan saat akan mengabdikan kemampuannya di Indonesia karena tidak tertampung dalam sistem yang ada, di sektor pendidikan dan ekonomi. "Integrasi antarberbagai sektor pembangunan jadi soal besar di Indonesia," kata Agus yang juga dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM.
Visi besar
Upaya mengintegrasikan berbagai program pembangunan jadi satu kebijakan utuh masih jadi masalah besar bagi Indonesia. Ego sektoral amat tinggi. Tiap sektor memiliki target sendiri yang kerap tak selaras dan saling bertentangan, seperti kebijakan pengendalian tembakau.
Reformasi nyatanya belum mengubah cara pikir bangsa mengintegrasikan berbagai sektor pembangunan jadi kebijakan utuh. Banyak kebijakan disusun hanya berdasar penilaian umum, bukan berbasis bukti ilmiah. Akibatnya, inovasi kebijakan pembangunan manusia sulit dilakukan.
"Tak ada visi besar ingin dicapai, termasuk pembangunan manusia," ucap Agus. Visi besar sulit dicapai karena tumpang tindihnya kepentingan politik praktis dan kepentingan kelompok menguat sejak reformasi.
Hal senada diungkapkan Turro. Sistem politik belum matang di Indonesia membuat arah pembangunan manusia Indonesia yang akan dicapai belum menemukan bentuknya.
"Situasi politik amat memengaruhi proses pembangunan manusia," ungkapnya. Melambatnya laju pembangunan manusia di Afrika Selatan dan Filipina diyakini tak lepas dari situasi politik dan kepempimpinan di negara itu.
Selain belum ada visi besar, reformasi mengubah dokumen jangka panjang pembangunan Indonesia dari Garis-garis Besar Haluan Negara menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Namun, pelaksanaan RPJPN amat bergantung dari kebijakan pemimpin, baik presiden, gubernur, bupati atau walikota yang periodenya hanya lima tahunan.
Kebijakan pembangunan lebih bertumpu individu pemimpin dibanding dokumen perencanaan itu berlaku umum di seluruh dunia. Jadi langkah yang bisa dilakukan ialah memperbaiki mutu pemimpin di pusat atau daerah, agar siapa pun yang jadi pemimpin hanya kesejahteraan rakyat jadi tujuan.
"Ini tugas lembaga politik menghasilkan pemimpin-pemimpin bermutu agar kebijakan pembangunan berkelanjutan," katanya.