Percepat Pemenuhan Janji Reformasi
JAKARTA, KOMPAS - Perjalanan 20 tahun era reformasi, telah membawa Indonesia menuju negara demokratis, terutama dari sisi normatif dan regulasi. Namun, sejumlah hal masih perlu segera diperbaiki.
Percepatan perbaikan, bahkan dibutuhkan di bidang pemberantasan korupsi, mengatasi kesenjangan pendapatan, dan meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM).
Pasalnya, seperti yang disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Senin (21/5/2018) di Jakarta, tiga bidang itu masih jadi tantangan utama saat ini.
Indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2017 ada di skor 37. Meski meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, namun masih di bawah rata-rata global (43) dan ASEAN (41). Indeks persepsi korupsi dibuat dalam skala 0 (sangat korup) dan 100 (sangat bersih dari korupsi).
Sementara itu, IPM Indonesia tahun 2017 ada skor 70,81 yang berarti masuk dalam kategori IPM tinggi karena di atas 70,00. Namun, dari catatan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), masih ada 18 provinsi yang IPM-nya masuk kategori sedang atau rendah.
Sementara itu rasio gini Indonesia tahun 2017 ada di skor 0,391, lebih tinggi dibandingkan 1999 yang ada di 0,311. Rasio gini dibuat dalam skor 0-1, dimana semakin mendekati angka 1 berarti semakin senjang.
Berbagai langkah
Moeldoko menegaskan, sejumlah langkah telah dibuat pemerintah untuk mengatasi korupsi, kesenjangan, dan menaikkan IPM. Guna mengatasi korupsi, misalnya, pemerintah membentuk Satuan Bersama Pemberantasan Pungutan Liar dan memperkuat regulasi guna mencegah korupsi.
Selain itu, untuk menekan kesenjangan, pemerintah membuat kebijakan serta program afirmatif yang langsung menyasar kelompok masyarakat terbawah. Hal ini, antara lain dilakukan lewat kebijakan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Program Keluarga Harapan.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, mengakui, pemerintah memang telah membuat sejumlah kebijakan untuk membuat akses pada kesejahteraan lebih merata, antara lain dengan memberi kemudahan dalam pemberian modal melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Akan tetapi, tanpa disertai dengan akses terhadap pasar, sektor usaha kecil dan mikro akan kesulitan untuk bersaing.
“Pengusaha makanan kecil, misalnya. Mereka telah mendapatkan modal, tetapi sulit menemukan pasar, karena pasar telah dikuasai ritel besar," katanya.
Terkait hal itu, guna mengikis ketimpangan, pemerintah juga perlu membuat program untuk membuka akses yang lebih merata bagi semua rakyat.
Langkah ini, lanjut Enny, mesti dilakukan dengan cepat. Pasalnya, masalah ekonomi dan kesejahteraan dapat memicu masalah lain, seperti kekerasan, intoleransi, terorisme, hingga ketidakpercayaan terhadap pemerintahan atau negara.
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, tingginya kesenjangan di Indonesia, diperparah oleh tingginya tingkat korupsi terhadap anggaran negara yang sedianya untuk rakyat. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi juga faktor penting yang mesti dilakukan untuk mengatasi kesenjangan.
Pemberantasan korupsi di Indonesia, saat ini sebenarnya sudah relatif berada di jalur yang benar. Hal ini terlihat dari indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia, yang cenderung naik. Jika tahun 1999, IPK Indonesia ada di skor 2,0 (dalam skala 0-10), maka di tahun 2017 ada di skor 37.
Namun, menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko, peningkatan IPK Indoensia tergolong lambat. "Butuh percepatan yang sumbernya terutama harus dilakukan oleh pemerintah,"katanya.
Otonomi
Salah satu yang perlu dipercepat dalam pemberantasan korupsi, adalah mengawal uang negara yang berputar di daerah.
Hal ini karena menurut Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng, pelaksanaan otonomi daerah yang menjadi salah satu buah dari reformasi, membuat alokasi anggaran dari APBN ke daerah mencapai sekeitar 36 persen. Namun, dana ini ditengarai banyak yang dikorupsi. Ini terlihat dari adanya sejumlah kasus kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diproses hukum karena korupsi.
Anggaran dari APBN itu, juga banyak dipakai untuk belanja pengawai serta dana operasional birokrasi. Akibatnya, dana yang benar-benar sampai ke rakyat masih sangat kecil. Jika terus dibiarkan, kondisi ini bisa mengurangi efektifitas dan manfaat dari otonomi daerah.
Dalam kurun waktu tahun 1998 hingga awal tahun 2000-an, penerapan otonomi daerah sudah berkontribusi sebagai sarana resolusi konflik kewilayahan di tengah ancaman disintegrasi berbasis wilayah saat itu. Sementara saat ini, otonomi daerah membuat pelayanan publik membaik.
Namun, tujuan mendasar dari otonomi, yaitu untuk membangun kualitas manusia dan kesejahteraan masyarakat belum benar-benar terlaksana. Menurut Endi, masih ada 18 provinsi di Indonesia yang IPM-nya, masuk kategori sedang atau rendah.
“Sudah ada desentralisasi fiskal, administrasi, dan politik, tetapi kontribusinya pada pembangunan ekonomi masih belum terlalu terasa," tuturnya.
Herlambang P Wiratraman, Ketua Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, menuturkan, tantangan terberat saat ini adalah mewujudkan otonomi daerah yang bersih. “Saat Orde Baru, aparat keamanan dan militer dipakai untuk menyokong kekuasaan. Kini, sejumlah kepala daerah juga menggunakan cara-cara serupa. Bedanya, mereka tidak menggunakan aparat keamanan atau tentara, melainkan preman-preman yang dilembagakan. Otoritarianisme masih dirasakan dalam skala tertentu di daerah. Realitasnya sama dengan era Orba, tetapi dengan aktor yang berbeda,” katanya.
Negara hukum
Hal lain yang saat ini mendesak dilakukan, lanjut Herlambang, adalah memperkuat prinsip negara hukum. Tegaknya prinsip itu jadi salah satu ciri demokratisasi.
Selain korupsi, persoalan utama yang harus diatasi dalam penegakan negara hukum ialah impunitas. “Impunitas memberi perlakukan diskriminatif kepada orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, sehingga sekalipun melanggar hukum, mereka tidak dikenai hukuman. Impunitas melanggar prinsip kesamaan di depan hukum,” tuturnya.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, penuntasan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, menjadi relevan untuk dipenuhi pemerintahan.
“Jika pemerintah mengabaikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini, kita akan kehilangan kesempatan untuk belajar dari pengalaman masa lalu, sekaligus kesulitan melihat gejala berulangnya pengalaman masa lalu di masa kini,” katanya mengingatkan.